Bergegas aku menuruni motorku saat aku sudah sampai di pekarangan rumah. Wajah-wajah di sana nampak murung dan mereka menatapku dengan iba. Aku masih tak paham sampai akhirnya Bibi Yati atau yang biasa ku panggil Acil Yati datang mendekat ke arahku. Acil adalah panggilan untuk Bibi, Tante, atau ibu-ibu yang bukan ibu kita dalam bahasa Banjar. Aku sempat kaget melihatnya ada di sini sebelum akhirnya aku ingat kalau hari ini wanita itu memang berencana akan bertandang ke rumahku setelah sekian lama.
"Risha, sabar lah, Nak. Mama ikam hanyar meninggal," (Nasha, sabar ya nak.. Mama kamu baru meninggal) ujar Acil Yati dengan suara parau.
Sontak mulutku menganga mendengarnya.
"Hah? Meninggal?" Meski belum tau ini benar atau tidak, aku sudah menitikkan air mata lagi.
Acil Yati menangis, adik dari Mamaku itu nampak sangat bersedih. Seolah ada hujan tanpa henti yang terus mengguyur membasahi pipinya.
"Iya, tadi pas acil ke sini, Mama ikam bepadah merasa sakit di jantungnya. Habis itu tiba-tiba betambah kesakitan sampai napasnya sasak habis itu Innalillahi Wainnailaihi Roji'un, Mama ikam meninggal. Acil tekajut banar lawan kada menyangka jua kejadiannya bisa kaya ini. Acil sudah beberapa kali menelpon ikam, tapi kada diangkat." (Iya, tadi saat Bibi kesini, Mama kamu bilang merasa sakit di jantung nya. Setelah itu tiba-tiba bertambah kesakitan sampai napasnya sesak dan Innalillahi Wainnailaihi Roji'un, Mama kamu meninggal. Bibi benar-benar kaget dan gak nyangka juga kejadiannya bisa begini. Bibi sudah beberapa kali menelpon kamu, tapi gak diangkat) Acil Yati menceritakan dengan bahasa Banjarnya yang tentunya aku mengerti. Suaranya terdengar parau dan bergetar saat menceritakan hal yang sangat menyakitkan ini.
Aku mengecek ponselku. Memang benar, banyak notifikasi panggilan dari nomor Acil Yati. Aku tak menyadari ada banyak panggilan itu karena ponselku sengaja ku-silent, agar bisa fokus mendengarkan cerita sampahnya si Nanta.
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung bergegas masuk ke dalam rumah. Seketika mataku langsung membulat sempurna, bendungan air mata yang tadinya hanya bocor kini sudah pecah. Air mataku langsung tumpah setumpah-tumpahnya saat melihat jenazah Mamaku terbaring kaku di sana. Aku langsung memeluk tubuh Mamaku yang tak mungkin lagi bergerak itu dengan tangis mecekat. Suara lantunan surat yasin yang dibacakan oleh orang-orang itu pun turut mengiringi tangisku. Aku mencoba membuka kain yang menutupi wajah Mamaku. Nampak wajah yang biasanya selalu berseri-seri setiap kali melihatku itu kini terlihat sangat pucat. Aku pun tentu semakin terisak.
"Mama ...," lirihku masih memeluk jenazah Mamaku. Kenapa begitu mendadak seperti ini? Kenapa di saat aku tidak sedang bersama Mama, Mama justru pergi?
Berkali-kali aku memanggil Mamaku, berharap mata indahnya kembali terbuka dan menatapku dengan penuh cinta. Namun semuanya nihil, sama sekali tak ada respon yang diberikan Mama kepadaku.
Dapat kurasakan ada seseorang yang mendekat ke arahku. Acil Yati duduk di sampingku dan mengelus pelan kepala serta punggungku, seolah tengah memberi kekuatan dan berusaha menangkanku.
"Sha ... ikam harus ikhlas. Ikam pasti kuat Nak ... jangan sampai banyu mata ikam titik di jenazah Mama ikam lah, ayu sapui banyu matanya." (Sha ... Kamu harus ikhlas. Kamu pasti kuat Nak ... jangan sampai air mata kamu menetes di jenazah Mama ikam lah, ayo usap air matanya)
Acil Yati menatapku dengan nanar sembari mengusapkan air mataku dengan tangan lembutnya, seketika aku pun semakin terisak. Aku langsung memeluk Bibiku satu-satunya itu. Terlintas dipikiranku, akan tinggal dengan siapa aku setelah ini jika tanpa Mama? Sedangkan Bibi ke Indonesia tidak akan lama karena dia akan bekerja lagi sebagai TKW di Arab Saudi.
"Niatnya Acil ke Indonesia lagi handak betamuan Mama ikam. Tapi kenyataan bakahandak lain. Allah meambil Mama ikam pas Acil belum lawas begana di sini, padahal masih sehari." (Niatnya Acil ke Indonesia pengin ketemuan Mama kamu. Tapi kenyataan berkehendak lain. Allah mengambil Mama ikam di saat Acil belum lama tinggal disini, padahal masih satu hari) tangisan Acil Yati juga terdengar sangat menyayat. Sekarang ini kami berdualah yang paling bersedih atas kepergian Mama yang terlampau tiba-tiba.
Aku pun tak dapat berkata-kata lagi selain hanya menangis memanggil nama Mama.
Acil Yati melepaskan pelukkannya, dia menatapku lembut.
"Sudah, jangan nangis haja. Doakan Mama ikam, bacakan surat Yasin gasan sidin." (Sudah, jangan nangis aja. Doakan Mama kamu, bacakan surat Yasin untuk beliau)
Aku mengangguk sembari menghapus air mataku. Kenapa Mama harus pergi sekarang? Nanti aku akan tinggal dengan siapa setelah Acil Yati juga pergi ke Arab?
Aku berharap ini hanyalah mimpi dan sesegera mungkin aku ingin terbangun dari tidurku ini.
***
Pagi ini aku masih terpekur di kamarku meratapi kesedihan mendalam ditinggalkan oleh seseorang yang paling berarti di dalam hidupku. Seandainya aku mempunyai seorang ayah, mungkin kesedihan ku tidak akan sedalam ini. Dari kecil aku tidak pernah bertemu ayahku, mengetahui wajah nya saja tidak. Mama hanya bilang kepada ku kalau ayah sudah meninggal. Setiap kali aku mengajak Mama bicara tentang ayah, Mama selalu saja menghindar, seolah ada yang ditutupi dari ku.
Beberapa kali Acil Yati mengetuk pintu kamar ku untuk menyuruhku makan. Tapi aku tak menghiraukan nya. Rasanya aku tak berselera untuk makan. Aku merasa seperti mati rasa. Jiwa ku serasa ikut terkubur bersamaan dengan jenazah Mama yang telah di semayamkan. Hidupku serasa tidak ada arti nya lagi.
"Risha."
Kali ini yang memanggilku bukan suara Acil Yati lagi. Suara pria yang tak asing menggema ditelinga ku, memanggil nama ku sembari mengetuk pintu.
"Sha. Ini aku, Nanta," ujar suara diluar sana.
Aku pun berdecak. Entah kenapa aku masih merasa kesal pada nya. Tentu aku tidak lupa dengan kejadian kemarin.
Saat pemakaman Mama, dia dan keluarga nya juga ikut mengiringi. Aku hanya bersikap dingin pada nya dan sangat sedikit sekali menghiraukan nya. Dan hari ini dia datang lagi.
"Sha, buka pintu nya," ujarnya lagi, suara nya terdengar memelas.
Dengan langkah gontai aku menuju pintu. Sebelum membukakan pintu itu, aku mengusap bekas-bekas air mata yang sejak tadi membasahi pipi ku dan memakai hijab bergo yang bergantung di gantungan belakang pintu. Ku buka pintu itu. Muncul lah sosok nya yang menatapku lekat. Aku membalas tatapan itu sebelum akhirnya memilih mengakhiri nya dengan berjalan menuju ruang depan dan duduk disana. Nanta mengiringi langkah ku dan duduk disampingku. Kami hanya duduk lesehan karena di rumah ku tidak ada sofa atau kursi tamu.
"Apa?" tanya ku ketus.
"Tadi Acil Yati bilang kamu belum makan dari kemarin. Ini aku bawakan bubur buat kamu. Dimakan," titah nya kepadaku.
Nanta memang lebih sering memakai bahasa Indonesia dibandingkan bahasa Banjar meskipun dia dapat mengerti ketika ada orang lain yang berbicara kepada nya menggunakan bahasa Banjar. Berinteraksi dengan anak Bandung ini membuatku juga lebih sering menggunakan bahasa Indonesia karena dengan sendiri nya ikut-ikutan menyesuaikan dengan gaya bicara nya. Hitung-hitung latihan memperlancar gaya bicara ku agar tidak kaku kalau mungkin suatu saat nanti aku bertemu orang luar Kalsel atau aku yang ke daerah luar Kalsel.
Aku menatap bergantian Nanta dan bubur itu. Aku tak berminat untuk mengambil bubur itu.
Terdengar helaan napas dari Nanta. "Mau disuapin?" tawar nya lembut.
***
Bersambung.