Chereads / Cinta Diujung Kabut / Chapter 24 - Pasar Tradisional Giriloyo

Chapter 24 - Pasar Tradisional Giriloyo

"Hm, aku diberi tahu oleh ibu."

Rukha menatap Ghandy sejenak, kemudian mengangguk agak ragu. Seperti nya ia memiliki pikiran yang lain, tapi juga seakan meyakinkan perkataan Ghandy.

"Aku… hanya ingin melihat-lihat." Jawab Rukha.

"Oh, kalau begitu kau bertemu orang yang tepat." Celetuk Ghandy tersenyum dan sedikit menaikkan alisnya.

Rukha pun ikut tersenyum seolah menyambut celetukan Ghandy.

"Pasar ini tidak terlalu besar, tapi aku rasa cukup lengkap untuk mencari bahan dapur." Jelas Ghandy.

Mereka terus berjalan diantara para pedagang sayur-mayur, umbi-umbian, ikan segar dan buah-buahan yang membentangkan dagangan nya diatas tanah yang dilapisi terpal.

Tidak banyak dari pedagang yang memasang tenda berbentuk payung, sekedar hanya ingin melindungi diri dari teriknya panas matahari atau jika turun hujan.

Ada juga yang memakai meja kayu beratapkan saung sederhana.

"Kalau kau perginya dipagi hari, mungkin akan lebih banyak pedagang yang akan kau temui.

"Benarkah? Jadi, ini belum semua pedagang?"

Ghandy mengangguk tipis.

"Biasanya kalau jam tiga sore seperti ini sudah banyak pedagang yang mulai mengemasi dagangan nya untuk tutup bahkan sudah banyak yang pulang."

Rukha mulai focus memperhatikan sekitarnya. Memang benar, beberapa dari pedang ada yang sudah mulai mengemasi dagangannya.

Menyusun dan menata dagangannya didalam peti kayu.

Ada juga yang sudah memanggul dagangan dengan keranjang yang diikat diantara dua sisi depan dan belakang disebuah bambu, lalu ditopang diatas bahu.

Terlihat juga beberapa pedagang yang sudah berjalan dan menjunjung dagangannya diatas kepala yang dilapisi oleh kain.

Jika diperhatikan dengan seksama, memang keadaan pasar terlihat sedikit lenggang dan tidak begitu padat.

Namun, tetap terdengar riuh dari jeritan-jeritan suara pedagang yang masih memutuskan untuk berjualan memanggil dan menawarkan dagangannya pada pembeli.

Rukha terhentak. Matanya terbelalak dan rahangnya sedikit mengeras.

Karena dengan spontan, Ghandy menggenggam tangan dan menarik Rukha kearah yang lebih dekat dengan nya.

"Nuwun sewu ndok." Ucap pedagang yang nyaris saja menabrak Rukha.

Ghandy mengangguk sopan dan tersenyum pada pedagang itu, mengisyartkan bahwa mereka tidak mempermasalahkan.

Sudah hal yang biasa dipasar atau ditempat umum lainnya terjadi hal-hal yang seperti ini.

Bukan karena unsur kesengajaan. Namun, karena kegiatan masing-masing orang yang terkadang tidak memperhatikan orang yang lain disekitarnya.

"Hati-hati," ucap Ghandy lembut, sambil menatap dan masih menggenggam tangan Rukha.

Rukha mengangguk dan masih menatap Ghandy dalam keterkejutannya.

Mereka baru menyadari bahwa tangan mereka masih saling menggenggam.

"Maaf." Ucap Ghandy sembari melepas genggamannya.

Rukha menunduk malu.

Mereka sudah hampir menyisiri seluruh bagian dalam pasar. Sampai berada diantara pedagang aksesoris dan pecah belah.

Rukha mengecilkan matanya. Memfokuskan pandangan nya pada kedai pecah-belah yang berada didepan meraka. Seolah memang kedai seperti itulah tujuannya.

Tapi, ada keraguan didirinya untuk singgah. Mungkin saja karna sekarang ia sedang bersama Ghandy.

Ada perasaan tidak leluasa. Lebih tepatnya, malu. Memilih barang didepan pemuda yang belum lama dikenalnya.

Ghandy berhenti dikedai pecah-belah dan membuat Rukha sedikit mengerutkan keningnya.

Lalu ia menatap Ghandy yang juga menatapnya.

"Mungkin, ada sesuatu yang bisa kubelikan untuk ibu." Ucap Ghandy seolah menjawab pikiran Rukha.

"Monggo ndook…" ucap seorang penjual mempersilahkan pembelinya dengan sopan.

"Iyo pak lek, saya ndelok dhisik." Jawab Ghandy.

"Yo ndok yo… sapa ngerti yen ana sing cocog."

Ghandy mulai melihat-lihat barang pecah-belah yang sebagian besarnya tampak terbuat dari kayu dan tanah.

Beberapa kendi tanah dengan berbagai ukuran, cobek kayu dan batu yang disusun dari ukuran yang paling besar sampai ke ukuran yang paling kecil secara mengerucut keatas. Ada juga beberapa panci dan wajan alumunium.

Serta terlihat juga susunan vas bunga dengan berbagai macam bentuk dan bahan.

Barang-barang pecah belah lainnya juga digantung dan disusun sesuai dengan pengelompokkan jenis barangnya.

Rukha masih mengikuti Ghandy yang masih memperhatikan satu barang kebarang yang lainnya.

Meski sesekali pandangannya melihat kearah susunan vas bunga.

"Kau tidak ingin membeli sesuatu?" Tanya Ghandy.

"Sepertinya…tidak." Jawab Rukha. Walau sebenarnya ingin.

"Kalau begitu, bisahkah aku meminta bantuan mu?"

Rukha memberikan tatapan persetujuan.

Ghandy berjalan dan berhenti tepat didepan susunan vas bunga.

Mata Rukha kembali membulat, ia pun sedikit menggigit bibir bagian dalamnya.

"Bisakah kau memilihkan vas bunga ini untukku? Mungkin, wanita akan lebih paham dalam hal ini." Goda ghandy.

Rukha menatapnya, mengangguk dan tersenyum ragu. Entah apa yang berkutat dalam pikiran Rukha saat ini.

Ia melihat dan memperhatikan dengan seksama vas-vas bunga yang terbuat dari macam-macam bahan. Ada yang dari kayu, porcelin, kaca, keramik bahkan plastik.

Dengan bentuk-bentuk yang unik.

Sampai pandangannya tertuju pada vas yang berbentuk oval pada bagian perut dan memanjang dibagian kepala.

Sungguh klasik menurutnya dengan warna khas kayu jati dan permukaan yang begitu halus.

Ghandy mengikuti tatapan Rukha.

"Apakah yang itu bagus menurut mu?"

Rukha menoleh menatap Ghandy yang berada disamping kirinya.

"Bagaimana menurut mu?" Balas Rukha bertanya.

Ghandy terdiam sejenak, menatap Rukha lekat.

"Sungguh indah, dan keindahan itu hampir tidak memiliki celah." Jawab Ghandy.

*

Rukha dan Ghandy terlihat berjalan keluar dari arah dalam pasar. Mereka melangkah menuju satu pohon besar yang terdapat diujung pintu gerbang pasar tradisional.

Pintu gerbang (gapura) yang sederhana. Hanya terbuat dari bambu-bambu yang disusun dan dipasangkan antara kedua sisi kanan dan kiri.

Kemudian dihubungkan lagi dibagian tengah, dan dituliskan bacaan Pasar Tradisional Giriloyo.

Pasar tradisional yang dibentuk dari hasil kesepakatan warga yang memang tidak begitu luas dan besar.

Bisa dibilang, cakupan pasar yang hanya dikuhusus kan untuk warga sekitar.

*

Angin terasa mulai sedikit kencang, daun-daun rindang pohon besar itu juga seolah menari kanan dan kiri mengikuti arah angin.

Ghandy mendongakkan kepalanya, memperhatikan awan yang seperti nya mulai mengubah warna.

Awan-awan putih bergerak perlahan dan berubah menjadi awan abu tua mengepul disatu tempat.

Awan biru muda yang perlahan mengubah warna menjadi biru tua bergradasikan warna hitam.

Bisa dipastikan, jika butiran air itu ditumpahkan akan menjadi hujan yang lebat.

"Tampak nya sudah mau turun hujan." Ujar Ghandy sambari melihat awan.

Rukha pun ikut mendongak, memperhatikan awan yang mulai tidak secerah saat ia pergi tadi.

Tentu, helaian poni Rukha juga ikut menari. Sampai bebarapa helai yang terlihat sesekali menyentuh hidung mancungnya, sebelum ia menyelipkan kembali dibalik telinganya.

Ghandy tersenyum manis melihat pemandangan itu. Bukan, bukan pemandangan awan yang seolah berjalan dan mulai mengubah warna nya.

Namun, melihat pesona yang ditawarkan oleh gadis simata biru tua. Pesona yang mungkin hadir dari dalam dirinya. Keanggunan, kesopanan, dan kerendahan hatinya dan mungkin saja juga kesedihan.

"Aku jatuh cinta padanya, bahkan benar-benar jatuh ketitik yang sangat dalam dari rasa ini. Dan entah mengapa dari pertama aku melihatnya, seolah aku ingin selalu melindunginya."