Jam menunjukkan pukul delapan pagi, Vina sudah duduk di sofa ruang tengah bersama beberapa berkas yang Syila sebagai persyaratan kepindahan sekolahnya. Awalnya Syila ingin membantu tapi segera ditolak Vina. Vina bilang, Syila cukup duduk manis dan menunggu berkasnya selesai diurus. Setelah itu, baru Syila membantu bagian Akhirnya. Seperti tanda tangan, fitting seragam dan sejenisnya yang membutuhkan Syila secara langsung.
Syila terlihat tidak banyak berkomentar. Hal yang selalu sulit ia lakukan ketika mengenal Vina adalah membantah wanita itu.
Layar televisi menyala, namun tampaknya Vina tidak meliriknya sama sekali. Selain Vina , rupanya ada seseorang lagi yang duduk tak jauh dari wanita itu. Tentu saja itu Syila. Yang sedang sibuk mencari waktu bicara dengan vina perihal sesuatu yang diributkan putra kesayangannya tadi malam.
"Kamu kenapa, Ila? Ada masalah?"
Syila mendongak. Ia menggeleng pelan tapi tidak lama mengangguk seperti bocah yang masih labil. Tingkahnya membuat Vina tersenyum. Lucu menurutnya.
"Bilang aja gak apa-apa."
"Tan... masalah identitas Syila... harus banget ya sebagai sepupu Alex?" Akhirnya dia berhasil bertanya. Sejak tadi ia belum berani bertanya mengingat Vina masih sibuk dan Syila tidak ingin mengganggunya.
"Oh, masalah itu," vina meletakkan seluruh berkasnya menjadi satu di atas meja. "Kenapa? Kamu terbebani ya?"
"Bukan gitu, Tan. Aku cuma ngerasa gak enak kalau hal ini tersebar dan banyak orang yang tau, terutama temen-temen alex. Gimana kalau mereka tau terus alex gak nyaman? Kan selama ini aku gak pernah kelihatan di sekitar keluarga Prawira," Ia mulai menyampaikan semua isi pikirannya. Bahkan itu adalah apa yang ia pikirkan sebelum alex datang dan memaksa syila meyakinkan vina agar membatalkan keputusan konyolnya.
Toh, tanpa dipaksa Alex pun, syila memang berencana bicara dengan vina perihal masalah yang sama.
"Tenang aja, Vio. Yang kamu cemaskan itu sama sekali gak penting. Kalaupun ada yang bertanya soal kamu pada alex, alex kan bisa jawab kalau kamu itu sepupu jauhnya."
Diluar ekspektasi syila yang mengira vina akan meyakinkannya lebih berapi -api, bahkan sampai mengajaknya berdebat, wanita itu justru bicara santai tanpa beban. Vina seolah paham kalau syila tidak akan bisa berdebat dengannya, berujung pada menyanggupi permintaannya.
"Semuanya demi kebaikan kamu, kok. Gak akan ada yang dirugikan disini. Cukup percaya sama Tante. Ngerti?"vina mengelus puncak kepala syila dengan penuh sayang.
"Tapi, alex..."
"Kenapa sih kamu dari tadi beratin alex? Alex ngancem kamu, ya?" sela vina dengan tatapan curiga.
Boom! Syila malah curiga vina mantan paranormal. Bagaimana mungkin dia menebak semudah itu? Atau jangan-jangan, tanpa syila ketahui, kamarnya telah dipasang CCTV sehingga vina selalu tahu apa yang terjadi? Tapi... kenapa rasanya tidak mungkin?
"Eng-nggak kok, Tan." Violet tak lagi bicara panjang lebar. Bisa kacau kalau vina curiga. Ngomong-ngomong syila tidak pintar berbohong. Kebohongannya akan tampak jelas di telinganya yang memerah. Namun sepertinya vina belum tahu perihal kebiasaan syila itu.
"Ah, ngomong-ngomong soal Alex, kamu bilang ke Tante kalau dia melakukan sesuatu yang buruk ke kamu. Gak tau kenapa, Tante liat alex seolah ada dendam tersembunyi ke kamu. Tante paham banget, walaupun alex emang dingin, tapi tatapan matanya yang penuh kebencian itu gak bisa disembunyiin dari Tante."
"Eung... masa sih, Tan?" tanya syila pura-pura tak tahu. Tentu saja syila bisa melihat kebencian itu. Dari tatapan cowok itu sampai perilakunya pada syila, semuanya penuh kebencian.
"Iya. Kayaknya... dia nggak rela perhatian mamanya dikasihkan ke kamu semua. Haha!"
Syila hanay ikut tertawa saja. Akan tetapi, syila tidak sepolos itu. Tidak mungkin cowok remaja seperti alex hanya iri melihat mamanya lebih akrab dengan orang lain. Pasti ada alasan lain yang tidak diketahui siapapun, kecuali alex sendiri.
Syila pun tidak minat untuk tahu. Dia memberi hak penuh pada alex untuk membencinya. Selama kebenciannya itu tidak merugikan pihak manapun, terlebih syila sendiri.
"ila, ayo siap-siap!"
Syila mulai menatap vina heran. Wanita itu membawa tasnya seolah akan pergi ke suatu tempat. vina memang sudah berpenampilan cantik dan berias diri, berbanding terbalik dengan Syila yang hanya memakai pakaian santai meski sudah mandi.
"Kemana, Tan?"
"Kita ke mal ! Kamu harus beli peralatan sekolah baru sebelum masuk sekolah nanti."
"Tapi, Tan, peralatan sekolahku yang lama masih ad.."
"Udah, ayo! Tante tunggu lima belas menit!" vina menarik tangan syila agar berdiri, lalu mendorongnya pelan hingga syila tidak memiliki pilihan lain selain pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap.
~~~
Sepanjang tujuh belas tahun syila hidup, ini kali pertama ia mendatangi sebuah pusat perbelanjaan dengan tujuan membeli barang kebutuhannya. Biasanya syila akan pergi ke mal bersama ana, hanya sekedar jalan-jalan melepas penat tanpa membeli apapun. Itupun hanya satu bulan sekali atau bisa lebih dari itu.
"Capek, ya? Cari makan siang dulu, ayo!"
Tepukan kecil dibahu syila membuat gadis itu sadar kalau dia tidak sedang bermimpi. Beberapa paperbag yang dibawanya di tangan kanan kiri sekaligus adalah nyata. Benar-benar dibeli untuknya. Ya Tuhan, Syila tidak pernah membayangkan dirinya memutari setiap toko untuk membeli barang tanpa takut melihat nominal harga. Sebab, tiap kali ia berniat melihat harganya, vina langsung melarangnya sambil berkata,
"Pilih aja yang menurut kamu cocok. Gak usah liatin harganya. Oke?"
Syila tetap saja merasa tidak enak hati jika memilih barang dengan nominal mahal. Dia kan tidak ikut mencari uang. Keraguan syila membuat vina tidak sabaran dan mengambil satu persatu barang untuk ditunjukkan pada syila. Jika syila mengatakan bagus dan dilihat cukup di tubuhnya, vina langsung mengambilnya. Hingga sebagian besar isi dari paperbag-nya adalah pilihan vina .
Syila tampak takjub dengan mudahnya vina mengeluarkan uang untuk berbelanja. Satu kartu berwarna hitam adalah benda yang digunakan vina tanpa repot-repot mengeluarkan uang cash.
"ila? Kok ngelamun?"
"A-ah gak apa-apa, Tan."
"Ayo cari makan. Di restoran seafood lantai bawah aja, ya? Kamu bisa makan seafood kan? Gak punya alergi, kan?"
"gak ada, kok, Tan."
"Syukur deh."
Vina berjalan lebih dulu dan syila mengikuti di sebelahnya. Sama dengan syila, wanita itu juga membawa beberapa paperbag hasil buruannya di beberapa toko sekaligus.
Restoran yang dimaksud vina cukup ramai mengingat sekarang masih termasuk jam makan siang. Mereka mendapatkan tempat di sudut ruangan dan langsung meletakkan paperbag masing-masing ke kursi yang kosong.
Tak lama, pelayan datang membawa buku menu dan memesan menu yang diinginkan. Dan sekali lagi, syila sangat dibuat takjub oleh harganya. Tidak mengherankan harusnya, karena yang didatangi adalah restoran seafood, di mall pula.
"gak usah diliat!" hardik vina sambil menggunakan telapak tangannya untuk menutupi deretan harga dari setiap menu.
Syila merengek melalui ekspresinya, dan vina menggeleng tegas. Pada akhirnya syila mengatakan pesanannya pada pelayan. Berharap dia tidak menghabiskan terlalu banyak uang vina hanya untuk menu makan siang.
"Ya, Tuhan capeknya..." keluh vina setelah pelayan pergi, lalu meraih tissue di dalam tasnya. Bulir keringat mengaliri pelipis wanita itu. Padahal ac tidak berhenti bekerja di sudut ruangan.
"Biasa, Tan. Cewek kalau shopping kan gak inget waktu. Tau-tau badan udah capek aja. Haha!"
Syila yang biasanya cuma mengelilingi mal dari lantai satu sampai lantai paling atas saja sudah sangat lelah, apalagi sekarang sambil menelusuri satu persatu toko.
"Iya sih. Tapi Tante biasanya shopping gak secapek ini. Mungkin karena nggak ada temen cewek yang bisa diajak sharing kali ya? Punya anak cowok ngerengek minta pulang terus kalau di ajak ke mall. Jadi belanjanya cuman bentar banget. Kurang puas. Haha!"
Syila hanya tersenyum. Jujur saja dia belum pernah merasakan langsung bagaimana serunya shopping dengan teman ceweknya. Dia dan ana tidak sekaya itu untuk menghabiskan uang demi baju atau sepatu bagus, lantas sharing tentang apa yang cocok untuk mereka.
Menyedihkan, kah? Mungkin iya bagi orang lain. Tapi mengapa syila tidak terlalu sedih atas nasibnya itu?
"Habis ini kemana lagi ya?"
"Loh, masih lanjut lagi, Tan? Katanya capek?" tanya syila heran. Perasaan baru saja vina mengeluh kelelahan setelah berkeliling mall selama hampir dua jam.
"Kamu belum beli sepatu. Kayaknya di lantai bawah ada, deh."
"Ya ampun, gak usah, Tan! Sepatu ila masih bisa dipake kok. Baru beli satu bulan lalu."
"Eh, itu pelayannya dateng!" vina dengan cepat mengalihkan pembicaraan.
Pada saat syila ingin menolak kebaikan vina untuk membelikannya sepatu, pelayan lebih dulu datang membawa makanan pesanan mereka.
"Selamat makan, syila!"
vina hanya tertawa melihat muka cemberut syila. Entah bagaimana cara syila menolak paksaan vina berikutnya. Ia perlu memikirkannya nanti.