Aurel langsung lari terbirit-birit masuk ke dalam kamarnya saat ia baru sampai di rumah. Entah apa yang ia lakukan di kamarnya, Ricky tidak peduli. Bahkan ia juga tidak memedulikan Bibi Suli yang menyambut kedatangannya. Ricky langsung merebahkan diri di sofa panjang keluarga setelah ia melempar tasnya ke sembarang tempat. Ia sangat lelah saat ini. Ia lelah bukan karena ucapan Aurel yang bertanya padanya ("Kiki, kamu gak 'ketempelan' kan?") saja, tapi juga karena perkataan Aurel tentang seseorang yang ia ajak bicara di rumah hantu. Seandainya Aurel tidak bertanya mengenai seseorang yang sebenarnya tak ada itu, mungkin sampai sekarang ia tidak pernah merasa setakut ini sepulang dari wahana rumah hantu.
Walau begitu, Ricku masih mencoba berpikir kalau Aurel sedang mengerjainya saja. Ia akan bertanya pada teman-temannya yang masuk ke rumah hantu itu.
"Dek, kenapa pulangnya malam sekali." Suara lembut itu berasal dari mamanya yang baru duduk di pinggir sofa panjang.
"Hmm... guess star-nya tampil malam," jawab Ricky lemas. Tangan kanannya menimpa mata dan sedikit enggan untuk melihat mamanya.
"Seharusnya, kamu harus pulang sebelum papa pulang," tegur Lily sambil mengelus rambut Ricky.
"Emangnya papa sudah...," Ricky menahan suaranya saat ia membuka mata dan melihat ada Leo berdiri di balik sofa dengan rotan di tangannya. "Pulang."
"Bertahanlah," bisik Lily sebelum ia berdiri dan berlalu begitu saja dengan ekspresi seakan mengatakan (Sesungguhnya Mama sudah melakukan yang terbaik untuk menahan amarah Papamu, dek.)
"Kamu tahu sekarang sudah jam berapa?" tanya Leo dingin
Ricky langsung terbangun ke duduk dan melihat jam tangannya. "Sial," bisiknya.
"Kamu bilang apa?!"
"Se-sekarang sudah jam setengah 12, pa!"
"Terus kamu baru pulang sekarang? Ke mana aja kamu, hah?" Leo menghentakkan rotannya ke sandaran sofa. "Ke meja makan sekarang!"
Meja makan sudah bukan menjadi tempat berkumpulnya keluarga ketika sarapan dan berbagi canda tawa lagi ketika Leo sudah murka.
"Ta-tapi aku ini laki-laki, bukan perempuan. Bebas pulang kapan saja!" Ricky mencoba mengelak walau sebenarnya ia takut setengah mati menghadapinya. (Oh, sekarang aku tahu kenapa Kak Aurel masuk ke kamar secepat kilat.) Ia merutuki dirinya yang tidak bergegas masuk ke dalam kamar setelah sampai.
"Gak laki-laki, gak perempuan sama saja! Peraturan tetaplah peraturan. Anak-anak yang masih belum punya KTP, harus pulang di bawah jam 10!" bentak Leo.
Anak-anak. Ricky paling tidak suka sebutan itu ditujukan padanya. Mau tidak mau, ia pun harus mengikuti perintah Leo kalau uang jajan dan kebutuhan tersiernya selamat. Ia menghela napas dan berjalan ke meja makan untuk mendengar teguran-teguran keras dari papanya.
Sekitar tiga puluh menit, Ricky mendengarnya dan mengatakan 'iya' sebagai responsnya. Ia mendengar, tapi tidak semua teguran yang Leo layangkan untuknya tidak semua ia masukkan ke pikirannya. Setelah itu Leo kembali ke kamar tanpa memastikan apakah anak bungsunya itu paham akan ucapannya atau tidak.
"Papa cuman berusaha memberikan yang terbaik buat kamu. Jangan ulangi lagi, ya, sayang." Lily berkata demikian sambil mengelus-elus rambut Ricky, seperti embun yang menyejukkan di tengah lingkungan bersuhu panas.
"Iya, Ma," balas Ricky. Untuk saat ini, ia cukup sulit memberikan senyumnya pada Lily.
"Besok papamu juga baik lagi, kok. Habis ini langsung tidur, ya. Jangan lupa matikan lampu dapur." Lily memeluknya sesaat sebelum ia pergi ke kamarnya.
Tinggallah Ricky di meja dapur yang sedang memasukkan isi dari dalam tasnya. Leo sempat mengeluarkan seluruh isi tas itu untuk memastikan tidak ada benda yang membahayakan atau benda yang bisa menghancurkan masa depan Ricky. Setelah semuanya masuk, ia menenteng tas ranselnya. Ricky tertegun saat melihat seluruh ruangan di luar dapur. Ia tidak menyangka seluruh ruangan—kecuali dapur yang lampunya masih menyala—akan segelap ini ketika para penghuninya terlelap. Untuk menghilangkan khayalannya yang tidak-tidak, Ricky mengeluarkan earphone dan ponselnya. Ia mendengarkan lagu dengan volume sedang, lalu mulai melangkah cepat menembus kegelapan.
"Akhirnya sampai juga," Ricky menghela napas lega saat ia sudah berada di kamarnya, sampai ia teringat sesuatu, "Oh iya! Lampu dapur!" Ia merasa lemas untuk kembali lagi. Jadi ia biarkan lampu dapur itu menyala dan berpikir kalau satu lampu saja yang menyala di dalam rumah itu tidak apa-apa.
Setelah ia cuci muka, sikat gigi, cuci kaki, dan berganti pakaian, Ricky baru bisa menghempaskan tubuhnya ke kasur. Lalu ia mematikan lampu kamar dan memejamkan mata. Tapi belum sampai lima menit, ia sudah menyalakan lampu kamarnya kembali. Sosok menyeramkan yang ada di rumah hantu terus terngiang-ngiang di benaknya. Sungguh tidak diduga-duga ia akan melihat sosok itu. Ricky semakin sulit untuk tidur karena merasa dihantui oleh sosok itu.
***
Pagi ini terlihat cerah, secerah hati gadis berambut panjang yang sedang membuka jendela kamarnya saat ini. Senyum pagi di wajahnya seakan menunjukkan kalau ia baru saja melewati mimpi yang sangat indah.
Setelah ia mandi dan mengenakan pakaian rumah, ia langsung keluar kamar dan menuju ruang keluarga. Ia berencana untuk melihat acara di TV sambil sarapan sereal. Remot TV di tangan kanan dan semangkuk sereal jagung di tangan kiri, kemudian ia duduk di atas sofa panjang tanpa melihat ke sifatnya lebih dulu.
"Argh! Sakit, kak!"
Aurel langsung berdiri dan hampir saja menumpahkan serealnya karena kaget. "Kamu ngepain tiduran di sofa, Ki!"
Ricky bangkit ke duduk sambil memegangi perutnya yang sempat menjadi tempat dudukan Aurel. "Ngantuk."
"Kalau mau tidur, di kamar lah. Jangan di sini," kata Aurel sambil duduk di tepi sofa panjang itu. Tampilan Ricky cukup berantakan dan pakaian piyama masih menutupi tubuhnya.
"Tadi abis subuhan... males ke kamar lagi." Untuk kesekian kalinya ia menguap. Kepalanya terkatung-katung.
Merasa kasihan, Aurel menuntun kepala Ricky untuk tidur di atas pangkuannya. "Kamu begadang, ya?"
"Ng... nggak bisa tidur."
"Kenapa?"
Tidak ada jawaban darinya. Ricky langsung terlelap kemudian. Ia tidak bisa menahan rasa kantuknya yang besar.
"Aurel! Ikut joging, gak?" sahut Leo sambil menghampirinya.
"Ssstt... Kiki lagi tidur," kata Aurel setengah berbisik.
"Wah," Leo mengambil kamera ponselnya dan mengabdikan momen kedua anaknya itu.
"Tapi kamu ikut joging, gak? Bangunin aja dia, masa jam segini masih tidur," kata Lily.
"Katanya semalaman Kiki gak bisa tidur. Gak tahu kenapa," Aurel mengedikkan bahu, "Iya aku mau ikut. Aku sarapan dulu."
"Ya sudah, kami tunggu 10 menit, lebih dari segitu, Papa tinggal, ya!" Leo tertawa sekilas sambil melangkah menuju halaman. Lily mengekor di belakangnya.
Setelah Aurel menghabiskan sarapannya, ia memindahkan kepala Ricky perlahan-lahan supaya tidak terbangun ke atas sofa. Lalu ia berdiri, dan menuju dapur untuk minum juga meletakkan mangkuk kotor.
"Aku, Papa, sama Mama, mau joging dulu. Titip Kiki, ya," kata Aurel pada Bi Suli. Sesudah itu, ia bisa keluar rumah dengan perasaan sedikit lega.
Suara dentuman musik yang cukup keras membuat Ricky terlonjak dari tidurnya. Sebuah TV yang masih menyala dan menampilkan acara musik lah yang telah membangunkannya. Ricky segera meraih remot TV untuk mematikannya.
"Ke mana yang lain?" Ricky terheran-heran dengan suasana rumah yang sepi saat ia sedang mengambil minum. Ia menyahut satu per satu anggota keluarganya, termasuk Bi Suli dan Pak Udin, tapi tidak ada yang membalasnya. Benar-benar hening.
Tiba-tiba saja seekor serangga berwarna cokelat merayap di lantai. Ricky hampir tersedak saat melihatnya lewat. Buru-buru ia menghabiskan air mineralnya dan langsung pergi dari dapur dengan bulu kuduk berdiri. Belum sempat ketakutannya pada serangga mereda, ia mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Tepat saat ia mendengarnya, ia teringat perkataan Aurel tentang sosok yang dilihatnya di dalam rumah hantu.
Kenapa aku semakin takut sama rumah hantu gini?!
***
"Lesu bener lu Rick, kayak gak makan setahun," celoteh Yoga.
Saat istirahat pertama ini mereka sedang berada di kantin untuk menyantap makanan.
"Lo sakit?" tanya Caca. Suaranya terdengar cemas
"Nggak. Cuman gak nafsu aja," balasnya sambil mengaduk-aduk jus alpukat yang ia pesan.
"Eh guys, pada tau gak," sahut Wina dengan mata terfokus di ponselnya.
"Tau apa?" Eza terlihat antusias dan penasaran.
"Gue baru baca pesan dari teman gue yang jadi panitia rumah hantu. Padahal dia mengirimnya sehari sebelum pensi, tapi gue baru baca sekarang hehe." Wina mengakhirnya dengan kekehan.
"Lu mau ngasih tau itu aja? Penting banget, Win," cibir Eza.
"Nggak. Gue mau ngasih tau apa yang dia kirim." Wina melihat layar ponselnya. "Intinya, mereka itu pakai ruang seni sebagai wahana ruang hantu. Katanya ruang seni itu paling angker di sekolah. Angkatan kelas 11 mau buktikan kalau ruang seni itu nggak angker dan gak ada apa-apa dengan cara membuat rumah hantu di sana. Dari rencana, pengerjaan, sampai pelaksanaan tidak terjadi apa-apa pada mereka. Kali ini jelas, kalau cerita ruang seni itu hanya mitos belaka."
"Emang cerita ruang seni apa? Gue belum pernah dengar," sambar Caca.
Tiba-tiba Ricky berdiri. "E-eh, gue ke kelas duluan, ya."
"Mau ke mana lu, Rick?" Yoga langsung menyambar lengannya. "Alpukat lu belum habis tuh."
"Buat lu aja, Ga." Ricky mencoba melepasnya tapi tidak bisa. "Gue mau ngerjain PR dulu!"
"Emang ada PR apa? Kalau ada PR, gue gak bakal ke kantin kali," sambar Eza.
"Gue juga," setuju Yoga. "Ooh, lu takut, ya?"
"Ng-nggak..."
"Kalau gitu, duduk dong. Dengerin Wina." Yoga tersenyum curiga padanya. "Kalau gak mau dengerin, gue anggep akting lu hebat banget waktu lu masuk ke dalam rumah hantu sampai dua kali tanpa teriak sedikit pun."
"Gue gak akting!" Ricky duduk kembali. "Gue emang gak takut waktu itu."
"Terus kenapa gak mau dengar cerita ini?" heran Eza.
"Sebenarnya gue udah dengar dari kakak gue."
"Gimana ceritanya? Kalau cerita yang lu bilang sama kayak cerita yang gue denger, berarti bukan mitos." Wina mengambil posisi nyaman untuk mendengarkan.
Ricky menyesap jus alpukatnya untuk menghilangkan haus.
"Katanya buat gue jus alpukatnya."
"Nggak jadi," jawabnya cuek. "Cerita yang gue dengar. Ruang seni itu tempat ditemukannya murid-murid tak bernyawa akibat pembunuhan berencana 30 tahun yang lalu."
"Gitu aja ceritanya? Pendek banget," kata Caca tidak menyangka. Ricky mengangguk. "Gimana, Win? Sama gak?"
"Hmm...," Wina bertopang dagu sambil menyentuh bibirnya, "Sama persisi."
"Beneran?! Wah pantes aja gue merasa lebih takut di rumah hantu itu dibanding rumah hantu lain," keluh Yoga.
Ricky tidak bisa berkomentar apa-apa selain menghisap minumannya cepat-cepat untuk menghilangkan kegugupannya.
"Rick, kalau lu emang nggak takut waktu masuk ke dalam rumah hantu, gue penasaran," Wina berhenti sekilas untuk melihat layar ponselnya, "Lu hitung pemain yang jadi hantu di dalam nggak?"
Setelah cukup tenang, ia berusaha untuk terlihat cool seakan tidak terjadi apa-apa padanya. "Hitung."
"Wih masih sempet-sempetnya lu ngitung!" seru Yoga sambil menepuk punggung Ricky.
"Berapa?"
Ricky terdiam untuk mengingatnya. "Sekitar tiga belasan orang?"
Wina tertegun mendengarnya. "Serius? lu punya indra keenam, ya?" serunya.
"Nggak kok. Emang segitu. Maksud lu apa?" Ricky tidak mengerti dan terlihat agak panik.
Eza dan Yoga melihat Wina. Mereka berdua sama penasarannya dengan Caca. Namun bedanya, hati Caca terselip rasa khawatir pada kondisi Ricky kalau ia tahu kenyataannya.
Wina menghela napas dan dihembuskan perlahan. "Pemain yang ada di dalam rumah hantu itu kurang dari sepuluh."
Semua terdiam dan tidak berkomentar. Suasana di sana menjadi agak suram dan berat, terutama bagi Ricky.
"Wayolo, lu lihat apa kemaren?" Yoga mencoba menakut-nakuti Ricky.
Ricky menghembuskan napas cepat dan berdiri. Tanpa berkomentar apa pun, ia langsung meninggalkan mereka dan tidak menghiraukan panggilan Caca.
"Dih, katanya berani," cibir Eza.
"Kayaknya dia bohong waktu itu," tambah Yoga.
"Ih lu pada buat apa sih kasih tahu yang sebenarnya gitu!" gerutu Caca. "Dia emang berani karena menganggap mereka semua cuman orang yang didandani aja. Tapi karena tiba-tiba aja dia langsung lihat yang asli gitu, gimana orang gak langsung takut!?"
"Gue setuju sama Caca," sambar Wina. "Kalian gak boleh judge dia gitu aja. Semua orang punya ketakutan dan mereka mencoba menghilangkan ketakutan itu dengan membangun keberanian. Tapi, saat keberaniannya hilang gitu aja, ketakutannya akan mudah untuk hinggap kembali."
"Udah ah, gue balik ke kelas dulu." Caca melangkah menuju kelasnya. Berharap Ricky juga sudah menuju kelas. Meninggalkan Wina yang hanya memutar mata saat ia melangkah pergi, dan Yoga mendecak sebal.