Raka memutar haluan perahu dan melaju meninggalkan rawa-rawa menuju ke arah semula. Buaya mengejar. Gadis-gadis itu menjerit ketakutan.
Maysha yang berada di belakang berteriak dengan paniknya. "Cepat, Raka! Cepat! Cepat!"
Raka menambah kecepatan. Perahu melaju kencang. Tapi buaya-buaya itu cepat sekali mengejar. Jarak mereka semakin dekat. Oldi bangkit dari duduknya dan menjauh dari sisi perahu, merasa ngeri juga.
Maysha bertambah panik. "Raka! Cepat! Cepat! Cepat!"
Sementara Jonan tenang-tenang saja bersandar ke tiang perahu.
"Kamu sepertinya menikmati sekali jeritan perempuan," sindir Raka.
Jonan baru bergerak mengambil sepotong daging segar dari kantong belanjaan dan dilemparkan ke depan buaya. Potongan daging yang jatuh ke dalam air berhasil mengalihkan perhatian, buaya berebut untuk mendapatkannya.
Ketiga gadis itu bernafas lega. Perahu meluncur kencang melewati kawasan padang rumput.
"Buaya darat ternyata lebih cerdik dari buaya rawa," ejek Maysha. "Kayaknya buaya betina."
Raka melambatkan laju perahu secara tiba-tiba. Perahu berhenti. Ada pohon besar tumbang menutupi jalur sungai sehingga perahu tidak bisa lewat.
"Bagaimana pohon itu bisa roboh mendadak?" cetus Maysha heran. "Padahal pohon itu tidak tua-tua banget."
"Pohon roboh mendadak heran," sindir Jonan sinis. "Giliran cowok roboh mendadak kamu sergap."
"Tidak masuk akal," pandang Kirei tak percaya.
"Akalnya pas-pasan sih," sambar Oldi.
Raka menenangkan mereka. "Di hutan pohon roboh biasa. Jadi tidak ada yang tidak masuk akal."
"Cinta roboh juga biasa." Oldi mengerling ke Kirei. "Betul tidak?"
"Biar pakai gergaji mesin, cintaku tidak bakalan roboh."
"Pakai buldozer berarti."
Maysha belum bisa menerima kejadian itu dengan logikanya. "Tidak mungkin roboh sendiri. Pasti ada yang mempercepat robohnya. Masa gajah iseng?"
"Jangan berburuk sangka pada binatang," dengus Jonan. "Kamu tidak lebih mulia."
"Kayak yang ngomong manusia saja."
"Bukan binatang kayaknya," tukas Kirei.
"Terus apaan?" sambar Maysha. "Dinamit?"
"Dedemit," ralat Inara. "Takhayul itu."
Raka menghubungi posko lewat radio komunikasi perahu. "Contact posko."
Tidak ada jawaban. Raka besarkan volume radio, terdengar bunyi "zzzz'" berisik sekali. Raka ganti hubungi basecamp. "Basecamp contact."
Tidak ada jawaban juga, terdengar bunyi "zzzz" berisik sekali. Sekali lagi Raka hubungi mereka. "Break, break. Ada yang monitor, ganti?"
Sekali lagi terdengar bunyi "zzzz" berisik sekali. Raka kecilkan volume radio mengurangi kebisingan, lalu keluarkan ponsel satelit dari kantong celana.
"Tidak ada sinyal," kata Inara. "GSM juga."
Sekilas Raka melihat layar ponsel dan menyimpannya kembali.
"Ada rencana lain? Tidak mungkin kita gotong ramai-ramai pohon itu."
"Kita sudah telat check in. Orang basecamp pasti lagi mencari. Telat-telatnya besok pagi datang."
"Berarti tidur di mari?" desis Kirei ciut.
"Sana hutan sini hutan," sahut Oldi. "Apa bedanya?"
"Di basecamp banyak orang."
"Banyak orang apa cari orang bule? Tidak cukup satu?"
Raka menggerakkan perahu ke pinggir sungai yang landai dan berhenti di air dangkal dekat pohon tumbang, matikan mesin.
"Aku cari tempat bermalam." Jonan siap-siap turun.
Maysha buru-buru mencegah. "Tidak, tidak. Kamu tidak boleh pergi. Kalau ada apa-apa, bagaimana?"
"Punya hati juga."
"Jangan GR. Aku cuma tidak ingin cewek sastra Jepang itu baper lihat kamu kenapa-napa, baru jadian kan?"
"Buat apa susah-susah cari tempat bermalam?" potong Kirei. "Di mari saja, tinggal geser barang-barang. Kalau orang basecamp datang, langsung pergi."
"Kalau yang datang buaya rawa, bagaimana?" sambar Oldi. "Yang selamat cuma handphone kamu, buaya tidak doyan ada fotonya si bule gembel."
"Sungai ini mengalir dari Samudera Hindia dan menuju ke Samudera Hindia," kata Raka. "Aku tidak tahu bahaya apa yang ada dalam air kalau kita bermalam di sini."
"Tahu begini...." Inara tidak jadi meneruskan kata-katanya karena mata Raka sudah bergeser dan memandang bolak-balik ke arahnya.
"Menyesal? Kamu yang ingin berlibur di pulau ini. Aku sudah katakan segala sesuatu bisa terjadi. Rencana tidak berjalan sebagaimana mestinya. Beda dengan kamu pergi ke Paris sama mami-papi kamu, atau liburan ke Hawaii sama teman-teman, sama si Jimy pacar kamu."
Inara hendak membantah, tapi Raka sudah melanjutkan kata-katanya.
"Pulau ini adalah satu dari sekian ribu pulau yang belum mempunyai nama dan belum terdaftar di PBB sebagai wilayah Indonesia. Tahu apa artinya itu? Rencana tinggal rencana, penyesalan tinggal penyesalan."
"Yang menyesal itu siapa? Aku cuma mau bilang tahu begini pakai guide, kok jadi ke mana-mana?"
"Bisa apa guide?" dengus Jonan dengan gaya yang meremehkan. "Paling-paling cuma bisa berdoa agar diberi kesabaran."
"Setidaknya mereka tahu yang mesti dilakukan."
"Aku bisa panggil guide," sambar Raka dingin. "Sekalian pulang."
Maysha menatap tidak senang. "Kok begitu sih kamu? Tidak menghargai bangat. Aku, Ara, Rei, dapat izin mami-papi itu tidak gampang, tahu gak?"
"Teman kamu butuh guide."
"Tersinggung? Sensi banget kamu ya?"
"Ada guide terus aku buat apa? Cuma buat menemani kalian aku tidak punya waktu."
"Begitu saja jadi persoalan," semprot Kirei. "Tidak baik gampang ilfeel, cepat tua."
"Lagi tidak boleh ya sudah," timpal Inara. "Sampai sebegitunya."
"Kayaknya gara-gara si Lola tidak jadi pergi deh," gerutu Maysha. "Kamu jadi bantalan."
Inara memandang Maysha pura-pura tidak mengerti, padahal maksudnya ingin menyindir Raka. "Masa sih? Kan sudah aku tawari boleh bawa siapa saja, mami-papinya si Lola bila perlu. Salahnya aku di mana?"
"Jadi ribet begini ya?" Oldi usap-usap kepala. "Buat apa ribut-ribut soal si Lola, si Jimy, si sastra Jepang? Orangnya saja di mana tahu."
Mereka diam. Raka ambil dua tas karpet. Satu tas lagi berikut tas tenda diambil Jonan. Mereka ikat di atas dan bawah carrier. Oldi kebagian lampu badai, boks alat masak, dan kompor parafin.
Kemudian Jonan menggantungkan kantong-kantong belanjaan besar dan dua dus makanan kaleng pada batang frame, dibantu Oldi. Mereka gotong menuruni sungai menuju ke daratan sambil masing-masing menenteng sebuah dus minuman kaleng. Sementara Raka menjinjing dus meja pasang ulang dan dus minuman botol.
Di perahu tersisa empat buah dus; dua dus makanan dan dua dus minuman. Kantong belanjaan yang ringan-ringan dibawa oleh ketiga gadis itu. Mereka masih berdiri di sisi perahu, tidak berani turun ke sungai.
Raka datang menghampiri Inara. "Maaf."
Pemuda itu meraih tubuhnya dan membopong ke daratan. Jonan memanggul tubuh Maysha tanpa basa-basi. Gadis itu menjerit-jerit sambil memukul-mukul punggungnya.
Oldi lebih romantis. Tangannya membentang depan Kirei sambil berharap dengan mata terpejam. Gadis itu pergi ke sisi lain, lepas sepatu dan kaos kaki, lalu melilitkan celana. Kakinya turun dengan hati-hati dari perahu, berjalan di air. Saat pemuda itu membuka mata, dia sudah hampir sampai di daratan.
"Nasib nasib." Oldi mengambil tambang perahu, diikatnya pada dahan pohon tumbang. Selesai itu menoleh ke mereka. "Dus-dus ini sudah begini saja? Tidak ditutupi atau bagaimana begitu biar tidak ada yang mencuri?"
"Di hutan belantara begini mana ada maling?" sergah Maysha. "Minumnya kemarin maboknya sekarang."
"Maling di mana-mana ada." Oldi berjalan menuju daratan. "Binatang bisa saja jadi maling. Memangnya dia tahu amal soleh apa?"
"Mau ada juga kanibal," tukas Kirei. "Siap-siap saja kamu jadi santapan pertama."
Oldi naik ke daratan. Lalu mereka berjalan beriringan mendaki lereng landai.
Di seberang sungai, tampak butiran tanah di sela-sela akar pohon tumbang berjatuhan ke permukaan air menimbulkan riak-riak kecil, seperti ada yang membuangnya. Tapi di sekitar akar tidak terlihat makhluk apapun.
Raka sempat melihat kejadian aneh itu. Tapi cuma angkat bahu.