"Loh kok bisa? Ini masih pagi banget loh Mah, dalam rangka apa mereka berangkat pagi sampai ninggalin Risha, biasanya juga pas udah mau jam masuk baru berangkat." Papa memasang ekspresi heran nya.
"Ya bagus dong Pah mereka semangat mau ke sekolah," jawab Tante Nida.
"Tapi kan gak sampai ninggalin Risha juga." Papa masih berargumen.
"Yaudah dia ikut Papa aja. Mungkin mereka malu kalau berangkat bareng dia." Tante Nida menatapku sekilas, tatapan nya terasa menghujam untuk ku.
Ucapan nya begitu menusuk di lubuk hati ku. Ada apa dengan ku? Apa yang salah? Kenapa harus malu mengakui ku sebagai adik mereka? Lagi-lagi mata ku berembun.
Papa menghela napas. "Mama jangan ngomong begitu." Papa mengalihkan pandangan nya padaku. "Yaudah, Risha bareng Papa aja ya, sekalian Papa mau kekantor. Hari ini ada urusan pagi."
Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Tunggu sebentar, Papa mau ambil tas kerja dulu di dalam."
Tak lama setelah Papa masuk, Papa kembali menampakkan diri nya dihadapan aku dan Tante Nida.
"Mah, ini hp Daniel 'kan? Ketinggalan tuh di meja," ujar Papa menunjukkan sebuah ponsel ditangan nya.
Tante Nida mengangguk pasti. "Iya Pah. Yaudah sekalian aja Papa bawain," sahut nya.
"Iya. Ayuk Sha, kita berangkat," ajak Papa
Sebelum melangkah kearah mobil, Tante Nida bersaliman dengan Papa dan mencium punggung tangan Papa. Setelah itu Papa pun langsung berjalan mendahului ku.
Aku menadahkan tangan ku sembari sedikit menunduk untuk bersalaman dengan Tante Nida sebagai tanda berpamitan. Tapi yang ku dapat hanya lah abai dari Tante Nida. Wanita itu berlalu begitu saja tanpa menjabat tangan ku. Aku pun terpekur menatap telapak tangan ku dengan hampa.
Aku kembali teringat Mama. Kasih sayang nya, dan kehangatan nya. Mama selalu mengecup kening ku sebelum aku berangkat sekolah. Memberikan petuah kepada ku agar tidak berkelakuan buruk saat disekolah. Menyalimi tangan ku dan tersenyum kepada ku saat aku bersiap untuk berangkat ke sekolah. Air di sudut mata ku kembali menetes kala teringat itu semua hanya tinggal kenangan.
"Sha, ayok," panggil Papa yang sudah berdiri di dekat mobil nya.
"Iya Pah." setelah memasang sepatuku, aku melangkah setengah berlari kearah Papa dan menaiki mobil nya untuk menuju sekolah.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Tak ada selera untuk berbicara. Pagi ini kembali dibuka oleh tangis dan kesal. Kalau setiap hari harus seperti ini rasanya aku lebih memilih untuk mati saja.
"Sha. Maafin Mamah Nida dan Kakak-Kakak mu ya," ucap Papa di sela menyetir nya.
Selalu Papa yang meminta maaf atas perlakuan mereka kepada ku, aku menjadi tidak enak, tapi mau bagaimana pun juga, aku tentu merasa kesal dan sedih jika diperlakukan seperti itu.
"Papa gak perlu minta maaf. Risha gakpapa kok," jawab ku berusaha tersenyum kepada Papa.
"Kamu tetap jadi baik dan terus berbuat baik ya. Meskipun orang-orang di sekitar mu belum merespon nya dengan hal yang sama. Kenapa Papa nyebut nya belum? Karena kebaikan pasti akan terbalas dengan kebaikan, tinggal menunggu waktu nya saja. Kamu yang sabar ya. Kamu anak yang kuat. Papa tau itu," ujar Papa meyakinkan ku.
Aku hanya bisa tersenyum miris. Papa hanya melihat seidikit dari luka ku. Aku tidak sekuat yang Papa lihat. Aku rapuh. Bahkan tadi malam pun aku menangis hingga terlelap tanpa ku sadari. Adnan menjadi tempat curhatku. Lelaki itu mau saja mendengarkan aku bercerita sambil menangis. Aku tak mau memperlihatkan pada Papa betapa sakit nya hati ku diperlakukan dengan dingin dan dianggap tak ada. Aku tak ingin malah kembali memperkeruh hubungan Papa dan Tante Nida.
***
"Papa cuma nganterin sampai sini aja gak apa-apa 'kan?" tanya Papa saat mobil sudah berhenti didepan gedung sekolah.
"Iya gakpapa. Nanti Risha bisa tanya ke mereka yang ada didalam buat nyari kelas Risha."
"Kamu masih ingat 'kan kelas berapa?"
Aku mengangguk yakin. "Sepuluh IPS empat," jawab ku. Kemarin aku dan Papa sudah kesini untuk mendaftar, dan hari ini aku sudah bisa langsung masuk. Kemarin sempat di arahkan dan diberi tahu yang mana kelas yang akan menjadi kelas ku. Tapi aku rada-rada lupa.
Papa tersenyum padaku. "Yaudah, kamu hati-hati ya, jaga diri baik-baik. Kalau ada yang ganggu kamu, langsung hubungi Papa, atau cari Kakak kamu."
Aku sedikit terkekeh. Memang nya siapa yang akan menggangguku? Dan meminta tolong pada seseorang yang tidak peduli padaku, apa itu mungkin?
"Iya Pah," jawab ku dan tersenyum pada Papa.
"Oya," ucap Papa membuatku tertahan saat ingin membuka pintu mobil.
Papa menyodorkan sebuah ponsel kepada ku. "Ini punya Daniel. Nanti kasihin ya kalau ketemu. Daniel kelas dua belas MIPA, tapi papa lupa MIPA berapa," jelas Papa.
Aku menerima ponsel itu. "Iya Pah, nanti Risha kasih kalau ketemu. Risha masuk dulu ya," pamit ku bersaliman dengan Papa, mencium punggung tangan nya.
"Iya, hati-hati," pesan Papa.
Aku menuruni mobil Papa. Rasanya begini ya ternyata bersekolah seperti orang kaya, diantar menggunakan mobil. Dulu aku hanya jalan kaki. Wajar saja, jarak rumah ku dengan sekolah terlalu dekat jika menggunakan motor.
Aku sedikit mendongak menatap gerbang sekolah yang tinggi itu. "SMA Surya Perkasa" sekolah swasta yang isi nya kebanyakan adalah dari kalangan keluarga berada.
Aku menarik napas panjang dan mengucap Bismillah sebelum melangkah masuk ke dalam gedung sekolah itu. Masih banyak yang berkeliaran karena jam masuk kelas masih sepuluh menit lagi.
Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru, selain mengingat arah ke kelas ku, aku juga sambil mencari keberadaan Kak Daniel. Pandangan ku mendadak terfokus pada bangku-bangku taman sekolah yang berjejer di samping lapangan basket. Pohon-pohon di sana nampak rindang, membuat banyak yang bersantai duduk disana sembari menonton siswa lain bermain basket.
Aku melihat Kak Daniel disana. Dia bersama teman-teman nya. Aku merasa ragu untuk mendatangi nya kesana karena kemungkinan dia akan malu jika aku kesana. Aku menghela napas ketika mengingat perlakuan nya padaku. Sama sekali tidak menggambarkan sosok Kakak yang selama ini aku dambakan.
Jam tangan ku menunjukkan pukul 7.22, dua menit lagi masuk kelas, aku tidak ingin terlambat. Ponsel Kak Daniel di genggaman ku seolah ikut menarik diriku agar segera saja menyerahkan nya pada sang pemilik nya. Aku tidak suka berlama-lama menyimpan barang orang lain.
Yasudah lah, persetan dengan bagaimana sikap nya nanti, sekarang juga aku harus memberikan ponsel nya ini.
Aku melangkah setengah berlari kearah Kak Daniel dan teman-teman nya. Langkah ku memelan saat sudah dekat dengan mereka. Aku berusaha meyakinkan diri agar tidak mundur kali ini.
***
Bersambung