"Kumohon Tuan, aku hanya ingin melakukan hubungan semacam itu dengan suamiku! Kalau kau mau melakukan itu padaku, maka kau harus menikahiku!" sahut Vanessa memberanikan diri.
Cih!
Pria itu hampir meludah ke samping namun ia urungkan hal tersebut. Bukan sikap pria berkelas jika ia melakukan perbuatan semacam itu. Hal seremeh itu masih saja menelusup ke dalam akal sehatnya.
"Ck, ck, ck, kau menilai dirimu terlalu tinggi, Nona? Kau pikir siapa dirimu? Hah? Putri Raja? Gadis suci?" sindir Richie sembari terkekeh geli. Ia menghempaskan dagu Vanessa ke sembarang arah.
Kalau tidak berpegangan pada seprei yang menjadi alasnya, mungkin kepala gadis itu akan terbentur ke dinding.
Setidaknya menikah lebih baik daripada ia dipandang dan dianggap sebagai jalang. Itu hanya sekedar pikiran dangkal seorang Vanessa.
Vanessa belum tahu sedang berhadapan dengan siapa ia saat ini. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menjaga kesuciannya bagaimana pun caranya. Sampai mati pun akan ia pertahankan. Karena itu adalah harta berharga yang masih ia miliki hingga detik ini. Hal itulah yang membuat Mark meninggalkan dirinya.
Mengingat Mark membuat Vanessa semakin terluka. Seolah tak ada satu pun yang sudi melindungi dan menyayanginya sepenuh hati.
Richie memiringkan senyumnya. Ia melepaskan setelan jasnya dengan cepat dan sembarangan. Ia benar-benar tak peduli. Ia hanya memburu kesenangannya sendiri.
Tak lama kemudian, pergerakan pria itu benar-benar tak bisa ditebak. Richie memaksa Vanessa membuka tali yang ada di punggungnya.
Gadis itu terlihat sekali begitu ketakutan. Ia tak pernah menduga ternyata pria di hadapannya saat ini tak bisa diajak bernegosiasi dan terus menggerayangi tubuhnya dengan tangan besarnya.
"Jangan, Tuan! Jangan!" pekik Vanessa mencoba menutupi kedua bukit sintal miliknya yang hanya ditutupi kain tipis dari lingerie tersebut. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan aset berharganya itu.
Bahkan bisa dibilang, ia sama sekali tak merasakan bagaimana kain itu melindungi tubuhnya. Ia bisa merasakan deru napas pria itu mengenai semua lapisan kulitnya. Bulu kuduknya refleks meremang dengan sendirinya.
Bukan Richie namanya jika ia hanya menggertak tanpa melakukan hal yang lebih dari itu.
Ia benar-benar melakukan apa yang ingin ia lakukan. Ia tak mau disuruh-suruh oleh orang lain, apalagi hanya seorang gadis lugu di hadapannya yang mencoba menghentikan kesenangannya.
Vanessa lelah harus berteriak. Ucapannya saja hanya dianggap angin lalu oleh pria tersebut, apalagi teriakannya. Gadis itu pasrah ketika pria itu mengecup keningnya dan terus turun hingga berhenti di lehernya.
Vanessa mendesah pelan. Semampunya ia menahan, tapi ia kalah oleh tubuhnya sendiri. Hati dan pikirannya terus menolak. Tapi tubuhnya?
Sialan!
Munafik!
Ini namanya bukan bermuka dua, melainkan satu tubuh tapi begitu banyak sosok di dalamnya. Apakah ia memiliki sesuatu yang disebut bipolar disorder?
No!
Ia merutuki kepolosannya. Bagaimana bisa bibir laknatnya mengeluarkan desahan-desahan semacam itu?
Pria itu benar-benar tahu di mana letak titik sensitifnya. Ia berkali-kali mendesah pelan hingga bagian puncak kedua bukit sintal dipelintir oleh pria tersebut dengan kerja sama ibu jari dan telunjuknya. Ia tak bisa membungkam gerak bibirnya sendiri. Ia benar-benar terrangsang.
Mulut dan hatinya benar-benar berbanding terbalik. Sungguh, ia benar-benar membenci dirinya setengah mati. Hatinya terus meronta untuk menghentikan semua pergerakan pria itu di atas tubuhnya. Tapi tubuhnya malah menerima dengan senang hati dan ikhlas seperti ini!
Kegilaan apa ini, Ya Tuhan?
Oh cukup!
Tubuh Vanessa melengkung ke bawah membentuk curva secara mendadak saat ia merasakan bagaimana pria itu menghisap salah satu puncak gundukan sintal miliknya secara bergantian.
"Tuan, kumohon hentikan! Ah! Aku mohon…" pinta Vanessa hingga terisak, ia tak pernah merasakan dirinya ditelanjangi dan dipermalukan seperti ini, namun tetap saja usahanya tak merubah keadaan dan justru membuat suasana semakin memanas.
"Menghentikan? Aku baru saja memulainya, Nona! Cukup diam dan nikmati!" bisik Richie di telinga gadis cantik di bawah kungkungannya.
"Ah! Sakit!" pekik Vanessa di saat ia merasakan kulit lehernya hingga ke bagian tulang selangkanya dihisap kuat-kuat oleh Richie.
Sungguh menyakitkan, tapi setelah itu ia bisa merasakan suatu gelanyar aneh yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Benar-benar aneh permainan pria ini!
Dalam satu waktu pria itu bisa membuatnya merasa kesakitan, tapi setelah itu ia seakan terbang ke nirwana dengan kenikmatan yang belum sepenuhnya ia dapat dari Richie. Itu baru pemanasan atau bisa dibilang permulaan, bagi Richie.
Tapi yang lebih anehnya adalah tubuhnya sendiri yang selalu menerima apa pun perlakuan pria itu padanya. Bahkan ia bisa mendengar sendiri bagaimana bibirnya dengan lantang memekik nikmat.
Meski lingerie yang ia pakai tak terlepas sepenuhnya dari tubuhnya, tapi ia sudah bisa merasakan bagaimana sesuatu dari inti tubuhnya basah. Ya, ia mulai merespon segala tindakan yang pria itu lakukan padanya.
Bragg
Pintu kamar yang mereka huni dibanting oleh seseorang. Seorang lelaki berperut buncit, kepalanya dihuni oleh rambut yang tersisa separuh dan memutar dengan warna putih dominan tampak membelalakkan matanya ke arah Vanessa serta Richie.
Lelaki itu sungguh marah bukan main. Lebih tepatnya, ia kecewa setengah mati. Bagaimana tidak kecewa, gadis yang sempat ia tawar dengan uang muka yang tak bisa dibilang sedikit telah ditiduri pria lain.
Dan naasnya, pria itu adalah seorang Cassanova, pesaing bisnisnya, dan satu lagi kenyataan penting di sini adalah.. Keponakannya sendiri!
Gila!
Ya, Richie adalah keponakan dari pria yang berdiri di sana. Ia benar-benar menunjukkan sikap keterkejutannya.
"Richie! Apakah ini benar-benar kau?" tanya lelaki itu di ambang pintu yang telah mengganggu kesenangan pria muda di atas ranjang.
Richie memiringkan senyumnya tanpa sepengetahuan siapa pun.
Sebelum ia bangun dari posisinya yang terlihat begitu ambigu saat ini. Ambigu karena di atas tubuhnya terbungkus selimut tebal yang pasti membuat siapa saja yang melihatnya akan menduga bahwa mereka berdua sedang bercinta.
Sambil memperbaiki posisi, ia sempatkan berbisik di telinga Vanessa, "Tutupi wajahmu! Jangan biarkan siapa pun melihatnya!"
Vanessa mengangguk mantap dengan tempo cepat.
Di bawah pencahayaan lampu yang minim, Vanessa merasa bersyukur karena wajahnya tak tampak jelas di mata lelaki tua yang tampak kesal di ambang pintu. Abigail, namanya.
Sebisa mungkin ia menutupi wajahnya dengan selimut tebal yang sebelumnya berada di atas punggung Richie.
Richie duduk di samping Vanessa. Ia tersenyum remeh pada Abigail, si pria berkepala nyaris botak dengan rambut yang didominasi warna putih tersebut.
"Seperti yang kau lihat, Paman! Ini aku, Richie!" sahut Richie tegas disertai senyum penuh kemenangan seperti orang yang baru saja memenangkan lotre.
"Bagaimana bisa kau ada di sini? Kenapa ka-kau…" tanya Abigail terhenti.
"Kalau kau bisa bersenang-senang, kenapa aku tidak? Lebih baik kau pergi dari sini sebelum aku mengabari istrimu di rumah tentang bagaimana kebusukanmu di belakangnya!" ancam Richie.
"Ka-kau!!" pekik tertahan Abigail.
Abigail membelalakkan matanya. Ia memukul pintu dengan kepalan tangannya sebelum meninggalkan tempat itu. Ia benar-benar marah.
Sepeninggal Abigail yang diikuti Madam Moe, kamar itu kembali dihuni oleh dua manusia dengan minim kain membalut tubuh masing-masing.
"Kuterima tawaranmu tadi untuk menikahimu, tapi kau tentu tahu ada syarat dari semua negosiasi! Paham?" ujar Richie yang seketika membuat Vanessa terkejut.
"Apa syaratnya, Tuan?" tanya Vanessa penuh selidik di bawah rasa takutnya.
To be continue…
****