"Kau bodoh! Kau lihat? Mereka teman-temanmu itu bisa mendapatkan nilai-nilai yang bagus. Nilai yang bisa membanggakan orang tua mereka! Dan kau?! Kau dengan nilai merahmu ini, sama sekali tak pernah membuat kami bangga sebagai orang tua. Kau ini anak yang tak berguna!" Pria itu menampar pipiku, menarik telingaku. Aku terjatuh ke lantai, kesakitan. Namun ia malah menendangku.
"Sudahlah, mungkin memang anak kita terlahir untuk menjadi orang bodoh" Sahut wanita yang sedang asyik menikmati sereal sambil menonton acara televisi, dengan nada datarnya.
"Apa kau tak malu Sasha? Memiliki seorang putra bodoh seperti ia? Aku seorang detektif yang terkenal karena kepintaran dan analisisnya, kau seorang pebisnis dengan nama yang terkenal di kalangan tinggi karena kepintaran dan ide kreatif, dari kecil aku dan kau sama sekalu tak pernah mendapat nilai merah dalam catatan hasil belajar kan? Maka dari itu aku sungguh-sungguh tak bisa percaya bahwa anak kita sama sekali tidak mewarisi kepintaran yang kita punya! Sungguh tuhan tidak adil..." Pria itu menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu duduk di sofa bersebelahan dengan sang wanita.
"I'm sorry mom" Ucapku pelan, lalu wanita itu tersenyum lembut.
"Masuklah ke kamarmu, kerjakan pekerjaan rumah yang di berikan oleh nyonya Emilson kemarin, Katya akan pergi ke kamarmu membawakan makan malam" Ucap wanita itu lembut, sembari mengelus kepalaku. Aku benar-benar merasa kesal pada mereka berdua, dan hanya Katya pembantu di rumah kami, yang bisa mengusir rasa kesal itu dengan membawakan lagu dan dongeng pengantar tidur. Meski, sebelum tidur aku sering sekali memikirkan tentang orang tuaku, tentang ayah dan ibuku, ayah yang pemarah namun bagaimanapun aku tahu dia menyayangiku, tentang ibu yang meski lembut perkataanya membuat hatiku sakit, perkataannya yang menyakitkan bak jarum yang sengaja di tusukkan ke ulu hatiku, jadi terdengar indah saat dia mengatakannya dengan sangat lembut, bahkan pengucapannya lebih lembut dari sutra.
Sekarang aku telah beranjak dewasa, dan aku mulai memilih tinggal jauh dari mereka, berusaha menutupi, berusaha tidak terlihat, berusaha membuat mereka tak ingat bahwa aku pernah ada di dalam kehidupan mereka. Inilah kehidupanku, kehidupan yang tak pernah ku panggil hidup. Aku yang tampak atau memang bodoh ini tahu diri, bahwa aku sebenarnya memang tak pantas lahir di keluarga yang memiliki kecerdasan inteleketual lebih kurang sekitar 150-190 ini. Aku merasa tak pantas lahir, tak seharusnya lahir ke dunia. Aku besar dengan kepribadian seperti orang tuaku, besar dengan kepribadian yang cuek, dingin, tak peduli, dan dengan kata-kata yang tajam menusuk.
Namun, aku benar-benar bingung dan heran dengan para siswi di sekolah. Para gadis di kelasku atau mungkin bahkan di sekolahku, mereka semua menganggap aku terlihat keren. Wajahku memang tampan, menurutku juga begitu. Namun bukankah seharusnya mereka lebih menyukai pria baik dan pintar? Kenapa malah aku? Mereka bilang kepribadianku benar-benar cocok dengan wajahku, tapi persetan dengan itu, menurutku itu tak masuk akal. Mereka hanya tidak tahu, sifat ini menurun dari kedua orang tuaku. Sifat ini ada karena tidak adanya kebahagiaan dalam jalinan hidupku dengan kedua orang tuaku, keadaan sepi dan tak menerima kasih sayang ini, benar-benar membentuk sempurna sifat dingin ini. Aarrgghh, broken home.
My Story in Reality life.
Me:
Levi Ackerly.