Seekor ular berbisa bergerak melingkar menaiki batang bakung emas yang tumbuh subur dengan sulur bunga panjang melengkung, lalu berdiri tegak dengan ekor melilit pada sulur bunga. Ular itu berada di jalan yang hendak mereka lewati.
Raka bergerak mendekat dari arah belakang. Kakinya berjinjit agar tidak menimbulkan suara. Setelah cukup dekat, tangannya secepat kilat menangkap leher ular dan membuang jauh-jauh. Lalu balik lagi ke mereka yang menunggu di bawah lereng dan mengambil barang bawaan yang teronggok di tanah.
Di wajah ketiga gadis itu masih tersimpan perasaan ngeri. Mereka tidak tahu ular jenis apa itu. Tapi mereka pernah melihat keganasan binatang itu. di internet.
Mereka memasuki hutan baru beberapa meter, nyawa sudah terancam. Lebih dalam lagi pasti banyak binatang berbahaya. Inara dan kedua temannya tidak melihat ular itu bertengger di bunga bakung emas karena terselubung kabut. Mereka benar-benar mengandalkan Raka dan Jonan.
Sebelum berangkat, mereka tidak ada persiapan untuk mengatasi ancaman, hanya melatih kekuatan fisik, belajar masak, dan menonton dunia flora dan fauna supaya tidak kaget jika melihat di alam nyata. Tapi baru bertemu dengan satu binatang buas saja, nyali mereka sudah hilang separuh.
Lagi pula, basecamp suasananya tidak seram begini. Pemandangannya sangat indah, dekat pantai karang, tidak ada binatang buas. Destinasi terbaik hasil pilihan mereka di internet.
"Tidak dibunuh saja sekalian," kata Maysha. "Bagaimana kalau kembali?"
Gadis ini kadang berpikir ambil gampangnya saja, sesuai dengan gaya hidupnya yang tidak ingin ribet. Jika setiap hewan buas yang mengancam mereka dibunuh, berapa banyak lagi yang mesti dilenyapkan?
"Jangan memancing perang dengan alam," kata Raka. "Kita tidak pernah tahu siapa yang jadi pecundang."
"Hutan ini masih perawan," timpal Oldi seolah ingin menakut-nakuti. "Jangankan ular, dedemit saja suka sama perawan. Berani bantai dedemit?"
"Jangan asal deh," tegur Kirei kecut. "Tar muncul lagi."
Kirei percaya hal-hal yang berbau mistis. Hutan perawan adalah hutan yang belum tersentuh manusia, banyak dihuni makhluk astral, itu yang membekas di otaknya.
Dia banyak menonton film dunia lain, tujuannya ingin mengurangi rasa takut supaya terbiasa melihat makhluk gaib, tapi nyatanya malah semakin menghantui pikiran.
"Kalau muncul, kenapa?" tatap Oldi separuh meledek. "Memang kamu masih perawan?"
"Dasar gajah bengkak."
Tidak hanya Oldi yang berpandangan kalau pacaran sama orang bule menganut hidup bebas. Banyak perempuan memilih pasangan orang bule karena tidak peduli dengan keperawanan. Tapi Nick tidak termasuk golongan itu. Penganut Katolik yang fanatik.
Mereka melanjutkan perjalanan. Lereng pada bagian ini cukup landai, ditumbuhi pohon-pohon tinggi dan sedikit semak belukar. Permukaan tanah tertutup daun-daun mati dan lembab. Tanaman bakung emas terdapat di mana-mana. Udara cukup menggigit karena hutan diselimuti kabut yang semakin menebal.
Ketiga gadis itu melangkah lambat-lambat seperti jijik menginjak dedaunan. Kadang Raka berhenti menunggu agar tidak ketinggalan jauh sambil mengamati sekitar. Oldi dan Jonan yang berjalan di belakang mesti bersabar mengikuti mereka.
"Anggap saja lantai diskotik," kata Oldi. "Butuh musik apa? Nah, itu musiknya."
Waktu itu terdengar suara tonggeret, jangkrik, kukila, dan caplak bersahutan membentuk harmoni irama natural, syahdu. Tapi di telinga Kirei terdengar seperti irama kematian. Menyeramkan.
"Aku ingin menikmati sentuhan daun busuk," sahut Kirei ketus. "Biar tidak ilfeel lihat pemandangan busuk di belakang."
Sebuah penghinaan berat sebenarnya. Wajah Oldi disamakan dengan barang busuk. Tapi pemuda itu sudah biasa mendapat bullying dari gadis cantik. Padahal wajahnya terbilang lumayan. Cuma perutnya terlalu maju.
Seingat Oldi, cuma Inara yang belum pernah mengeluarkan kata-kata kasar. Gadis itu memiliki kepribadian yang mengagumkan. Tidak heran jika terpilih jadi puteri kampus. Banyak tawaran main sinetron dan model iklan. Inara memilih jadi model iklan karena jadwalnya tidak padat. Profesi itu cuma selingan. Dia adalah penerus dinasti perusahaan besar, jadi studi diutamakan.
Perjalanan Inara ini disponsori sebuah iklan. Ada beberapa merek tertentu yang dikenakan. Kadang minta difoto bersama Raka dengan berbagai gaya. Tampang pemuda itu bisa menaikkan nilai kontrak.
"Gantengan aku kali dibanding bangkai busuk," sahut Oldi tanpa merasa tersinggung. "Aku sebenarnya ingin operasi plastik biar setampan Song Joong Ki. Takut jadi play boy dan kamu pasti tersakiti."
Kebesaran hati Oldi ini kadang membuat Kirei menyesal dengan kata-katanya. Song Joong Ki adalah aktor Korea yang lagi naik daun. Gadis itu tergila-gila padanya.
Seekor cacing besar merayap keluar dari bawah daun basah. Kirei menjerit kaget seraya melompat mundur hampir menubruk Oldi. Maysha segera menjauh. Jijik. Oldi ambil cacing itu dan dilemparkan ke semak-semak.
"Sekali-sekali tanya ke mami kamu, sosis apa yang dibawanya dari tanah leluhur."
Mami Kirei sering bolak-balik ke Tokyo. Urusan bisnis. Cinta manis pada dosen pribumi membuat dia rela tinggal di tanah air dan melahirkan anak-anaknya. Sosis takoyaki adalah oleh-oleh favorit.
"Jelas bukan sosis cacing," sambar Kirei keki. "Enak saja."
"Memang lihat saat bikinnya?"
Mereka mulai mendaki lereng yang agak curam. Gadis-gadis itu tampak kepayahan. Nafas naik-turun. Wajah berkeringat. Sekali waktu mereka berhenti, atur nafas dan lap keringat dengan tissue.
"Biasa mangkal di lampu merah begini," sindir Oldi. "Banyak merapikan wajah."
"Bisa diam gak sih?" bentak Kirei geram. "Mulut apa comberan ngocor terus?"
"Comberan." Oldi cengengesan. "Tempat pembuangan cintamu."
"Diam! Aku cape, tahu gak?"
"Aku gendong ya?"
Kirei kehabisan kata-kata untuk meladeni kekonyolan pemuda itu. Dia menyusul dua temannya yang sudah meneruskan perjalanan. Tapi beberapa menit kemudian mereka sudah beristirahat lagi.
Begini risikonya, pikir Jonan muak. Mesti banyak sabar. Anehnya mereka sanggup joget semalam suntuk. Tidak banyak istirahat. Padahal sama-sama menguras energi. Barangkali karena faktor hobi.
Untuk ukuran gadis metropolis, fisik mereka sebenarnya termasuk kuat. Mereka belum pernah berjalan kaki sejauh ini. Biasa naik-turun mobil. Keluar-masuk diskotik. Entah kerasukan apa, mereka tiba-tiba saja ingin pergi ke hutan.
Jonan tidak sudi menemani gadis-gadis cengeng kalau tidak memandang Raka. Mendingan ikut Ayumi ke Lombok, berselancar di Senggigi lebih banyak tantangan.
"Mereka sahabat kita," kata Raka. "Kita sudah pernah merasakan bagaimana kerasnya musik disko. Nah, sekarang mereka ingin merasakan bagaimana lembutnya musik alam."
"Pasti nanti menyusahkan kita."
"Kalau menyenangkan kita, aku tidak minta kamu. Muka kamu kan muka susah."
"Kita sudah ada agenda ke Kilimanjaro."
"Aku re-schedule. Jadi minggu berikutnya."
"Gila."
"Nyaris."
Raka sudah mempertimbangkan masak-masak keputusan itu. Tentu saja anak-anak Mapala protes. Tapi Inara adalah potensi besar yang tidak boleh disia-siakan. Jika gadis itu tertarik pada dunia petualangan, mereka tidak perlu susah-susah cari sponsor.
"Si Lola pasti ngamuk."
Gadis itu paling berani menentang. Raka melihat hal itu dipengaruhi perseteruannya dengan Inara. Untung perjalanan ke Afrika ini bukan disponsori perusahaan papinya. Modal pribadi masing-masing. Kerja sama dengan sponsor lain tidak mencapai titik temu. Jadi Raka bebas mengambil keputusan.
Raka sebenarnya tidak ingin ada sponsor dalam petualangan mereka. Agenda sponsor kadang bikin ribet. Tapi tidak setiap anggota Mapala mampu mengumpulkan dana. Pada petualangan itu ada beberapa orang tidak berangkat, padahal anggota paling potensial. Kemudian datang Inara membantu mereka.
"Buat apa mengurusi si Lola? Kamu bagaimana?"
"Malas ikut acara begituan. Tidak ada tantangan."
"Justru mereka itulah tantangannya."
"Sejak kapan perempuan jadi tantangan aku? Lagi mereka sudah punya pacar. Aku tidak suka jadi orang ketiga."
"Jadi ke mana-mana ya."
"Bukan itu maksudnya?"
"Kamu harus membuat mereka nyaman, terutama Inara."
Jonan sudah biasa menghadapi perempuan dengan bermacam karakter. Jadi tidak ada masalah seharusnya. Anak itu banyak akal untuk menarik simpati mereka.
"Di hutan tidak ada tempat yang nyaman buat mereka."
"Maka itu kamu bikin nyaman."
"Bagaimana caranya?"
"Kamu ahlinya."
"Aku menyerah untuk urusan yang satu ini, kecuali di hutan ada tempat dugem."
Raka angkat bahu sedikit. "Ya sudah. Kamu urus anak-anak Mapala ke Afrika. Aku pergi bersama mereka."
Tentu saja itu tidak mungkin. Semua berada di bawah komando Raka. Mereka tidak berani pergi kalau sudah ada keputusan ditunda. Apalagi pada pendakian itu banyak melibatkan pemula. Risikonya besar. Raka sudah teruji dalam mengatasi berbagai masalah.
Lagi pula, Jonan tidak biasa pergi bertualang tanpa Raka, ibarat pizza tanpa keju. Sekali-sekali tak ada salahnya ikut kegiatan Pramuka, berkemah di pulau tak bernama.
Jonan tidak tahu bagaimana membuat gadis-gadis metropolis itu merasa nyaman. Mereka sendiri tidak menikmati perjalanan ini. Seingatnya, kalau mereka sudah kumpul, yang timbul kekacauan.