Setelah acara makan bersama, Bella dan Radit pun pulang. Menuju rumahnya yang memang tak terlalu besar. Radit mengantarkannya pulang ke rumah.
Alih-alih untuk menawarkannya mampir dulu ke rumahnya, Radit bahkan lebih dulu berpamitan. Tak memberi kesempatan Bella untuk menawarkan. Sepertinya memang Radit tak ingin dan tak mau singgah terlebih dahulu.
Mobil sport yang sudah melenggang jauh di sana. Bella yang juga sudah merasakan lelah yang terasa. Dengan langkah gontai, dirinya pun memasuki rumah dengan tak bersemangat.
Memasuki rumah dan langsung menuju kamar. Bella tak menemukan kedua orang tuanya saat ini. Entah pergi ke mana mereka berdua, jam segini masih belum ada di rumah. Bella tak terlalu mempedulikan hal itu lagi.
"Huft ... lumayan juga capeknya. Tapi kalo dipikir-pikir si Radit peka juga orangnya. Buktinya aku laper aja dia bisa tahu.
Apa memang orangnya sebenarnya baik, tapi agak dingin aja? Apa orangnya bener suka sama aku, ya? Apa orangnya ...
Ah, tau deh! Ngapain juga mikirin hal begituan. Enggak guna banget, sih. Enakan juga sekarang tidur."
Merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Menghilangkan segala overthinking yang semakin lama semakin mejadi juga. Membiarkan semua berjalan sesuai jalannya. Bella hanya ingin hidup tenang saja sekarang.
Sudah berganti pakaian. Hendak memejamkan kedua matanya. Menyambut mimpi indah yang sepertinya sudah menunggu dirinya tidur. Bella tiba-tiba teringat sesuatu.
Oh ... Ya Tuhan
Abel ... Bisa-bisanya dirinya meninggalkan Abel begitu saja tadi. Tak memberi kabar sedikit pun tentang perkembangan pekerjaan yang diteruskan Abel. Tak ada menghubunginya sama sekali. Apakah Abel bisa mengerjakannya dengan lancar?
Dirinya sungguh lupa seketika. Tak ingat jika Abel di sana juga pasti lebih bekerja keras dari pada biasanya. Langsung menyambar ponsel dan mencari nomor Abel dalam genggamannya. Telpon pun tersambung.
"Halo, Abel?"
["Halo, ada apa Kak Bella? Ada yang ketinggalan di sini?"]
"Eh, enggak kok. Kakak cuma mau mastiin aja. Tadi gimana kerjaannya? Aman, kan?"
Dari suara Bella saja dari telpon sudah jelas jika dirinya sangat menghawatirkan Abel. Takut Abel merasa keberatan atau yang lainnya. Sebenarnya memang Bella tak pernah meninggalkan pekerjaan berat untuk Abel.
Mengingat Abel yang memang masih terbatas kemampuannya. Bella tak setega itu untuk memaksa Abel melakukan pekerjaan seperti karyawan yang lain.
["Kak Bella telpon Abel cuma nanyain ini? Ada pertanyaan lain?"]
"Enggak, Bel. Kan Kakak juga enggak enak ngasih beban ke kamu."
Dari seberang telpon, Bella bisa mendengar kekehan tawa kecil Abel yang sangat jelas. Seperti menertawakan sesuatu yang memang sebenarnya tak ada yang lucu.
Mengerutkan kening heran, tak tahu apa yang Abel tertawakan sebenarnya. Bella merasa tak ada yang salah dengan ucapannya barusan.
"Ada apa?"
["Ya ampun Kak Bella, plis deh. Kak Bella itu lebay banget sih.
Udah selesai semuanya kak dari tadi. Kak Bella enggak usah khawatir gitu. Takut tugas kakak Abel berantakin, ya?"] jelas Abel sambil meredakan tawanya.
Bella mengehembuskan napasnya lega. Ternyata prasangkanya benar-benar salah. Meragukan kemampuan Abel memang tak sepenuhnya benar.
Tak bisa dilupakan jika memang Abel lemah dalam hal memasak, tapi juga tak bisa diremehkan kemampuan olah data Abel yang tergolong cepat dan sangat detail.
Bebannya berkurang seketika setelah Abel mengatakan hal itu dengan jelas. Tak ada yang dipikirkan lagi setelah ini. Setelah basa-basi sebentar dengan Abel setelah pembahasan tadi, Bella pun menutup sambungan telponnya.
***
Hari di mana Ayah dan Bunda nya tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Gaun yang telah disiapkan pun juga sejak semalam sudah terpampang rapi di ruang keluarga menunggu sang pemilik mengenakannya di waktu yang tepat.
Bella keluar kamar setelah mandi pagi. Menuju ruang makan seperti mana biasanya. Mereka akan melakukan saarapan bersama setiap hari.
Sedikit ada yang aneh di sini. Tak ada sapaan maupun sambutan hangat dari kedua orang tuanya. Tak seperti biasanya saat kedua orang tuanya sudah heboh sendiri. Tapi, mengapa hari ini berbeda?
Bella mengamati setiap wajah dan ekspresi kedua orang tuanya. Mengangkat salah satu alisnya, mengamati perubahan yang ada. Pasti ada yang tidak beres di sini. Dan Bella merasa bahwa hanya dirinya lah yang paling tak tahu sama sekali.
"Ada apa?" tanya Bella sambil mendudukkan dirinya di meja makan.
"Ada yang terjadi pasti barusan, dan aku masih belum tahu itu. Ada apa, Bun?"
Hening.
Tak ada yang menjawab Bella sedari tadi. Hanya keheningan yang dirinya rasakan. Dan kedua orang tuanya saja hanya saling pandang sekarang.
Kedua Bram dan Alana memang bukan tipe orang yang suka menyembunyikan sesuatu, Bella tahu itu. Mereka memang lebih suka terbuka satu sama lain. Cuma terkadang memang mereka lebih tak tega jika dirinya mengetahui sesuatu yang mungkin memang itu adalah kabar 'buruk'.
"Aku tanya ke Ayah dan Bunda sekarang. Ada apa? Kenapa pagi ini kalian sungguh beda? Bukannya ini adalah hari bahaga kalian?
Atau jangan-jangan pertunangannya dibatalkan hingga buat kalian diam seperti ini?"
Tak ada yang Bella maksud sedari tadi. Kalimat itu muncul dengan sangat mudahnya dari mulut tanpa berpikir. Dirinya juga tak sadar jika hal itu memang sangat berdampak pada sekitarnya.
Memikirkan kembali apa yang telah dirinya katakan, ah! Sepertinya dugaannya benar.
Radit. Ini pasti ada hubungannya dengan pria tua itu. Calon menantu kesayangan Ayah dan Budanya itu. Apa lagi yang sedang dia lakukan sebenarnya.
Membatalkan pertunangan, atau membatalkan pernikahannya sekaligus? Bella sudah tak habis pikir dengan pemikiran pria tua itu.
"Bella. Bunda tenggak tahu ini kabar baik atau buruk. Tapi—"
"Tapi apa, Bun? Aku enggak jadi nikah sama Radit? Yaudah."
"Bella," peringat Bram mengkondisikan perkataan Bella.
Memutar kedua bola matanya jengah. Obsesi kedua orang tuanya untuk menikahkan dirinya dengan pria kaya memang masih terlihat. Dirinya saja yang sudah merasa cukup atas apa yang dipunya sekarang, tapi tidak untuk orang tuanya.
Jujur Bella sebenarnya juga masih keberatan dengan pernikahannya ini. Jika dirinya tak ingat pengorbanan apa saja yang orang tuanya telah lakukan hingga dirinya ada di titik ini, Bella pasti sudah menolak acara ini mentah-mentah.
"Maaf, terus kelanjutannya gimana, Bun?" ralat Bella mengakui tindakannya.
"Pertunangan kamu memang dibatalkan, Sayang. Tapi pernikahan kamu akan tetap terlaksana. Cuma enggak akan ada acara pertunangan, langsung menikah 3 hari kedepan."
Sorot mata Bella menurun. Jatuh ke bawah dan tak tahu harus berkata apa lagi.
Bukan dirinya sedih karena acara pertunangannya yang dibatalkan. Tapi Bella sedih karena hal ini tetap harus terjadi.
Keinginannya untuk membatalkan acara ini memang masih ada. Tapi kemampuannya mengungkapan yang tak ada. Entah bagaimana orang tuanya ini bisa mengerti atau tidak. Tapi Bella sungguh tak suka dengan Radit.
Langkah Bram yang semakin mendekat. Mengusap pelan punggungnya yang masih tegap di sana. Kepala Bella yang sedikit menunduk. Dirinya yakin pasti Ayahnya menganggap bahwa dirinya sedih karena pertunangan itu.
"Kamu tetap menikah kok, Sayang," ujar Bram lembut.
*Bersambung ...