Chapter 27 - Angel

Bab 27

Keesokan harinya, Jihan pun sadar dari pingsannya. Hal pertama yang dilihatnya adalah warna putih dari dinding ruangan di mana dia dirawat.

Jihan memegang kepalanya ang masih terbungkus dengan kain perban. Kepalanya terasa pusing, pandangannya juga berkunang-kunang. Jihan merasa perutnya mual seperti mau muntah.

"Hueeekk!"

Suara Jihan membangunkan Marni yang tidur di sisi tempat tidur Jihan.

"Anak cantik, kamu sudah sadar. Pak, cepat panggil dokternya!" teriak Marni membaut Saleh juga ikut terbangun.

Saleh segera berlari ke luar ruangan mencari Dokter Ivan. Sementara Marni terus memijat tengkuk Jihan sambil menampung muntahannya dengan baskom yang ditemukannya di toliet.

"Kasihan sekitar kamu, cah ayu. Nama kamu siapa?" tanya Marni saat Jihan tak muntah-muntah lagi.

"Nama aku ... siapa, ya. Aku gak ingat, Bu," jawab Jihan.

"Lho, piye, toh? Nama sendiri masa tidak ingat, jangan-jangan kamu lupa juga siapa nama orang tua kamu."

Jihan mencoba mengingat siapa nama orang tuanya kemudian mengangguk. Marni hanya bisa geleng-geleng kepala jadinya.

Tak lama Saleh kembali bersama Dokter Ivan yang langsung memeriksanya. Tak lupa Marni menceritakan keadaan ingatan Jihan pada dokter itu.

"Bagaimana, Dok? Masa dia gak ingat siapa namanya juga orang tuanya." Marni bertanya pada Dokter Ivan.

"Sepertinya benturan di kepalanya itu penyebab dia menjadi lupa ingatan, Bu. Kita harus periksa lebih lanjut tapi perlahan di sini tidak memadai. Kalian harus membawanya ke rumah sakit Umum agar diperiksa lebih teliti lagi," teenage Dokter Ivan panjang lebar.

"Walah, biaya lagi berarti, Dok. Kalau tidak usah diperiksa bagaimana, apa dia bisa sembuh?" tanya Saleh.

"Secara pisik dia bisa sembuh, tapi ingatannya tidak akan bisa diketahui apa permanen atau hanya sementara jika tidak diperiksa lebih lanjut," jawab Dokter Ivan.

Marni dan Saleh saling berpandangan, kemudian memutuskan akan merawat Jihan untuk sementara waktu sampai ingatannya pulih. Dokter Ivan mengerjakan keputusan pada mereka, Saleh pun pergi menemui Mak Lela untuk menjual kalung milik Jihan.

"Dari mana kamu mendapatkan kalung mahal seperti ini? Kamu mencuri, ya?" tuduh Mak Lela saat Saalwh menyerahkan kalung itu padanya.

Mak Lela adalah seorang pemilik toko perhiasan di daerah itu. Dia terkenal sebagai orang yang baik dan dermawan. Banyak sudah orang kesusahan yang dibantunya.

"Ah, Mak Lela seperti tidak tahu bagaimana saya saja. Mana mungkin saya melakukan hal jahat seperti itu. Kalung itu milik seorang anak yang sedang sakit, saja menjualnya untuk menebus biaya pengobatannya."

Mak Lela percaya pada ucapan Saleh, sebab dia sudah lama mengenal Saleh dan kepribadiannya. Mak Lela pun menerima kalung tersebut dengan harga yang cukup lumayan untuk membayar biaya pengobatan Jihan.

Tiga hari kemudian, Jihan sudah boleh pulang. Saleh pun membayar biaya pengobatannya.

Ternyata uang hasil penjualan kalung masih bersisa banyak setelah dikurangi biaya pengobatan Jihan. Saleh pun berinisiatif untuk menyewa sebuah rumah yang layak untuk tempat tinggal mereka bersama Jihan.

Rumah kontrakan sederhana dengan satu itu di sewanya seharga lima ratus ribu setiap bulannya. Saleh membayar langsung untuk tiga bulan ke depan.

Marni pun senang karena bisa tinggal di rumah yang lebih layak dari pada emperan toko.

"Ternyata menolong kamu ada hikmahnya juga buat kami, ya. Aih, siapa nama kami, ya. Aku harus memanggilmu apa?" tanya Marni pada Jihan.

"Bagaimana kalau Angel, soalnya dia seperti malaikat yang dikirim Allah pada kita, Mar," jawab Saleh.

"Angel, nama yang cantik untuk anak cantik seperti kamu. Mulai sekarang nama kamu Angel, ya!" kata Marni dengan senang.

Jihan atau Angel pun hanya tersenyum lalu mengangguk. Dia masih merasa bingung dan aneh dengan semua yang dialaminya.

Jihan merasa sedih karena tak bisa mengingat sedikitpun masa lalunya. Terpaksa dia menerima kenyataan harus tinggal dengan orang baik yang tak dikenalnya.

------

Sementara itu di kediaman Erik dan Joya, mereka tengah bersedih karena tak kunjung mendapat kabar akan keberadaan Jihan. Sudah dua hampir seminggu mereka menunggu dengan sabar, tapi tak ada satu pun orang yang menghubungi untuk memberi kabar atau meminta tebusan seperti perkiraan polisi.

Heru dan Helena yang langsung menyusul ke Surabaya begitu mendengar kabar kehilangan cucunya juga sudah berusaha menyebar beberapa orang untuk mencari tahu keberadaan Jihan. Namun, sampai detik ini juga gak ada kabar beritanya.

Polisi juga sudah bekerja keras, tapi belum juga menampakkan hasil yang diharapkan.

"Mas, bagaimana dengan keadaan Jihan. Aku takut sekali, Mas," keluh Joya pada Erik.

"Kamu tenang dulu, ya, Sayang. Kita juga sudah berusaha. Sekarang kita hanya bisa berharap dan berdoa Jihan masih hidup dan baik-baik saja," bujuk Erik.

Mereka semua berduka dan bersedih. Memeriksa merasa galau dan tidak tenang jika belum mengetahui keadaan Jihan saat ini.

"Sebaiknya, Joya istirahat dulu di kamar. Sudah satu Minggu ini kamu gak biasa tidur dengan nyenyak, kan. Lihat wajah kamu, pucat dan layu. Helena, bawa menantu kita ke kamar biar dia istirahat di sana!" titah Heru pada Helena istrinya.

Helena mengangguk lalu mengajak Kita ke kamar. Joya menolak, tapi Helena memaksa sehingga mau tidak mau terpaksa Joya menuruti kemauan mertuanya itu.

Keluarga Kusuma tengah berduka. Cucu bungsu mereka menghilang dan tak diketahui dimana dia berada.

Sementara itu, di Jakarta. Sarah sedang uring-uringan di rumahnya. Seluruh perabotan yang ada di kamarnya telah hancur berkeping karena kemarahannya. Sarah kesal dan marah karena rencananya jadi berantakan oleh sebab kecerobohannya sendiri.

"Kalau saja aku tak lupa mengisi bensin saat itu pasti sekarang aku tengah gembira menyaksikan kehancuran keluarga Kusuma itu. Arrrgggh, mengapa aku begitu ceroboh!" terimanya sambil terus melemparkan barang yang aada di dekatnya.

Pembantu di rumahnya tak berani mendekat sebelum dipanggil oleh Sarah, biasanya seperti itu. Jika rasa kesal Sarah sudah berkurang atau hilang, dia akan memanggil pembantunya untuk membereskan kekacauan yang sudah dilakukannya.

Sikap Sarah yang arogan dan kasar sering membuat pembantunya tidak betah. Mereka sering berganti karena tak tahan melihat kelakuan Sarah jika sedang marah. Hanya Iyem, pembantu lamanya yang tetap setia bekerja dan menjadi kesayangan Sarah.

Iyem, wanita berumur lima puluh tahun itu sudah mengenal betul watak dan sifat majikannya. Sehingga dia betah-betah saja bekerja di sana.

Iyem menunggu dengan sabar di luar kamar Sarah. Dia yakin sebentar lagi, Sarah akan memanggilnya masuk kedalam kamar.

"Mbok Yem, kemari sekarang juga!" terik Sarah dari dalam kamarnya.

Iyem bergegas masuk dan melotot melihat perabotan yang sudah tak tentu lagi bentuknya. Meja rias kaca yang harganya sangat mahal sudah hanxur berkeping-keping. Sementara itu, isi lemarinya sudah berserakan di lantai.

"Mbok, kenapa bengong. Bersihkan semua ini. Aku gak mau tahu, selesai aku mandi nanti harus sudah rapi semua. Paham!" bentak Sarah.

"Paham, Non. Pokoknya beres," jawab Iyem yakin.

Dia tahu kalau sudah marah, Sarah akan berendam di dalam air hangat hingga berjam-jam. Sudah pasti kamarnya akan rapi kembali saat dia selesai mandi nanti.

Bersambung.