Zeana membuka matanya ketika sudah memastikan bahwa tak ada seorang pun di sekitarnya. Ia meremas selimutnya kencang, lalu menghela nafas panjang, sesak yang mengungkung dadanya sedikit berkurang.
Dari sayup-sayup percakapan kakaknya, Nathan dan Irvi, Zeana tahu bahwa Nathan akan mendatangi kepala sekolahnya dan memberikan surat pengunduran diri sebagai siswi di sana.
Zeana menyamankan duduknya dan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang yan empuk. Wajahnya mendongak ke arah atas, lampu kristal yang berkilauan tergantung di sana.
Zeana tak berharap mati, hanya saja ia penasaran bagaimana jika lampu itu putus dan menimpa dirinya. Akankah hidupnya selesai saat itu juga? Mungkin, hanya Tuhan yang tahu jawabannya.
Zeana tersenyum ketika mengingat bahwa Irvi melarang para maid untuk membuka gorden kamarnya agar ia lebih leluasa beristirahat. Mentalnya benar-benar buruk.