"Kerja bagus, teman-teman!" seru Aurel saat mereka sudah berada di salah satu kelas kosong yang disediakan untuk mereka yang tampil. "Silakan diminum dulu es jeruknya." Satu per satu mengambil es jeruk di atas meja.
"Ini dari uang kas, Kak?" tanya Jo.
"Nggak. Pakai uang kakak sendiri," jawab Aurel. "Gak apa-apa kok. Anggap aja ini hasil dari jerih payah kalian dalam mempersiapkan penampilan kita," ucap Aurel yang baru saja menerka pikiran anak-anak didiknya itu.
"Makasih, Kak Aurel!" seru mereka hampir bersamaan.
"Aku yang udah ngelatih kalian, nggak nih?" timpal Jane.
"Makasih, Kak Jane!" Hanya enam anak saja yang berterima kasih padanya.
"Kok nggak semua, sih?"
"Kan, Kak Jane ngajar model doang," celoteh Hani.
"Ya gak bisa gitu dong. Kakak males ah ngajar di sini." Jane mengerucutkan bibir tipisnya.
"Bukannya kamu sudah tanda tangan kontrak pelatih, Jane?" heran Aurel.
"Ih aku kan cuman bercanda," gerutu Jane.
"Berarti Kak Bul jadi pelatih tetap, nih?" tanya Yoga dengan mata berbinar-binar.
"Kak Bul?" Aurel tertawa sekilas mendengarnya.
"Singkatan dari Kakak Bule, panggilan sayang dari Yoga buat Kak Jane," jawab Caca.
"Suka-suka dia, Aurel," kata Jane yang sudah menyerah mendengar sebutan dari Yoga itu.
"Ooh gitu." Aurel mengangguk sekilas. "Iya Yoga, untuk seterusnya, Kakbul nemenin kakak," lanjutnya.
"Jangan ikut-ikutan deh," gerutu Jane yang dibalas oleh senyum jahil.
Tapi Aurel langsung teringat sesuatu. "Oh iya, ngomong-ngomong, Yoga."
"Iya?"
"Sayangnya, Kak Bul udah punya pacar dan udah punya panggilan sayang tersendiri."
"Yahh... kasihaann." Caca, Hani, dan beberapa teman lainnya meledeki Yoga yang terlihat langsung patah hati itu. Caca yang paling keras dan gak tanggung-tanggung saat meledeki Yoga.
"Kalau Kak Aurel sendiri, sudah punya pacar belum?" tanya Yoga setengah berharap.
"Yee modus!"
"Dasar buaya!"
Lagi-lagi mereka melempar ledekan bertubi-tubi pada Yoga.
"Yaa namanya juga usaha," balas Yoga sambil terkekeh dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Usaha ndasmu. PR trigonometri tuh pikirin. Jangan cewek mulu!" balas Caca sambil menoyor kepalanya.
Hal itu cukup mengundang gelak tawa di sana. Setidaknya cukup untuk hiburan mereka setelah tampil di acara pentas seni pertama mereka. Setelah mereka menghabiskan minumannya dan beristirahat sejenak, mereka mulai mengganti pakaian dan menghapus rias wajah mereka.
"Lagian juga, adeknya gak bakal ngebiarinin lu deket sama dia," ucap Caca yang mengangkat topik Yoga barusan.
"Betul banget. Ricky protektif banget sama kakaknya," setuju Yoga.
"Eh, itu ada Ricky." Lita yang dari tadi menyadari keberadaan Ricky yang mengintip melalui jendela, langsung menunjuk ke arahnya—seolah-olah ia baru melihat mata almond laki-laki itu menyembul dari jendela.
"Mana?" Yoga dan Caca pun melihat ke jendela. Merasa ada yang menyadari keberadaannya, Ricky segera menunduk, tapi Yoga dan Caca sudah melihatnya.
"Baru juga diomongin," kata Caca.
"Eh? Di mana Kak Aurel?" Yoga terheran-heran dengan Aurel yang mendadak menghilang.
Ricky berjalan cepat sambil menunduk untuk menghindari jendela. Tiba-tiba saja ada yang menarik tudung jaketnya dari belakang dan membuatnya terhenti.
"Mau ke mana kamu, hmm?" Belum sempat Ricky menjawab, Aurel sudah menarik tudung jaket itu lagi dan berkata, "Dari pada mengintip, mending masuk saja. Aku mau tanya komentar kamu tentang penampilan kami!"
"Tapi..."
"Please?" mohon Aurel.
Ricky tidak bisa menolak tatapan penuh harap kakaknya itu. Mau tidak mau, Ricky pun harus mengikuti keinginannya.
"Tolong perhatiannya teman-teman." Mereka berhenti melakukan aktivitasnya dan memperhatikan Aurel di depan. "Ricky adalah salah satu penonton penampilan kita. Dia ingin mengomentari penampilan kita tadi."
(Sebenarnya kakak yang minta komentar, kan,) batin Ricky. "Ehm... penampilan kalian bagus."
"Itu saja?" sambar Jane. "Gak ada yang kurang?"
"Menurutku sih, gak ada. Emang bagus kok."
"Woy, Rick, gue liat lu ketawa-ketawa sendiri waktu penampilan gue. Maksud lu apa, hah?" seru Yoga. Ia tidak terima usaha kerasnya saat latihan menjadi model ditertawakan begitu saja.
"Ooh itu," Ricky tertawa lagi saat mengingatnya, "Sorry sorry. Gue gak nyangka aja lu bisa kayak gitu."
"Maksudnya kayak gitu?"
Ricky berusaha menahan tawanya kembali. "Nggak... nggak kenapa-kenapa." Ia susah untuk menjelaskan apa yang ia tertawakan dari Yoga itu. "Lo keren kok tadi. Serius."
"Keren tapi lu malah ketawa."
"Ricky heran saja, kamu ikut basket, tapi malah jadi model," kata Aurel tiba-tiba. "Ricky pernah cerita ke kakak dulu. Waktu itu dia ketawa membayangkan Yoga—"
"Urusan rumah jangan dibawa-bawa ke sekolah!" sela Ricky cepat.
"Yah pada ngeremehin gue jadi model nih. Liat aja nanti, gue bisa jadi model terkenal!" seru Yoga penuh percaya diri.
"Terus basketnya?" Melihat semangat Yoga yang membara membuat Ricky terheran dengan kegemarannya yang pernah dia bilang saat MOS itu.
"Gue udah ikut klub basket indoor di luar sekolah," jawab Yoga santai. "Lagian juga, yang ngelatih klub model ini bening-bening. Jadi seger terus!"
"Buaya banget sih lo!" Caca langsung menggetok kepala Yoga dengan gantungan baju dan Ricky menatapnya sinis.
Aurel tertawa sekilas melihat perdebatan itu, sampai ia mengingat sesuatu. "Oh iya, Lita, bisa ikut aku sebentar?"
Lita yang sedang membantu melipat pakaian itu sedikit tersentak saat namanya dipanggil. "Iya." Ia berdiri dan menyusul Aurel ke luar ruangan. Merasa ada yang aneh, Ricky pun mencoba untuk mengikuti mereka tanpa ketahuan.
"Rick! lu mau kemana? Sini bentar dong, ngobrol-ngobrol dikit," ajak Yoga.
"Gue mau ke toilet dulu." Dengan alasan itu Ricky bisa keluar ruangan.
Yoga mendesah saat melihat Ricky selalu menempel dengan kakaknya itu. "Tuh, liat kan Ca? Gue yakin lu bakal susah dapetin dia."
"Iih wajar aja kan kalau sayang sama kakaknya sendiri. Jangan buat gue pesimis gitu dong!" gerutu Caca. "Aturan lu juga bantuin gue, Ga."
"Iya terserah. Tapi gue gak mau lu sampe paksaiin dia buat sama lu ya." Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga dan berbisik cepat. "Atau nanti bisa ketahuan."
"Iya, iya, gue tau. Tenang aja. Lagian juga, siapa sih yang gak mau sama gue?"
"Dih, sok banget lo," timpal Yoga.
"Ooh gitu, ya Ca. Iya deh, lu emang yang paling cantik di sini," sambar Hani yang tak sengaja mendengarnya.
"E-eh, nggak kok nggak," Caca mulai salah tingkah dan malu sendiri, "Gue cuman bercanda tadi. Lu juga cantik kok, Hani."
Gadis berambut sepundak itu hanya memutar mata dan mendecak sekilas. Senyum Caca menghilang cepat ketika gadis itu membelakanginya. Ia tersenyum miring dan sebelah alisnya terangkat, seakan berkata, (Dih, judes banget. Cantikan juga gue ke mana-mana.)
***
Jantung Lita berdetak tak karuan saat Aurel membawanya ke suatu tempat yang sepi di lantai dua. Ia berusaha untuk menyiapkan mentalnya kalau-kalau Aurel membentaknya, mengkritik pedas tentang karyanya, atau bahkan melukainya. Surat wasiat sudah ia pikirkan jika ia tidak selamat sampai rumah.
"Lita."
"I-iya?"
"Kamu kenapa? Kok gugup gitu?" heran Aurel.
"Ng-nggak kenapa-kenapa, kak." Suara Lita bergetar.
"Ooh, kamu mengira aku bakal apa-apain kamu, ya? Jangan gitu dong, aku gak jahat-jahat banget kok." Aurel tertawa sekilas saat ia menerka pikiran gadis itu.
Dua pundak Lita melemas sejenak mendengar pernyataan itu. "Terus apa, Kak?"
"Jadi gini, aku mau minta maaf sama kamu karena perlakuanku yang pilih kasih ke kamu itu," ucap Aurel. "Aku gak menyangka kalau kamu itu cepat sekali mengerti kondisi di sekitar."
Lita hanya menunduk dan wajahnya sedikit merona.
"Aku gak mau Ricky menyalahkan aku gara-gara aku berprasangka buruk sama kamu dan dia gak bisa ngobrol sama kamu lagi gara-gara laranganku. Jadi," Aurel meraih tangan Lita dan menatapnya mata bulatnya lekat-lekat, "Jangan menghindar darinya lagi, ya. Terima kasih karena kamu sudah peka dan tahu kondisiku. Tapi, setelah melihat sifatmu yang baik dan peka itu, aku yakin kalau Ricky akan baik-baik saja sama kamu."
Lita tidak tahu akan berkomentar apa setelah melihat Aurel yang seperti ini.
"Lita, mau kan?"
"I-iya. Aku mau kok jadi temannya Ricky."
Aurel tersenyum senang. "Bagus. Makasih, ya!" Ia mengelus kepala Lita. "Maaf sebelumnya karena kamu merasa gak enak sama sifatku."
"Iya, gak apa-apa kak." Lita membalas senyumnya. Kali ini ia merasa lebih nyaman dengan Aurel. "Wah, aku baru tau kalau kakak cukup protektif sama Ricky. Kakak pasti sayang banget sama dia."
"Sayang banget!" seru Aurel. "Aku cuman gak mau kehilangan adik lagi."
"Kehilangan adik lagi?"
"Yaa pokoknya gitu deh," kata Aurel sambil mengedikkan bahu. "Oh iya, kamu punya adik atau kakak, tidak?"
"Aku punya kakak laki-laki."
"Namanya siapa?"
"Arsya Geovanie. Katanya dia mau datang ke pensi juga, gak tau sudah nyampe apa belum."
Aurel berpikir sejenak karena merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya.
"Arsya ya..."