Chereads / Cinta Diujung Kabut / Chapter 18 - Membuatku candu merasakan rindu,

Chapter 18 - Membuatku candu merasakan rindu,

Ghandy melihat butiran kaca yang tertahan dimata indah gadis cantik dihadapannya itu.

'Apa aku menyinggung perasaannya?' Gumam Ghandy dihatinya.

"E…em Maaf Rukha, jika aku membuatmu merasa tidak nyaman."

Ghandy menunduk sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kalau begitu, a-aku permisi,"ucap Ghandy menunduk dan melangkah mundur, kemudian membalikkan badannya.

"Hmm… tak apa Ghandy," ujar Rukha, membuat Langkah Ghandy terhenti. Dan ia membalikkan badannya yang belum beranjak jauh dari hadapan Rukha.

Ia menatap Rukha yang juga menatapnya. Seketika Rukha mengalihkan tatapannya kebawah sambil menyelipkan rambut coklat bergelombangnya dibalik telinga.

"Senang bisa bertemu denganmu lagi," ucap Rukha sambil mengangkat kepalanya dan memberanikan diri menatap Ghandy yang juga menatapnya lekat.

Ghandy tersenyum tipis dan tidak menggerakkan sedikit pun pandangannya ke hal yang lain.

Rukha membalas senyuman Ghandy, membuat getaran yang tak tertahankan dihatinya. Bak gayung bersambut, kerinduan ini terselimuti dengan hangat.

Rintik hujan yang mengguyur lapisan genteng mengeluarkan suara-suara khas-nya. Mengiri perasaan atas pertemuan dua insan yang telah ditakdirkan dalam garis kehidupan. Dan akan melawati hal-hal yang tidak diketahui oleh siapa pun.

Segalanya baru saja dimulai, tidak, segalanya telah dimulai bahkan sebelum mereka saling mengenal.

Pintu kembali berdenyit.

"Kau…"

Suara wanita paruh baya memecah pandangan mereka.

Ghandy membalikkan badannya, "Ibu." Ujarnya.

'Ibu?' Batin Rukha.

Larasati yang baru saja masuk, meletakkan malam/lilin diatas meja, kemudian bergegas melangkah mendekati Ghandy dan Rukha.

"Aa… Ghandy, Ibu belum sempat bercerita kepada mu, perkenalkan ini Rukha.

Dan Rukha ini Ghandy."

Walau masih ada rasa bingung yang mengganggu pikiran mereka masing-masing, mereka masih tetap tersenyum tipis dan saling mencuri pandang.

'Ibu? Dia memanggilnya Ibu. Apa, itu artinya…' gumam Rukha dihatinya.

"Apa Ghandy memarahimu Rukha?"

"Aaa…Tidak Bu Laras." Jawab Rukha sembari sedikit menggelengkan kepalanya.

"Rukha akan lebih sering diruang ini, karena Ibu akan melatihnya disini."

Larasati menjelaskan keberadaan Rukha saat ini. Agar Ghandy tahu, bahwa ada orang lain yang akan menggunakan ruangan itu selain mereka.

Rose Galery merupakan ruang pribadi Ghandy dan Larasati yang tidak pernah dimasuki oleh siapa pun.

Ruangan yang dibangun langsung oleh Ghandy sebagai wujud rasa perhatiannya terhadap Larasati.

Ia membangun ruangan itu untuk kenyamanan Ibunya dalam mengeksplor hobinya.

Tak jarang ruangan ini menjadi tempat mereka menghabiskan waktu bersama dalam mengeksplor hobinya masing-masing.

Ia juga memanfaatkan lahan kosong belakang rumahnya untuk menata taman bunga yang memang tidak terlalu besar, namun cukup menambah keindahan.

Dalam hidupnya, ia selalu ingin membuat Larasati merasakan kebahagiaan dengan perasaan yang nyaman.

Karena bagi Ghandy, Larasati adalah dunianya. Kebahagiaannya sebatas ia bisa terus melihat ukiran senyum dibalik bibir mungil ibunya.

Sedari ia dilahirkan hingga tumbuh menjadi seorang pemuda tampan dan mandiri, ia tidak pernah melihat sosok Sang Ayah.

Ibu sudah cukup bagi Ghandy. Begitupun Larasati, Ghandy adalah nyawa baginya.

"Kau basah kuyup," Larasati berkata, memperhatikan keadaan Ghandy dari atas kebawah.

"Kenapa Kau pulang dalam hujan, padahal Kau bisa menunggu hingga hujan berhenti disana. Apa Kau tidak memikirkan kesehatanmu Ghandy?" Timpal Larasati sambil memeriksa kelembapan baju Ghandy.

Ghandy tak henti memandang gadis simata biru tua. Ia tak terlalu mendengar ucapan Larasati. Namun, juga tidak mengabaikannya.

Ia hanya jatuh dalam uforia perasaan bahagia, karena tak menyangka bisa melihat lagi gadis yang dikaguminya, seperti mimpi yang menjadi nyata.

Baju dan celana Ghandy seperti kain yang baru saja dicelupkan didalam sungai, basah, sampai airnya menetes melalui bagian ujung pakaiannya.

Namun, ia tak tampak seperti orang yang sedang merasakan kedinginan didalam balutan pakaian yang basah kuyup.

Ghandy tidak berucap sepatah kata pun untuk menjawab perkataan Larasati padanya. Ia hanya memandang gadis dihadapannya, disamping Larasati yang masih mengomel dan melihat keadaan dirinya.

"Rukha, maaf. Aku akan kedalam sebentar. Ayo Ghandy, Ibu akan membuatkan air hangat untukmu mandi."

Larasati melangkah dan beranjak keluar ruangan.

"Setelah hujan, pelangi akan turun untuk menghiasi awan, namun dimasa depan, Aku tak perlu lagi menunggu hujan untuk melihat keindahannya," ucap Ghandy yang memandang lekat Rukha.

Dan ia melempar senyum manis nan ramahnya kepada gadis simata biru tua. Lalu ia menundukan kepalanya perlahan dan berbalik melangkah menyusul Larasati.

Rukha tersipu, matanya kembali berbinar dan meneteskan sedikit air mata.

'Aku merasakan dinginnya hujan yang merasuk hingga ke tulang, sebagaimana aku merasakan hangatnya dekapan matanya yang mengalir hingga ke nadi. Entah bagaimana caranya, tapi aku merasakannya.' Ghandy berkata dihatinya sembari berjalan ditengah taman bunga yang sedang bermekaran dibawah rintikan hujan.

Ia menikmati setiap tetes air hujan yang membasahi dirinya.

Langkahnya tertehenti ditengah perjalanannya, ia menoleh kebelakang. Meperhatikan lamat-lamat rumah kayu yang ia beri nama 'Rose Galery' senyuman tipis terukir diwajah tampan nan penuh karisma.

*****

"Setelah makan kau minumlah wedang panas yang sudah ku letakkan dimeja kamarmu. Ibu berpesan agar kau tidak turun kesawah pada saat hujan lebat, tapi kau malah menembus hujan untuk pulang kerumah."

Larasati terus mengomel pada anak yang tengah dimabuk rindu.

"Ghandy!" Panggil Larasati yang melihat Ghandy tenggelam dalam lamunannya bahkan didepan makan malamnya.

Ghandy mengalihkan pandangannya pada Larasti.

"Ibu, mengapa kau terus mengomel sepanjang hari ini? Bahkan tadi kau memarahiku didepan orang yang belum ku kenal." Nada Ghandy menggoda ibunya.

Larasati menghela napas panjang. "Kau ini, mengapa kau balik menyalahkan Ibumu ini."

Ghandy tersenyum lebar, melangkah mendekati Larasti.

"Maafkan aku Bu, Aku hanya hanya takut kau sakit dan tak ingin memberitahuku." Ghandy berkata sambil memijit pundak Larasati.

"Walaupun begitu, tetap saja Kau tidak boleh menembus hujan dengan perjalanan yang lumayan jauh." Larasati tetap mengomel walau sebenarnya hatinya merasakan ketenangan mendengar alasan dari anak simatawangnya. Ghandy tidak pernah gagal berbuat manis pada Sang Ibu.

"Ibu tidak bisa menolak saat ia datang, tatapannya begitu tulus." Timpal Larasati.

Tangan Ghandy terhenti dari kegiatannya.

"Maksud Ibu?"

"Gadis itu, Ibu tak mampu menolaknya untuk tidak melatihnya."

Jantung Ghandy berdebar dengan ritme yang tak biasa.

"Ibu bisa merasakan ketulusannya, entah itu ketulusan hatinya terhadap orang lain atau ketulusannya untuk belajar."

Senyuman bahagia yang tertahan diwajah Ghandy tak bisa menutupi perasaan senangnya atas tanggapan Larasati terhadap Rukha.

"Setidaknya Aku lega Bu, ku pikir Ibu sakit sehingga memutuskan untuk tidak kesawah. Tapi, Aku harus berterimakasih padanya." Ujar Ghandy yang masih memijit pundak Larasati.

Larasati mengerutkan kening.

"Karena Dia telah berhasil untuk membaut ibu tidak turun kesawah. Selama ini aku membujuk, tapi Ibu tetap tidak menghiraukan. Atau jangan-jangan nanti Ibu akan lebih memperhatikannya dariku." Ujar Ghandy menggoda Ibunya.

Larasati tersenyum, memegang tangan Ghandy yang berada dipundaknya.

"Apa anak Ibu sedang cemburu saat ini?" Ia balik menggoda anaknya.

Mereka sama-sama tersenyum. Namun, senyuman dengan penuh isyarat.

Suasana hening disekitar ruangan tidak begitu terasa, karena kehangatan yang dihadirkan dimeja makan.

Suara-suara binatang malam seperti jangkrik sesekali terdengar sembari diiringi suara hujan.

"Ayo kita makan Nak, sup yang Ibu masak nanti keburu dingin."

Mereka melanjutkan makan malamnya.

*****

'Hujan mengisyaratkan sebuah rasa terdalam dibalik dawai alunan nada-nada rintikannya.

Membuatku candu merasakan rindu.' Ghandy mecurahkan kerinduannya diatas buku kecil, sambil menikmati hujan dibalik jendela kamarnya.