Chereads / My Dark Husband / Chapter 3 - Rasa Bersalah

Chapter 3 - Rasa Bersalah

"Aku nyerah, Bun."

"Lho kok baru pertama kali ketemu udah nyerah aja kamu, Sayang. Jangan langsung negative thinking dulu."

Mau bagaimana lagi dirinya menjelaskan kepada Alana jika Radit tak sebaik apa yang dipikiran sang bunda.

Baru sekali, lho dirinya bertemu Radit. Tapi sikap yang Bella terima hingga detik ini saja tak ada yang baik sama sekali. Lalu bagaimana bisa Bella tak negative thinking.

Bram ikut menyusul mereka berdua. Pastinya sang ayah juga penasaran dengan perkembangan putrinya sama seperti Alana tadi. Tapi Bella tetap memberi jawaban yang sama kepada mereka berdua.

"Kita masuk dulu aja, ya? Bunda sama Ayah jangan terlalu risauin tentang aku sama Radit."

"Tapi semuanya aman kan, Bel? Kamu enggak bikin masalah, kan ketika ketemu sama Radit?" tanya Alana yang masih penasaran dengan apa yang terjadi barusan.

"Enggak, Bun. Aman kok. Kita masuk aja, ya? Enggak enak tau cerita di luar."

Mendahului mereka memasuki rumah. Disusul Alana dan Bram di belakang. Duduk di sofa ruang tamu. Mereka semua sudah siap mendengar cerita Bella.

Pandangan Bella sedikit sendu sebenarnya. Melihat orang tuanya yang sangat antusias dengan keberhasilan perjodohan ini. Bella sungguh tak tega jika dirinya mengatakan hal buruk di depan mereka.

Sudah sebegitu keras mereka bekerja hanya untuk melihat Bella bisa sekolah hingga lulus kuliah tanpa hambatan sedikit pun. Ingin melihat Bella hidup enak diluar sana. Selalu mengutamakan kebahagiaannya dibanding kebahagiaan mereka sendiri.

Sungguh … Bella tak kuasa jika seperti ini.

"Gimana Bella? Radit anak yang baik, kan? Kamu setuju dengan pernikahan ini?

Terus tadi Radit bilang apa tentang kelanjutannya?" tambah Bram yang sama penasarannya dengan Alana.

Bisa dibayangkan bagaimana harmonisnya keluarga Bella sekarang. Hidup di tengah orang tua yang sangat sayang dan perhatian kepadanya. Ayah dan bundanya yang juga suka kepo dengan kehidupan Bella, membuatnya tak bisa jauh-jauh untuk membagikan segala pengalamannya kepada mereka.

Tapi di sini urusannya sudah beda lagi. Bukan perihal siapa yang lebih baik dan siapa yang patut mendapat yang terbaik. Bukan …

Di sini semuanya terkait dengan kerja keras orang tuanya. Harapan besar yang telah mereka bangun ketika Bella sudah menikah dengan Radit, memang sudah sangat terlihat pada pancaran kedua mata mereka.

"Aku setuju dengan pernikahan ini."

'Semoga kalian juga bahagia dengan keputusanku.'

Dengan keyakinan yang cukup kuat. Meraih tangan kedua orang tuanya dengan lembut. Berjongkok di depan mereka yang sedang duduk. Bella memejamkan kedua matanya kuat.

Bella berharap ini memang yang terbaik. Salah satu hal yang bisa membuat dirinya membahagiakan orang tua. Sudah cukup … cukup dirinya selama ini menjadi beban keluarga. Dan semoga ini salah satu cara agar dirinya tak jadi beban kembali.

Semuanya begitu berat bagi Bella. Begitu sakit jika memikirkan perasaannya sendiri. Begitu tersiksa mengingat perlakuan apa yang akan dirinya dapatkan ketika sudah menikah kelak.

Semuanya jujur sangat menyakitkan. Tapi setelah melihat tangis bahagia yang Bella lihat dengan sangat jelas pada kedua mata orang tuanya. Seketika hatinya lebih terasa sesak.

"Semoga lancar terus sampai hari H ya, Sayang."

"Bahagia selalu juga ya, Bella anaknya Ayah."

Kecupan pipi kembali mendarat pada permukaan wajahnya. Bella tahu ini pasti telah menjadi hal yang sangat menggembirakan bagi orang tuanya. Tapi rasa bersalah Bella semakin besar.

Sebegitunya, kah mereka sangat berharap pernikahan ini terjadi pada diri Bella? Apakah kebahagiaan memang sangat bisa dinilai dari harta kekayaan yang ada pada diri Radit?

Apakah dirinya benar-benar yakin jika kelak akan bahagia dengan segala yang dirinya punya? Ah tidak … Bella sangat tak yakin jika posisinya akan diakui di keluarga barunya.

"Aamiin. Semoga apa yang Ayah dan Bunda inginkan bisa terwujud semua, ya?"

Mengecup punggung tangan kedua orang tuanya sambil mendapat usapan lembut dari Alana. Ingin rasanya Bella menangis kencang di pelukan sang bunda.

Menumpahkan segala kebimbangan, ketakutan, dan ketidaknyamanan ini kepada Alana. Tapi Bella tak bisa melakukan itu. Bella tak bisa dan tak akan pernah bisa.

Bella seakan tak bisa berkutik lagi, selain mengikuti saja semua yang telah berjalan. Kembali ke kamarnya setelah menyelesaikan urusan dengan Alana dan Bram. Bella lebih memilih untuk beristirahat saja.

Hingga hari telah menjelang malam. Seperti biasa Alana menyusul Bella di kamar untuk mengajak makan malam bersama. Setelah semuanya sudah siap, memang Alana lebih sering langsung memanggil Bella dan Bram.

Bukan karena Bella yang tak ingin membantu Alana. Tapi justru bundanya sendiri yang tak ingin dibantu oleh siapa pun itu.

"Bella, makan malam dulu, yuk?" ajak Alana membuka kamar Bella.

Bangkit dari posisi rebahannya. Menutup laptopnya dan langsung bangkit menyusul sang bunda. Bella memang tak suka menunda-nunda pekerjaan.

Bram sudah siap duduk di tempatnya sambil menunggu Alana dan Bella datang. Istri dan putrinya memang merupakan perhiasan mahal yang selalu dirinya jaga sebaik mungkin.

Tak ingin melihat ada yang sedih sedikit pun. Bram adalah Ayah terbaik bagi Bella pribadi.

"Malam Bella. Sibuk kamu dari tadi di kamar mulu? Lagi banyak pesanan, ya?"

"Iya, Yah. Akhir-akhir ini minimal 1000 kotak nasi yang harus Bella siapkan di pabrik setiap hari. Jadi Bella harus jadwalin mana yang harus segera dipersiapkan."

Bram mengangguk paham. Bella itu anak yang sangat pekerja keras. Tak ragu jika usaha Bella bisa pada titik seperti ini.

Bella mengaku jika usahanya ini memang sangat didukung penuh oleh sang ayah tercinta. Selalu mensuport semua perjuangan yang Bella kerahkan untuk pabriknya. Berbeda dengan Bunda. Terkadang Alana justru memandang Bella dengan pandangan iba. Bukan bangga.

"Semangat terus, ya! Putri Ayah itu pejuang hebat."

"Yoi, Yah."

Senyuman yang Bella dapat dari Ayah memang seperti energi tersendiri baginya. Tak sadar senyum kecilnya pun kembali terbit karena terpancing Bram.

Selalu seperti ini. Bella sangat nyaman jika berada di dekat ayahnya. Bram seakan mengerti setiap apa yang sedang dirinya rasakan. Tanpa harus mengungkapnya lebih. Tapi …

Apakah ayah tahu? Jika Bella keberatan dengan pernikahan ini?

"Kita mulai makan, yuk! Ngapain malah senyum-senyuman gini, sih."

"Bella, kamu makan yang banyak ya, Sayang."

Alana mengambil alih setiap piring yang ada. Menyiapkan piring dan makanannya tepat sesuai porsi putri dan suaminya. Sudah hafal Alana dengan makanan favorit mereka berdua. Alana lebih suka melakukannya sendiri tanpa bantuan.

Di tengah santapan yang sedang mereka makan. Alana teringat sesuatu. Sebuah kabar baik yang dirinya yakin putrinya pasti akan bahagia juga.

"Sayang, lusa pertunangan kalian diselenggarakan. Dan besok kamu dan radit akan fitting baju tunangan dan pernikahan. Kamu siap-siap, ya besok?"

Hah? Besok?

"Tapi, Bun. Kan aku besok banyak kerjaan di pabrik? Pesanan nasi kotak banyak, Bun?"

"Sayang. Nggak baik menolak permintaan Radit. Dia, kan calon suami kamu."

*Bersambung ...