"Dia.. di.. di dalam.." Gadis itu menjawab pertanyaanku dengan kaku dan gugup, seperti sebenarnya ia ingin menyembunyikannya.
"Dasar," Umpatku, lalu aku tanpa sadar langsunh melompati garis kuning yang di buat polisi, hal itu membuat orang-orang yang berkerumun untuk melihat jadi bertambah gaduh.
Aku berlari masuk ke dalam, di dalam aku melihat banyak polisi dan banyak orang dengan pakaian putih sedang memeriksa rumah itu. Tiba-tiba salah seorang polisi dari mereka menghampiriku.
"Hei bocah tengik, sedang apa kau di sini? Seseorang tak berkepentingan selain polisi dilarang masuk!" Seru polisi itu, ia menodongkan sebuah alat seperti pemukuk baseball namun ukurannya sedikit lebih kecil, kemudian salah seorang polisi lain yang melihat kami pun datang menghampiri.
"Oi. Bocah! Jangan main-main, ini TKP! Kau tahu?!" Bentak polisi itu, kemudian ia menarik kerah bajuku ke atas, hingga tubuhku sedikit terangkat. Aku menepis lengannya kasar.
Orang ini benar-benar menyebalkan, apa maksudnya ia memperlakukanku seperti ini?!. Umpatku dalam hati. Setelah ia melepaskan genggamannya di kerah baju, ia kemudian mengambik lenganku dan berusaha menarikku keluar. Tentu saja aku menolak, karena gadis yang kucari belum kutemukan. Tenaga pria ini terlalu besar dibandingkan aku, apalagi temannya juga ikut membantunya menarik diriku untuk keluar dari sana, akhirnya terjadi adegan tarik menarik di antara kami bertiga.
"Berhenti.." Seru seseorang di belakangku, tapi mendengar suaranya membuatku sedikit tersentak.
Aku ingat siapa pemilik suara ini.. Batinku.
"Siapa lagi ini.. yang berani menyuruh kami untuk berhenti?" Seru polisi yang tubuhnya tegap dan jauh lebih tinggi di bandingkan temannya dan lebih tinggi dariku. Kemudian kedua polisi itu berbalik, tubuhkuku spontan juga ikut berbalik, kami berhadapan dengan lawan bicara sekarang. Namun setelah membalikkan badan, aku dibuat terkejut dengan sosok gadis yang sedanh kucari keberadaannya.
"Aku memang bukan siapa-siapa sih.. lagi pula aku hanya seorang bocah bukan?" Jawab gadis itu seraya tersenyum dengab ekspresi aneh.
Sial, jawaban macam apa itu?! itu sama sekali tak membantu kami. Batinku. Kedua polisi di sampingku tertawa mendengar jawaban yang di berikan gadis itu, tanpa sadar genggaman keduanya di lenganku terlepas begitu saja.
Aku buru-buru menarik pergelangan tangan gadis itu, dan membawanya untuk keluar dari sana. Namun, hal tidak terduga terjadi, gadis itu malah menepis tanganku dengan kasar. Kemudian ia mulai menoleh kembali ke arah kedua petugas polisi itu dan mulai berbicara.
"Memalukan sekali bukan? Menjadi seorang polisi yang terlalu lamban?! Tugasmu sebagai seorang polisi adalah menegakkan keadilan dan segera menemukan pelakunya. Bukan malah bermain-main dengan anak mahasiswa tengik seperti kami.." Aku terkejut mendengar perkataanya yang lancang, bagaimana bisa ia mengatakan itu pada seorang polisi.
"Pelaku telah melarikan diri pun kalian tidak mengetahuinya kan? lalu bagaimana bisa kalian menyuruh kami keluar dari sini hah?! JAWAB AKU SIALAN!!" Gadis itu maju beberapa langkah ke hadapan kedua polisi itu dan mengatakan dengan sangat lantang kata-katanya. Kedua polisi itu terbelalak, namun mereka seperti bingung harus mengatakan apa, mereka hanya terpaku.
Ucapan lantang gadis itu membuat petugas lain yang sedang mengamankan tkp menatap kearah kami, lalu seorang pria menghampiri kami.
"Permisi nona?" Ucap pri itu sopan namun hati-hati, gadis itu menoleh ke arahnya dengan pandangan mata yang masih setajam pisau.
"Kau bilang pelakunya sudah pergi meninggalkan tkp.. bagaimana kau tahu?'' Tanya pria dengan hati-hati, pria satu ini tampak berbeda dengan polisi atau petugas lainnya, ia tak mengenakan seragam apapun, hanya sebuah kaus dan celana jeans panjang hitam di tambah dengan mantel berbulu berwarna cokelat.
"Menurutmu?!" Jawab gadis itu, nada bicaranya ketus dan sedikit mengejek. Namun pria itu tampak biasa saja, tak ada ekspresi kesal karena mendengar perkataan gadi itu, ia tampak tak mempedulikan bagaimana cara gadis itu bersikap padanya.
"Jelas sekali kau ingin mengatakan bahwa suami korban adalah pelakunya" Pria bermantel cokelat itu malah tersenyum melihat gadis itu, lalu ia menarik pergelangan tangan gadis itu membawanya untuk mengikutinya.
Aku melihat pria itu membawanya masuk ke dalam sebuah ruangan yang terletak di lantai atas, aku yang mereka tinggalkan hanya berdiri mematung tak tahu harus berbuat apa.
"Siapa pria itu?" Tanyaku pada kedua petugas polisi tadi.
"Tuan Jacques Bakerville, detektif andalan kita" Mendengar itu aku penasaran dibuatnya, apa yang akan di bicarakan seorang detektif dengan gadis biasa seperti dirinya? Tanda tanya itu mengganjal di pikiranku. Aku yang tak bisa diam saja, akhirnya menyusul mereka berdua.
Setelah memasuki ruangan itu, aku di buat mematung dikarena terkejut. Di ruangan kecil ini aku melihat mayat seorang wanita berumur sekitar 35 tahun terbaring menyedihkan di aras ranjang. Mayat itu berlumuran darah, bahkan cipratan darahnya juga menempel di dinding lantai. Itu membuatku mual.
"Ia di tikam" Aku menoleh, dan melihat gadis itu di sampingku. Gadis itu memandang lurus ke arah mayat korban dengan tatapan kosong.
"Sekitar 17 tikaman di perut dan dada, oleh suaminya" Ucap gadis itu lagi, aku semakin mual mendengarnya.
"Aku memang meyakini suaminya terlibat pembunuhan serius ini, namun tak ada bukti yang mengarahkan kita pada analisis itu, jadi.. kita tak dapat sembarang menuduh" Seru detektif itu, yang tiba-tiba sudah berada di samping kami.
"Ngomong-ngomong, bisakah kalian memperkenalkan diri?" Dia tersenyum manis, senyumnya membuatku merasa pria ini tak begitu tua.
"Ahh, aku lupa.. Salam kenal tuan, namaku Ava Raynee, mahasiswa jurusan psikologi semester satu" Ucap gadis itu, lalu ia membungkukkan badannya. Aku terdiam memandanginya, sudah banyak waktu yang ku habiskan malam ini bersamanya namun aku sadar bahwa aku lupa menanyakan namanya. Gadis itu kembali menegakkan tubuhnya, lalu menyikut lenganku.
"Salam kenal tuan, namaku Levi Ackerly. Mahasiswa jurusan ekonomi semester dua" Aku membungkukkan badan. Tuan Bakerville menganggukan kepalanya.
"Apa?! Kau lebih tua dariku? Ucap Ava, nada bicaranya seperti sangat tak terima.
"Tentu saja, kelasku berada satu tingkat di atasmu! Panggil aku senior! Aku seniormu" Ucapku meledeknya.
"Tidak mau, Siapa kau? hingga aku harus menyebutmu senior.." Ia cemberut, memaju-majukan bibirnya dan bergumam tidak jelas. Aku hanya terkekeh menyaksikan itu.
Ava berjalan menuju mayat wanita itu, matanya memandang ke sekelilingnya, seperti berusaha mencari sesuatu. Kemudian ia tampak tersenyum, sebuah senyum kemenangan, ia tampak seperti baru saja memenangkan lotere. Lalu ia mengulurkan tangannya, dan orang berseragam putih memberinya sebuah pinset, kapas dan sebuah kantong plastik kecil.
Ava mengambil semua barang itu, lalu mengambil bantal yang tergeletak di lantai. Ava membolak balik bantal itu, memercikan sedikit air ke atasnya, mencium aroma bantal itu dengan hidungnya, lalu meletakkan kapas di atas posisi bantal yang telah di percikkan air, lagi-lagi ia menciumnya. Kemudian memberikan kapas itu pada orang berseragam putih itu.
"Kau tahu bau apa ini?" Tanyanya, seraya tersenyum aneh.
"O-obat tidur?!" Seru orang berseragam putih itu dengan mata terbelalak kaget.
"Tepat sekali. Seperti dugaanku" Ava meletakkan kapasnya ke dalam plastik kecil itu, kemudian tersenyum aneh.
Bersambung~
Preview eps selanjutnya:
"Kau menuntaskannya?" Tanyaku takjub sekaligus tak percaya, aku sungguh kagum di buatnya.
"Tentu saja, sudah ku katakan si suamilah pelakunya!" Ava menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, lalu memejamkan mata.