Krucuuk Krucuuk
Suara perut seseorang tengah berdendang dengan merdu. Tiga pasang telinga termasuk miliknya sendiri ikut terkejut dibuatnya.
Cih, benar-benar memalukan!
Vanessa terdiam menahan malu dan semakin menundukkan pandangannya. Entah apa yang dipikirkan dua manusia lain di dalam mobil tersebut? Rasanya ingin sekali menyembunyikan dirinya ke dalam palung terdalam di lautan.
Sungguh sangat, sangat memalukan!
"Kau lapar? Apa Moe tidak memberimu makan sebelum kau bekerja melayani para pelanggan? Hah?" tanya Richie yang terdengar menghina sang gadis suci.
Vanessa terhenyak. Ia tak menyangka usahanya menyanggah setiap kata-kata Richie padanya beberapa saat lalu hanya diabaikan begitu saja dan dianggap angin lalu.
Ia masih perawan.
Apakah wajahnya tampak seperti wanita penggoda yang dengan suka hati menjajakan diri demi uang? Mencari uang demi memenuhi nafsu bejat para hidung belang di Dark Angel? Apakah dirinya terlihat sehina itu?
Sialan pikiran lelaki ini!
Vanessa tak menjawab. Hatinya terluka saat ada seorang pria mengatainya dengan begitu lantang seperti yang baru saja Richie katakan padanya.
Sungguh menyakitkan!
Mimpi apa dia semalam? Bahkan jika ia diijinkan memilih, lebih baik ia tak tidur dan tentu saja ia tidak akan mendapati mimpi seperti ini. Ia rela begadang agar tak ada mimpi buruk datang menyapa dan membuatnya tinggal di sana dalam waktu yang tak tentu.
"Aku bertanya padamu! Kenapa tak kau jawab, hah?" tanya Richie yang kini mulai menunjukkan sikap kerasnya. Ia tak lagi bersikap manis dan lembut seperti yang ia lakukan di Dark Angel.
Seperti gerakan yang telah ia rasakan sewaktu di Dark Angel, lelaki itu kembali mencubit dagunya. Dan kali ini terasa lebih menyakitkan.
Entah benar atau tidak keputusannya keluar dari Dark Angel dan memilih ikut bersama pria ini dengan segala syarat di belakangnya.
Yang pasti saat ini adalah ia harus bersyukur pada sang pemilik kehidupan karena bisa keluar dari sana. Ia harus bernapas lega karena tak lagi menjadi seorang tawanan di Dark Angel.
Vanessa refleks memejamkan matanya. Ia sungguh ketakutan melihat sorot mata Richie yang tertuju ke arahnya. Begitu tajam, dingin, dan mungkin saja bisa mematikan lawan yang berhadapan dengannya.
Richie menghempaskan rahang Vanessa seenaknya sendiri.
Vanessa bisa merasakan nyeri di bagian dagunya usai dicengkeram oleh pria tampan tersebut. Ia pun mengelus bagian itu sembari menahan tangis.
"Jonny, cepat putar balik dan kembali ke rumah besar sekarang juga!" titah Richie pada Jonny, sopir pribadinya yang usianya seumuran dengannya.
"Baik, Tuan Muda!" jawab Jonny cepat karena ia tak mau membuat majikannya kecewa dengan kinerjanya.
Mobil melaju ke sebuah bangunan besar. Oh tunggu harap diralat, bangunan yang benar-benar besar bak istana.
Sempat terselip tanya di dalam pikiran Vanessa, apakah masuk ke rumah ini akan ada seseorang yang menggelarkan karpet berwarna merah untuk menyambut kedatangan mereka?
Isshh, pikiran konyol macam apa ini?
"Ingat apa kata-kataku tadi! Kau cukup diam dan biarkan aku yang menjawab semua pertanyaan siapa pun di rumah ini! Kau tak diperkenankan menjawab satu pun pertanyaan mereka. Mengerti?" tegas Richie sebelum keluar dari kendaraan mewah yang mereka tumpangi saat ini.
Vanessa tak punya pilihan lain selain mengangguk mengiyakan. Ia pasrah. Asal tak dikembalikan ke Dark Angel atau dipulangkan pada ayah kandungnya, ia sudah begitu lega.
Dua pintu besar terbuka lebar menyambut kedatangan mereka. Kembali harus diralat, hanya tuan mudanya saja. Meski begitu, para maid tetap menunjukkan sikap hormatnya pada gadis yang dibawa Richie ke sana dengan mengulas senyum ramah.
"Selamat malam, Tuan Muda Richie!" sapa para maid menyambut tuan mudanya yang super tampan itu.
Vanessa baru tersadar bahwa pria di sampingnya memiliki wajah rupawan disertai tubuh tegap dan tinggi.
Sungguh menyilaukan mata.
Mark kalah jauh dengan pesona yang pria ini miliki meski keduanya sama-sama berwajah tampan.
Cih!
Vanessa buru-buru mengenyahkan pikirannya dari bayangan wajah Mark, pria yang telah mengkhianati ketulusan cintanya.
"Hem!" jawab Richie singkat.
Richie menoleh ke samping dan tanpa gadis itu sadari ia melakukan pergerakan tak terduga.
Telapak tangan besar pria itu menggenggam tangan Vanessa dan menggiringnya melewati barisan para maid yang menunduk hormat.
"Ikut aku dan lakukan tugasmu sebaik mungkin!" bisik Richie di telinga Vanessa.
Vanessa mengangguk paham. Ia tidak bodoh. Di sini, ia harus melakukan syarat dari sebuah negosiasi. Negosiasi yang telah ia setujui apa pun syaratnya.
"Di mana kakek?" tanya Richie pada seorang lelaki paruh baya yang berprofesi sebagai kepala pelayan di rumah besar tersebut.
"Tuan besar sedang bersantai di ruang tengah, Tuan Muda!" sahut Bobby, kepala pelayan yang telah mendedikasikan diri di kediaman Jody selama puluhan tahun.
Bersantai?
Kepala Vanessa dipenuhi banyak penjabaran dari kata bersantai. Sedang apa ya pria yang dimaksud Richie barusan?
Gadis cantik itu hanya diam tanpa banyak bicara. Netra hazelnya menyusuri setiap lantai yang ia pijak. Lantai berbahan kayu premium kini sedang ia pijak di bawah sana.
Hunian ini begitu membuatnya terpukau, tempat yang sejuk dan nyaman untuk ditinggali.
Oops!
Jangan bermimpi terlalu tinggi untuk tinggal di tempat ini!
Sadarlah! Kau ini siapa?
Vanessa tersadar. Ia tak boleh banyak memikirkan sesuatu yang bukan urusannya. Ia harus ingat bagaimana Richie memberinya peringatan serta ultimatum keras.
Jangan pernah berharap terlalu lebih pada seseorang di sampingmu ini! Kata hati Vanessa terdengar bertalu-talu di dalam sana.
Tok Tok Tok
Kepalan tangan seorang Richie terdengar nyaring pada sebuah pintu. Suaranya menggema hingga seluruh koridor bisa mendengarnya dengan jelas.
Rumah ini begitu besar dan mewah tapi tampak sepi. Di mana semua orang? Suasana ini terlihat tak asing. Vanessa menundukkan pandangannya saat kembali mengingat bagaimana kondisi rumahnya sendiri setelah kebangkrutan yang dialami oleh sang ayah.
"Kakek, boleh aku masuk?" tanya Richie dengan tangan yang mendorong gagang pintu.
Terpampang jelas apa yang ada di dalam ruangan itu. Vanessa lagi-lagi terpesona menatap ratusan atau malah ribuan buku di dalam sana. Mungkin ini bisa disebut sebagai perpustakaan mini atau malah mungkin lebih tepatnya perpustakaan besar. Ternyata, buku-buku itu masih ada banyak di belakang rak yang pertama kali ia lihat.
Satu kata yang keluar dari bibir Vanessa saat ini, entah disadari atau tidak olehnya.
"Wow!" suara kekaguman Vanessa terdengar di telinga Richie.
Sambil memiringkan salah satu sudut bibirnya, Richie menyikut lengan Vanessa dan berbisik, "Jangan bersikap kampungan! Aku tahu kau adalah orang yang suka sekali menjiat, tapi jangan sekali-kali kau melakukan itu di depan kakekku!"
Seolah mendapati langit runtuh menimpa dirinya, Vanessa membelalakkan kedua matanya.
"Aku bukan penjilat, Tuan!" tegas Vanessa dengan menahan cairan bening yang hendak tumpah membasahi pipinya.
To be continue…
***