Chereads / ELYANA SEASON 2 : Air Mata Pernikahan / Chapter 14 - CIUMAN FARIDA

Chapter 14 - CIUMAN FARIDA

Pagi ini aku membantu Farida memasak di dapur. Rencananya kami akan memasak lebih banyak makanan untuk di bawa pulang oleh bunda ke Bandung. Bunda akan berangkat siang ini, diantar oleh Habib ke stasiun.

Ku dengar Habib sempat ketiduran di meja makan saat sedang bekerja tadi malam, tapi ada Farida yang membangunkannya untuk sholat subuh, hingga dia tidak kesiangan. Mendengar hal itu, aku jadi kepikiran tentang mimpi tadi malam.

Berusaha berpikir positif dan menganggap itu hanya sekedar mimpi, tidak mungkin jadi nyata. Tapi tetap saja tidak bisa. Aku malah semakin tambah kepikiran, apa lagi sejak bunda datang Habib jadi lebih dekat dengan Farida.

"Eum ... Farida, tolong iris bawangnya, biar Mbak yang mencuci sayurnya," kataku sembari memberikan pisau padanya.

"Tapi kata mas Habib, aku tidak boleh memegang pisau. Pisau itu terlalu bahaya, dan kemarin sempat hampir mengiris tanganku, jadi dia memintaku untuk tidak bermain pisau," balasnya sambil menggeleng.

"Mas Habib bilang begitu?" Farida mengangguk lemah.

Tugas mencuci sayuran di ambil alih olehnya, sementara aku masih terbengong dalam mode bingung. Apa hubungannya dengan pisau? Aku juga sering hampir mengiris tangan, bahkan sudah banyak goresan di jari, tetap saja masih mau memakai pisau untuk mengiris. Memangnya dia pikir mengiris sayuran pakai apa? Kayu?

Baiklah, tidak usah terlalu di pikirkan. Itu hanya larangan kecil, mungkin Habib tidak mau mendapat omelan dari bunda jika sampai istri keduanya terluka ketika memasak untuknya. Pasti bunda akan mengomel-ngomel.

"Auh.!" Farida mendadak berteriak ketika minyak panas tidak sengaja mengenai tangannya.

Kebetulan saat itu bunda ada di dapur juga, sepertinya dia sedang membuat susu hangat untuk Azka. Sontak, bunda langsung meninggalkan susu di meja dan menghampiri Farida sambil mengecek kondisi tangan putri kesayangannya itu.

Aku baru saja memasukkan ikan ke wajan, mungkin karena itu Farida terkena cipratan minyak. Lagi pula kenapa dia harus berdiri tepat di samping wajan?

"Farida? Apa kamu terluka?!" tanya bunda panik.

"Tidak, Bunda. Hanya terkena sedikit minyak panas," ringis Farida.

"El, kamu itu bagaimana, sih?! Kenapa tidak hati-hati? Lihat, Farida jadi terluka!" omel bunda langsung memarahiku.

"Tap—tapi ini bukan salahku, Bunda. Farida berdiri terlalu dekat, minyaknya cukup panas, makanya—"

"Tidak usah membela diri. Jelas-jelas kamu salah! Ini minyak panas, seharusnya kamu lebih hati-hati memasukkan ikannya, supaya tidak mencipratkan minyak begini!"

Bunda terus menyudutkanku dan bersikeras dengan keyakinannya bahwa aku lah yang salah. Aku tidak tahu salahnya dimana, apa mungkin memang aku yang salah, karena terlalu buru-buru memasukkan ikan ke dalam minyak panas?

Meski Farida sudah mengaku bahwa dia baik-baik saja, tapi bunda tetap saja memarahiku. Sampai Mira yang ada di dapur juga angkat bicara untuk membelaku.

"Nyonya, Bu El tidak salah sama sekali. Itu hanya kecelakaan kecil, sudah biasa juga terjadi. Kenapa harus di permasalahkan?"

"Kamu diam, saya tidak bicara dengan kamu."

"Ish, Nyonya ini bagaimana? Seharusnya cepat ambil kotak P3K untuk mengobati tangan bu Farida, bukan memarahi bu El. Katanya anak kesayangan, nanti kalau sampai lukanya tambah parah, pasti bu El juga yang di marahi," balas Mira tak kalah menohok.

Beruntungnya aku punya teman sebaik Mira. Dia bisa membuat bunda langsung diam dan pergi membawa Farida untuk mengolesi obat pada luka di tangannya. Ah, padahal itu hanya luka kecil. Setiap wanita yang bermain di dapur pasti pernah merasakannya, tidak perlu sampai segitunya.

Kecuali kalau terkena tumpahan minyak panas, mungkin bisa melepuh.

"Bu El seharusnya jangan diam saja, mereka bisa semakin menjadi-jadi kalau di biarkan," kesal Mira kembali mengaduk susu dalam botol yang sepertinya untuk baby Rizky.

"Saya tidak bisa melawan bunda saya sendiri, Mir. Yang ada bunda akan semakin marah."

"Tapi tidak bisa seperti itu, mereka keterlaluan. Bu El tidak tahu 'kan apa yang bu Farida lakukan tadi malam?"

Aku menggeleng dengan polos. Mira kembali menarik napas dengan kesal. Dia kemudian menceritakan apa saja yang terjadi tadi malam.

Mira melihat dengan kepalanya sendiri jika Farida mendatangi Habib yang sedang tertidur di meja makan. Lelaki itu ketiduran setelah beberapa jam bekerja bersama laptop dan berkas di mejanya.

Waktu itu sekitar jam empat pagi, dan Mira bangun karena ada desakan dari kantung kemihnya yang penuh. Dia melihat Farida berjalan mendekati Habib yang tidur dengan kepala miring ke kanan, lalu Farida duduk di sampingnya dan mengikuti gaya tidur Habib dengan kepala miring ke kiri agar bisa menatap wajah Habib.

"Saya tidak berniat untuk mengintip, tapi gerak-gerik bu Farida membuat saya penasaran dengan apa yang ingin dia lakukan. Lalu saya perhatikan lagi, ternyata bu Farida diam-diam mencium bibir pak Habib," kata Mira serius.

"Mencium bibirnya?"

"Iya, Bu. Lalu bu Farida berkata, 'Aku tidak bisa mengendalikan perasaan ini, maaf kalau aku akhirnya jatuh cinta padamu, Mas' begitu, Bu." Mira terlihat natural saat mengikuti gaya bicara Farida.

Aku terdiam, bingung harus berkomentar apa dengan rasa tak karuan yang kurasa di dada. Farida mencintai Habib? Apa aku tidak salah? Tapi Mira sendiri yakin, kalau dia mendengar kalimat itu dari mulut Farida.

Setelah Habib terusik dengan ciuman dan belaian pelan di pipinya, barulah Farida berdiri seolah-olah dia baru saja tiba di meja makan untuk membangunkan Habib. Sangat pintar berpura-pura, padahal dia sudah mencuri sebuah ciuman darinya.

"Mir, kamu lanjutkan masaknya. Biar saya yang bawa susu ini untuk Rizky," titahku langsung merebut botol susu itu dari tangan Mira dan bergegas pergi ke kamar untuk mendatangi Habib.

Kesal, marah dan cemburu. Itulah yang kurasakan, dan sekarang aku benar-benar ingin melampiaskan semuanya pada Habib. Tapi amarah itu padam ketika melihat Habib sedang menggendong baby Rizky dengan tangan besarnya.

Bayi mungil itu tertawa bersamanya. Suara renyah tawa bayi usia tiga bulan itu rupanya bisa membuat rasa kesalku padam seketika.

"El, lihat. Bayi kita sudah bisa tertawa, lucu sekali," kata Habib menoleh padaku.

Kuhampiri dia bersama bayi kami yang tengah dia jemur di balkon. Dalam gendongannya, baby Rizky terlihat tenang, senyum tipis bayi itu membuatku benar-benar bahagia.

Aku yang tadinya ingin marah pun tak jadi, sebab tidak tega marah-marah di depan Habib dengan wajah bayi menggemaskan di hadapan kami. Dia masih terlalu kecil untuk melihat pertengkaran orang tuanya.

"Ini susunya," kataku memberikan botol susu pada Habib.

"Hei, ada apa?" Habib sangat peka, dia bahkan terlalu peka untuk sekedar bertanya 'ada apa?' padaku.

"Tidak ada, aku hanya ingin melanjutkan kegiatan memasakku di dapur. Jangan lupa beri Rizky susu. Panggil saja Mira jika butuh bantuan," pesanku lalu pergi.

Sesakit ini menahan rasa kesal, tapi kenapa aku terlalu lemah untuk marah di depan seorang bayi. Sesak, ingin menangis pun tak bisa. Jangan seperti ini, El. Kamu sudah biasa, kamu bahkan jauh lebih kuat dari ini. Jangan menangis!