"Selamat menempuh hidup baru, my dear."
DEG
Hancur sudah pertahanan Bella sekarang. Tubuhnya seketika kembali menegang hanya karena ucapan Edo yang di luar dugaannya. Tatapan Bella yang masih menerawang lurus menghadap Edo. Air mata menetes tanpa sadar membasahi pipi indah Bella.
Tanpa berkedip dirinya masih mempertanyakan apa maksud dari perkataan Edo barusan. Ditambah anggukan kecil dengan senyum tipis yang Edo berikan seakan telah memberikan sinyal paham pada Bella sendiri.
Apakah ini benar petunjuk dari Edo? Bahwa sahabatnya ini memang sebenarnya ada rasa dengan dirinya? Apakah ini mungkin juga sebagai kata perpisahan untuk saling mengubur rasa? Bella sangat tak paham dalam situasinya.
"Edo, apa maksudmu? Aku enggak ngerti," tanya Bella lirih sambil menatap mata Edo dengan lekat.
"Suatu saat kamu akan mengerti, Bel."
"Tapi—"
"Ayo, Sayang. Waktunya kamu bertemu dengan suamimu sekarang. Jangan terlalu banyak berbincang." Alana bangkit dari duduknya. Memotong pembicaraan Bella dengan Edo secara tak sengaja dan langsung membawa Bella menuju keberadaan Radit.
Disusul Edo yang ikut bangkit dengan Alana. Tidak, Edo tidak mengikuti mereka berdua untuk mengiringi Bella. Hanya mengentarkan sebentar hingga setelah itu Edo masuk ke dalam barisan para tamu undangan. Menyaksikannya bertemu dengan Radit setelah kata 'Sah' telah berkumandang. Ini juga cukup menyakitkan bagi Bella.
Pertemuan yang singkat bagi Bella. Perkenalan yang tak panjang. Dan tidak terlalu saling tahu sesama diri atau pasangan. Tak menyangka, sekarang dirinya sudah menjadi istri sah orang lain.
Memiliki tanggung jawab dan kewajiban lain. Meninggalkan kedua orang tuanya yang sudah sangat Bella sayangi sejak dulu. Tak pernah terpisahkan ataupun pergi jauh. Bahkan pendidikan saja Bella selalu dalam kota yang sama, agar dirinya tak meninggalkan orang tuanya sendiri.
Tapi, sekarang semuanya sudah berbeda.
"Kamu jangan malu-malu ya, Sayang. Kalau nanti sudah berhadapan sama Radit, kamu harus lebih santun kepadanya.
Enggak kerasa, kamu udah besar juga ternyata."
"Iya, Bun."
Sang mempelai pengantin sudah dipertamukan. Radit dan Bella sekarang sudah saling berhadapan. Bersiap untuk memulai serangkaian prosesi yang telah tersusun dengan baik. Berusaha mendukung penuh usaha maupun rencana orang tua. Bella sedari tadi menurut saja.
Mengamati wajah bahagia kedua orang tua Bella yang sungguh menghangatkan perasaan. Senyum yang sedari tadi bunda dan ayahnya terbitkan, sungguh membuah Bella juga ikut meluncurkan senyumnya.
Tangis haru yang bahkan juga bisa Bella lihat sendiri dari kedua orang tua dan beberapa kerabatnya. Seakan dirinya telah melakukan hal yang sangat membanggakan. Seakan Bella telah memberikan segala kebahagiaan yang mungkin menjadi pelengakap , Bella sungguh takjup.
"Lihatlah, begitu bahagianya kedua orang tuamu."
"Aku tahu. Anak tunggalnya akhirnya menikah dengan pria yang telah mereka percayakan, pasti merupakan mimpi yang akhirnya tercapai, bukan?"
"Mungkin, maka dari itu jagalah nama baik mereka juga."
Bella mengalihkan pandangannya sekarang ke arah Radit. Memandangnya dengan penuh harap. Meski nada perbincangan mereka yang masih terdengar kaku dan Radit yang masih terdengar dingin. Tapi Radit sedikit perhatian di sini.
Bahkan setiap hal kecil yang Radit berikan kepadanya, Bella selalu mengamati. Memahami dan memikirkan tentang sikap dan perubahan yang terjadi. Ya, walaupun Radit tak semudah itu merubah sikap dinginnya.
"Bang Radit!
Ya ampun ... perasaan Abel setiap hari pulang ke rumah. Gimana bisa Abel enggak tahu kalau Abang mau nikah, sih!"
Seorang gadis berusia 17 tahun berlari kecil menuju pelaminan. Dengan napas yang tersenggal-senggal seperti habis marathon lari. Beberapa keringat yang membasahi pelipisnya. Rambut lurus sepundak yang sedikit acak-acakan ternyata tidak terlalu menggangu gadis itu untuk mencapai kakaknya sendiri.
Pakaian yang dirinya kenakan memang seragam dengan kedua orang tua Radit. Dan Bella yakin, pasti dia adalah adik Radit sendiri.
"Huft, Bang Radit, mah! Tega banget!"
"Abel?" potong Bella saat bisa menangkap secara keseluruhan siapa orang yang sedari tadi memanggil Radit.
"Kak Bella?" sahut Abel tak kalah terkejut.
Keduanya sama-sama menunjukkan ekspresi yang tidak bisa dijabarkan lebih. Mereka berdua yang melongo seakan hal ini adalah kejadian yang sangat mustahil terjadi. Masih saling pandang dengan wajah yang keheranan, seketika tatapan mereka berakhir saat Abel mulai menertawakan situasi yang ada.
"Jadi, kakak ipar aku itu Kak Bella?" tanya Abel antusias yang masih meluncurkan tawanya.
"Radit ini, Kakak kamu?" tanya balik Bella masih memahami alur permasalahan yang ada.
Abell mengangguk antusias. Senyumannya semakin merekah. Pandangannya pun bergantian memandang dirinya kemudian beralih ke arah Radit. Beranjak dari tempatnya berdiri dan langsung mendekati Bella berada. Dirinya bingung sesaat.
Sungguh di luar ekspetasinya bahwa Abel adalah adik dari suaminya sendiri. Bella masih tak percaya, ternyata gadis manja yang bekerja dengannya di tempat chatering ini memiliki kakak yang super dingin seperti Radit.
Mengingat Abel memang tidak terlalu terbuka jika menyangkut keluarganya. Abel yang tak pernah berbagi cerita apapun tentang keluarga ataupun saudaranya. Tentu juga membuat Bella terkejut dengan kenyataan sekarang.
"Kalian udah saling kenal?" tanya Radit sambil mengerutkan kening.
"Iya, Radit. Kita itu satu—"
"Kita satu perkumpulan waktu itu, Bang. Waktu Abel ikut rapat besar dan Abel kenalan sama Kak Bella," potong Abel ketika Bella hendak mengungkap sesuatu.
Dengan satu kedipan yang Abel berikan sebagai isyarat kepada Bella. Tangan yang sedikit menarik dirinya untuk sedikit memundurkan langkah. Mendekati Abel yang sepertinya sedang ingin berbisik kepadanya. Apa yang ingin Abel ungkapkan?
"Jangan kasih tahu Bang Radit dulu, Kak. Kalau aku kerja di tempat Kakak. Tunggu waktu yang tepat, ya?" bisik Abel lirih tepat di samping telinga Bella.
"Oke."
Bella tahu maksud Abel sekarang. Menyembunyikan juga pekerjaannya yang sedang adik iparnya ini geluti. Tak ingin keluarganya yang glamor ini tahu. Bella seperti melihat usaha mandiri Abel yang memang sedang berkembang.
Sepertinya Abel ingin membuktikan sesuatu di sini. Membuktikan kebisaannya untuk mencampai sesuatu. Hal yang bisa dirinya banggakan dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Tanpa dirinya harus bergantung dengan orang lain.
Dalam hati, Bella sungguh takjub pada Abel.
"Terus? Kalian sudah kenal dekat?"
"Deket banget dong, Bang. Abel aja sering kontakan sama Kak Bella selama ini.
Abang kenapa enggak pernah ngomongin tentang pernikahan ke Abel?"
Bella sedari tadi mengamati mereka berdua saling berbincang. Mendengar ketidak terimaan Abel yang tiba-tiba mendapat kabar tentang pernikahan mereka. Satu hari sebelum hari pernikahan. Bella mengamati mereka yang sepertinya dekat.
Abel yang Bella tahu selalu aktif dan jarang bisa diam. Banyak tingkah dan banyak aksi. Selalu ada saja yang dirinya ciptakan. Melihat sisi lain Abel dalam keluarga, Abel memang tidak terlalu berubah.
"Kata siapa kamu setiap hari pulang? Bukannya sekarang apartemen yang menjadi rumah kamu sesungguhnya?
Mama sama Papa aja sering bilang ke Abang, kalo kamu jarang pulang."
Abel terkekeh kecil ketika mendengar Radit mulai mengoceh kembali. Seperti sudah lama dirinya tak mendengarkan abangnya mulai buka suara. Seperti memang benar jika dirinya jarang pulang ke rumah. Abel merasa tertangkap basah sekarang.
"Tapi, kan Abel selalu ngasih kabar ke Abang. Setiap hari bahkan Abel yang meramaikan grup keluarga kita. Sering telponan ke Abang juga Mama dan Papa."
"Tetep aja, jarang pulang, kan? Sampek enggak tahu Abangnya mau nikah," sahut Radit santai sambil menoel hidung kecil Abel dengan gemas.
*Bersambung ...