Chereads / ELYANA SEASON 2 : Air Mata Pernikahan / Chapter 15 - FARIDA MENCINTAI HABIB!

Chapter 15 - FARIDA MENCINTAI HABIB!

Hari ini adalah hari minggu, hari dimana Azka paling suka jalan-jalan di taman komplek. Setiap minggu sore, dia selalu memintaku dan Mira untuk membawanya jalan ke komplek bersama baby Rizky.

Kata Mira, dia akan pergi, tapi entah denganku yang masih bingung mau pergi atau tidak. Karena hari ini aku merasa benar-benar bad mood, apa lagi setelah mendengar cerita Mira mengenai apa yang Farida lakukan pada Habib.

Itu tidak salah, aku tahu itu tidak salah sama sekali. Bahkan itu hal wajar dan normal apa bila suami atau istri saling mencium, tapi lain cerita dnegan kondisi rumah tangga kami yang di bentuk karena rasa terpaksa untuk mendua.

Aku menyuruh Habib untuk menikahi Farida agar menjadi ayah sambung bagi bayinya, bukan untuk jatuh cinta.

"Ammah? Ammah ikut 'kan?" tanya Azka membuatku menoleh padanya.

"Eum ... hari ini kamu pergi bersama mbak Mira saja, ya? Ammah merasa tidak enak badan," balasku lalu pergi dari ruang tengah.

Aku berniat untuk istirahat di kamar saja sambil menunggu Habib dan Farida pulang dari stasiun setelah mengantar bunda. Azka bingung, dia berulang kali bertanya ada apa denganku? Apa aku benar-benar tidak enak badan? Sampai-sampai dia juga berusaha mengejarku ke lorong atas, tapi Mira menghentikan bocah itu karena tahu aku sebenarnya sedang tidak mood.

Ini tidak benar, aku tidak bisa membiarkan semua ini terus berlanjut. Mira sendiri pernah bilang, kalau Farida tidak ingin mengakhiri pernikahannya dengan Habib sekalipun bayinya sudah lahir. Aku takut, nanti Farida benar-benar tidak akan melepaskan Habib.

Aku harus segera bicara dengan Farida dan ini harus di luruskan. Setelah sepasang suami istri itu pulang, aku langsung mendatangi Farida di kamarnya. Sementara Habib memilih untuk mengambil nasi di dapur, katanya dia lapar.

"Farida, boleh Mbak masuk?"

"Iya, Mbak. Masuk saja," jawabnya dari dalam.

Aku membuka pintu dengan pelan, melihat ke dalam dan mendapatinya sedang duduk di sisi tempat tidur sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempang yang dia bawa.

Kuhampiri dia dan duduk di depannya. Wanita dengan perut sedikit buncit ini terlihat sangat polos. Tak heran kalau dia bisa melakukan hal seberani itu pada Habib, dulu saja dia berani membayar orang untuk melakukan penembakan terhadapku, tidak ada alasan baginya untuk takut.

"Ada apa, Mbak?"

"Begini ... tadi pagi, Mira tidak sengaja melihatmu bersama mas Habib di ruang makan. Katanya kamu mencium mas Habib. Apa itu benar?"

Farida tertegun diam saat mendengar pertanyaan itu. Mungkin dia keget, karena ada orang yang memergokinya saat mencium Habib. Dia pikir dengan tidak adanya cctv di rumah ini, aku tidak bisa memantau gerak-geriknya? Aku jelas punya orang kepercayaan yang akan selalu memantau dia.

"I—iya, Mbak. Maaf, aku hanya ..."

"Baiklah, itu tidak masalah. Tapi yang menjadi masalah adalah, kenapa kamu bilang kalau kamu jatuh cinta pada mas Habib? Apa maksudnya itu?"

Sekali lagi tertegun, Farida kelihatan sangat terkejut. Bagaimana aku bisa tahu? Jelas dari Mira juga. Mungkin Farida terlalu menikmati wajah tampan Habib sampai dia tidak sadar akan keberadaan Mira di dapur yang sama.

"Jawab, kenapa kamu bilang begitu?"

"Aku sama sekali tidak mengatakan hal itu, Mbak. Sungguh! Mungkin mbak Mira saja yang salah dengar," balasnya berusaha mengelak.

"Tidak usah berbohong, Mbak tahu kamu sudah tidak punya bakat itu sejak ketahuan menyuruh orang untuk menembak Mbak. Bohong adalah budaya yang tidak patut di lestarikan, Farida."

Terlihat jelas bagaimana air muka kesal Farida saat aku mengungkat aib lamanya. Dia tampak mengeratkan gigi dan berusaha menahan emosi, tapi tidak bisa melakukan apa-apa selain menatapku dengan rasa muak.

"Iya, aku mengatakan hal itu. Memangnya kenapa?"

Wow, aku terkejut mendengar jawaban Farida yang cukup berani. Tidak masalah, setidaknya dia mau berkata jujur meski itu cukup membuatku marah.

"Jadi benar, kamu mengatakan itu? Lalu ... apa kamu mencintai mas Habib?"

Farida berdiri dan berjalan menghampiri meja rias yang ada di sudut kamarnya. Aku hanya memperhatikan bagaimana wanita buncit itu berjalan sambil mengamati apa yang dia lakukan pada jilbabnya.

"Apa aku harus menjawab pertanyaan itu?" Farida malah balik bertanya.

Tentu saja dia harus menjawabnya. Biar bagaimanapun juga aku harus tahu kebenaran dari apa yang dia katakan. Apakah dia hanya bercanda atau serius. Entah itu dalam urusan mencintai Habib atau urusan dapur sekalipun.

"Aku rasa tidak ada alasan untukku menjawab pertanyaan tidak penting itu," seloroh Farida sambil membuka jilbabnya di depan cermin.

Anak ini sangat menyebalkan, membuatku kesal sampai akhirnya datang menghampirinya ke meja rias.

"Ini penting, karena Habib adalah suamiku dan aku berhak tahu sejauh apa orang-orang menyukainya. Terutama kamu!"

Menarik napas panjang, Farida pun berdiri dari duduknya dan menghadapku dengan tinggi badan kami yang hampir sama. Hanya saja dia jelas lebih tinggi beberapa senti dariku. Tapi tak masalah, setidaknya aku jauh lebih tua darinya.

"Maaf sebelumnya, tapi ... ya, sepertinya aku mulai mencintai mas Habib, suamimu yang sangat-sangat tampan itu," ucapnya tepat di depan wajahku.

"Ma—maksudmu, apa yang kamu katakan tadi pagi itu benar? Kamu—"

"Iya ... kamu tahu sendiri selama ini aku kesepian, aku selalu merindu dan menginginkan mas Umar. Tapi dia sama sekali tidak pernah memberi apa yang kumau. Tapi Habib, dengan sukarela memberinya. Dia bahkan memperlakukanku dengan jauh lebih baik dari pada Umar, tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyukainya. Dia ... lelaki yang sangat baik," tutur Farida lagi sembari tersenyum.

Beberapa hari selama bunda menginap disini, Habib selalu diminta untuk memperlakukan Farida dengan baik, mulai dari tidur bersamanya, membuatkan susu untuknya, sampai melarang putri kesayangannya untuk bekerja berat.

Semua pekerjaan rumah aku yang lakukan. Kadang di bantu juga oleh Mira, tapi dia terlalu banyak mengurus Rizky sebagaimana tugasnya di rumah ini. Perlakuan manis Habib memang tidak pernah tanggung-tanggung, bahkan dulu dia sangat sabar menghadapiku yang tidak menaruh rasa cinta sama sekali untuknya.

Terbukti, sekarang aku dibuat jatuh cinta lagi dan lagi pada lelaki brewok itu. Dan mungkin itu juga yang Farida rasakan, hingga kini rasa itu ada padanya.

"Farida."

"Hm?"

"Kamu sadar apa yang baru saja kamu katakan?" tanyaku dengan tangan mengepal.

"Iya."

"Kamu tidak boleh melakukan itu!"

"Melakukan apa?"

"Kamu tidak boleh mencintai mas Habib, kalian menikah bukan atas dasar cinta! Mas Habib menikahimu hanya demi melindungi kehamilanmu dan menjadi ayah sambung bagi anakmu saja, tidak lebih!"

Farida memegang kedua belah bahuku sambil tersenyum dan menatap manik mataku. "Mbak, coba kamu tanya perempuan di luar sana. Minta mereka untuk hidup sehari saja dengan mas Habib, aku yakin mereka tidak akan berpikir dua kali untuk mencintai mas Habib, apa lagi aku. Maaf, tapi ... suamimu terlalu istimewa untuk kulepaskan dan cinta ini tidak bisa kutahan."

Plak.!

Aku menampar Farida dengan tanganku sendiri hingga menimbulkan tanda merah di pipinya. "Itu balasan untuk perempuan yang tidak tahu malu sepertimu!" hardikku pula.