Chereads / Nyanyian Cinta Di Pulau Terkutuk / Chapter 1 - Salah Rute

Nyanyian Cinta Di Pulau Terkutuk

enday_hidayat
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 5.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Salah Rute

Seekor burung pemakan daging melayang-layang di udara yang tidak begitu cerah, sekali-sekali terdengar suaranya yang menyeramkan. 

Tiba-tiba burung itu menukik dengan sayap menguncup ke permukaan sungai, cakar-cakar berkuku tajam mencebur ke air menimbulkan percikan hebat di sekitar, lalu terbang lagi membawa tangkapan ikan.

Sungai itu tidak begitu lebar, berair tenang, dan berkelok-kelok membelah hutan belantara. Kanan kiri ditumbuhi pohon-pohon besar dan tua dengan sebagian akar terendam air, berongga-rongga membentuk pemandangan yang menyeramkan. 

Dahan malang-melintang menutupi angkasa sungai. Tanaman perdu yang hampir mati tumbuh rebah menambah sempit permukaan air. Sepanjang tepian sungai bertanah landai lalu menanjak membentuk lereng hutan.

Kabut tipis menyelubungi hutan itu menciptakan aroma mistis.

Sebuah perahu bermotor melaju pelan-pelan menuju ke hilir. Perahu model houseboat tanpa dinding, berlantai datar, atap melengkung dengan empat tiang penyangga, tidak berkursi, berwarna agak usang.

Raka mengemudikan perahu dengan santai. Di dekatnya, Inara sibuk memfoto obyek pemandangan dengan kamera digital.

Oldi duduk bersila di belakang sambil makan coklat. Sekali-sekali tangannya menggelitiki kaki Kirei yang berdiri di sampingnya, mengganggu gadis itu mengambil gambar pemandangan dengan kamera gadget. Kirei membalas dengan memukul kepala Oldi menggunakan gulungan peta yang dipegangnya.

Di seberang mereka, Jonan berdiri bersandar ke tiang perahu. Maysha sibuk foto-foto tak jauh di sebelahnya, banyaknya selfie.

Penampilan mereka tidak berlebihan, tapi cukup menggambarkan kalau mereka berasal dari kalangan menengah ke atas. Semua barang yang dikenakan bermerek dan produk impor.

Laki-laki memakai sepatu tactical, perempuan memakai sepatu hiking. Tas laki-laki model carrier, tas perempuan model daypack.

Semua tas ditaruh di lantai bersama barang muatan, seperti dus-dus makanan dan minuman, kantong-kantong belanjaan, boks alat masak, tiga gulung karpet bulu, satu tas lonjong berisi tenda, dan perlengkapan lainnya.

Perbekalan itu terlihat berlebihan untuk kebutuhan berkemah selama satu minggu, seperti takut kelaparan.

Raka dan Jonan membawa veldples mungil dan sangkur di pinggang.

Oldi dan gadis-gadis metropolis itu kelihatan senang berperahu. Mereka mengabadikan setiap momen menarik yang terdapat di sepanjang aliran sungai. Oldi cukup dengan memanjakan matanya. Wisata alam ini adalah pengalaman pertama buat mereka.

Raka dan Jonan tampak jemu, seakan pemandangan yang tersuguh tidak menarik perhatian mereka.

Suara binatang kecil sekali-sekali terdengar dari dalam hutan. Kadang suaranya menyayat, menambah kental suasana mistis. Kirei, anak yang paling penakut di antara mereka, kadang merinding bulu kuduknya.

Seekor siamang duduk santai sambil makan buah-buahan di sebuah dahan.

"Itu tidak difoto, Rei?" canda Oldi. "Lumayan buat oleh-oleh orang rumah."

"Lihat kamu saja cukup," balik Kirei.

Berkumandang suara binatang dari dalam hutan, bunyinya melengking dan menyeramkan. Kirei semakin lumer nyalinya.

"Apaan itu?" tanya Maysha ke Jonan. Gadis ini cukup berani.

"Jeritan korban PHP kamu," sahut pemuda itu asal.

Kemudian terdengar bunyi cukup keras dan lumayan panjang seperti suara terompet rusak. 

Kirei tersentak kaget. "Binatang apaan lagi?"

"Jeritan pantat aku," jawab Oldi santai.

Serentak Kirei menutup hidung. "Jorok."

"Telat!"

Perahu memasuki daerah sungai dengan padang rumput hijau kanan kiri. Beberapa ekor rusa berkeliaran makan rumput. Gadis-gadis metropolis itu memfotonya.

Kirei zoom seekor rusa lalu sentuh ikon foto di layar ponsel tepat pada saat Oldi menciprati kakinya dengan air sungai. Kirei berjingkrak dan menggebuk Oldi dengan gulungan peta.

"Memangnya aku kompor meleduk apa diciprati air?"

Kirei lihat hasil fotonya di layar ponsel, terpampang close up bokong rusa. Matanya melotot. Oldi tersenyum lebar. Kirei bandingkan bokong rusa dengan senyum pemuda itu.

"Persis."

Padang rumput berakhir di bagian sungai yang sangat lebar menyerupai rawa-rawa. Raka menghentikan perahu. Matanya mengamati sekitar. Teratai, kiambang, dan tanaman air lainnya tumbuh rapat alami menutupi permukaan rawa, seperti tidak pernah dilewati.

Inara memandang heran. "Jadi curiga. Jangan-jangan salah rute."

Pengetahuan gadis itu tentang alam cukup lumayan sekalipun cuma tahu dari internet. Penampilannya paling feminim di antara dua gadis itu. Mengenakan busana simple dan prilly sehingga memancarkan pesona yang sangat anggun dengan rambut panjangnya.

"Banyakan curiga," kata Oldi. "Pacar ke toilet saja curiga ketemuan sama selingkuhan."

Inara tidak menanggapi. Pemuda itu tidak pandang tempat dan situasi, bercanda adalah kebutuhannya.

"Depan kita pas berangkat ada perahu bangca, mana tidak ada bekas-bekasnya?" Lalu Inara menoleh ke jalur sungai yang sudah dilewati. "Belakang juga perahu coble tidak kelihatan."

"Itu bagaimana ceritanya sampai salah rute?"

"Jadi menyalahkan begitu sih?" dengus Kirei ketus. "Kenapa bukan kamu saja tadi yang ikut briefing?"

"Aku sama Raka sibuk mengurus barang-barang. Jo cari perahu bateau sesuai keinginan Inara, dapatnya perahu butut kayak begini. Nah, kamu bertiga lama di posko, briefing apa cukur jenggot orang posko?"

"Sunat gajah bengkak." Kirei menjulurkan lidah mengejek.

Maysha melirik Jonan. "Buaya bisa juga kesasar di habitatnya."

"Kesasar ...," sahut Jonan acuh tak acuh. "Aku baru dengar kata itu."

Jonan tidak peduli dengan apa yang terjadi. Berkemah di hutan ini atau di basecamp sama saja. Tidak menarik. Maka itu dia suruh mereka ikut briefing dan hasilnya apa tidak ingin tahu. Pemuda itu sebenarnya ingin pergi bertualang ke Tanzania, mendaki Gunung Kilimanjaro. Dia terpaksa menemani mereka karena permintaan Raka.

"Kok bisa ya?" cetus Inara. "Kamu baca petanya benar kan, Rei?"

"Pasti benarlah! Memangnya aku buta huruf?"

Oldi meledek. "Katanya cari suasana baru, ya begini pengalaman pertamanya."

"Coba sini petanya." Raka yang sejak tadi diam saja angkat bicara.

Kirei menyerahkan peta yang dipegangnya. Raka buka gulungan itu. Sebuah peta berwarna. Pada bagian atas tertera judul: Rute Wisata Alam Pulau Tak Bernama.

"Kamu bacanya bagaimana?" Sekilas Raka menoleh. "Ini jalur merah, depan ada jeram deras, bahaya. Belakang tadi mestinya belok."

"Baca peta saja gak becus," semprot Oldi. "Bagaimana baca perasaan aku?"

"Perasaan kamu tidak usah dibaca. Sudah ketahuan ... menjijikkan."

Raka menggulung peta, menyerahkan kembali ke Kirei.

"Jadi pengen tahu yang namanya jeram itu kayak apa sih?" kicau Maysha.

"Jeram itu aliran air yang sangat deras, mau tahu derasnya kayak apa?" Jonan memandang Maysha. "Derasnya kayak sumpah serapah korban petualangan cinta kamu, bisa mati kelelep sekedipan."

Maysha tersenyum sinis. "Kirain derasnya kayak makian cewek yang kena ghosting kamu."

"Bagaimana kita sekarang?" Inara memandang Raka ingin tahu pendapatnya.

"Lanjut," sambar Kirei. "Kalau tenggelam, kan ada Raka sama Jo."

Oldi mendelik. "Memangnya kamu saja yang perlu ditolong? Aku dianggap buntalan kasur apa?"

"Itu merasa."

"Sesuai tujuan semula kita mau berkemah," kata Raka. "Bukan wisata arung jeram. Kita balik lagi."

Oldi memarahi Kirei. "Kebanyakan memikirkan si bule gembel. Semua jadi kacau."

Oldi tahu beberapa bulan ini Nick susah dihubungi. Dia pulang ke negerinya, habis kontrak di klub sepak bola tanah air, entah kembali lagi entah tidak. Kirei lagi gelisah menunggu kabar.

"Jangan marah-marah deh," kata Maysha. "Wajahmu makin sepet dilihatnya."

Dua ekor buaya yang meringkuk di antara rumpun semak mulai bergerak meninggalkan daratan, berenang di rawa-rawa mendekati perahu. Gadis-gadis metropolis itu menjerit kaget.