"Apa dia ada mencatat dibuku pengunjung?" Tanya Ayu.
"Hmmm…sepertinya tidak, kalau aku tidak salah dia langsung membeli dan keluar begitu saja. Bahkan, dia tidak mengambil uang kembaliannya."
"Kau ingat wajahnya?"
Melur menggeleng dan menaikkan bahunya.
Ayu hanya bisa menghela napas panjang.
"Aaa.….yang Ku ingat, Dia seperti sedang mengikuti seorang wanita."
"Maksudmu mereka berpasangan?"
"Tidak Mbak."
"Jadi?"
"Ia terus menatapnya."
"Siapa yang menatap siapa?"
"Laki-laki itu, ia menatap wanita yang sedang melihat kain batik Anyelir. Sepertinya wanita itu juga menyukai kain itu Mbak."
'Apa mungkin dia berniat memberikan kain itu sebagai hadiah? Aghhhh… Ayu! Apa yang Kau pikirkan, Kau ingin mencarinya? Kemana?' batinnya.
Ayu larut dalam pikirannya sendiri, mencari tahu sana-sini untuk menemukan kain Larasati yang secara tidak sengaja telah terjual karena keteledorannya.
"Seperti apa ciri wanita itu?"
"Entahlah Mbak, Aku tidak melihat wajahnya. Aku hanya melihatnya dari belakang, ia langsung pergi dengan buru-buru seperti sedang mencari seseorang setelah ditegur oleh Mbak Parni. Setelahnya laki-laki itu langsung membeli kain itu tanpa banyak bertanya dan pergi begitu saja Mbak, pada saat bersamaan Mas Ghandy juga menabrakku, dia juga terlihat terburu-buru pergi berlari keluar, jadi Aku juga tidak sempat melihat laki-laki itu pergi kearah mana. Apakah sama kearah wanita itu pergi atau tidak."
"Kau sangat jeli memperhatikan pergerakan pengunjug, tapi kenapa Kau tidak jeli untuk mengingat wajahnya." Ranti berucap dengan nada menggoda.
"Aku mengingat pesan darimu, "Melur, ketika Kau sedang menjaga bazar Kau harus memperhatikan setiap orang yang masuk, mengucapkan selamat datang dan sambutlah mereka dengan senyum sebagai simbol keramah-tamahan kita, agar mereka meresa sedang berada dirumahnya sendiri." Ujar Melur sambil memeragakan mimik Ayu ketika berbicara padanya.
"Ih, Kau ini. Meledek Mbak…" ucap Ayu sambil tertawa kecil.
'Malam itu pengunjung begitu ramai dan kain batik juga banyak terjual, mana mungkin Melur bisa mengingat siapa saja yang membelinya' pikirnya dalam hati.
Mereka terdiam sejenak menatap hujan dari teras rumah Melur.
Ayu dan Melur bertetangga yang hanya berjarak dengan beberapa rumah. Jadi, tidak sulit untuk Ayu mendatangi Melur kerumahnya dalam keadaan hujan deras.
"Mbak, kenapa Kau mencari orang yang membeli kain itu, Kau mengenalnya?"
Ayu menoleh, menatap mata gadis remaja yang berada disampingnya.
Sambil menghela napas " jika Aku mengenalnya, maka Aku tidak akan mencarinya dan bertanya padamu Melur…"
"Apa Aku membut kesalahan?"
"Haaa… tidak Melur," ucap Ayu menutupi.
Ia tak ingin menceritakan hal yang sebenarnya tentang arti keberadaan kain itu bagi Larasati.
Karena Melur masih terlalu muda untuk memahami ini. Jangankan Melur, Ranti saja tidak tahu tentang kain itu.
"Sudahlah lupakan saja, Mbak pulang dulu."
"Masih hujan Mbak."
"Tadi Aku datang kesini juga dalam keadaan hujan."
*****
'Sudah dua jam-an Rukha didalam, pasti akan memakan waktu lebih lama lagi' pikirnya.
Ranti mulai bosan bermain ditaman kecil itu menunggu Rukha dan Larasati.
'Apa Aku tinggal saja sebentar, Aku juga harus melakukan kegiatan sebelum Aku tertidur ditaman ini dibawah hujan deras' batinnya lagi.
Ia berjalan menuju pintu belakang rumah joglo. Kemudian melangkah masuk kedalam dan menutup payung yang berada ditangannya.
"Ternyata, kalau sanggar sepi seperti ini terasa begitu tidak menyenangkan.' Gumam Ranti sambil memperhatikan sekitar sanggar.
Ia tidak terbiasa dengan keadaan sanggar yang sepi, karena selama ini selalu ada orang-orang yang melakukan aktivitasnya masing-masing.
Ia terus melangkah, melewati satu demi satu tiang-tiang tinggi yang penuh dengan ukiran yang khas.
Tangannya masih menggenggam payung hitam yang dibawanya dari taman kecil tadi. Sampai ia berada tepat dipembatas paguyuban.
'Jika Kau ada, maka Aku tidak akan merasa sebosan ini' ucap Ranti dalam hati sambil memainkan air hujan dari curahan genteng paguyuban.
Ranti membuka payungnya kembali, berjalan perlahan menuruni anak-anak tangga kecil. Ia terus berjalan kearah kanan dalam rintikan hujan yang tak lagi begitu deras.
Dari arah yang berlawanan, seorang pemuda sedang menembus rintikan hujan mendayung sepeda ontel.
Ia membelokkan sepedanya kearah rumah joglo dan terus mendayung memasuki jalan setapak disamping paguyuban.
Jalan yang bisa langsung menghubungkan ia ke taman kecil belakang rumahnya.
Ia menghentikan sepedanya, mendorongnya perlahan dan memarkirkannya disampaing rumahnya.
"Aku akan kegudang bahan untuk mengambil malam."
Rukha mengangguk, matanya melihat dan mengikuti pergerakan Larasati yang beranjak pergi meninggalkannya diruang itu.
Pintu berdenyit, menandakan Larasati yang sudah benar-benar keluar. Rukha menghela napas panjang.
Pandangan kembali tertuju pada pola batik yang ada dihadapannya.
Ia memperhatikan lamat-lamat tarikan-tarikan garis lengkung yang saling berhubugan membentuk ukiran motif.
'Ini tidak mudah. Namun, Aku tak boleh mengeluh. Rukha, dihari pertama ini Kau tak boleh kehilangan semangat mu' gumamnya dalam hati menyemangati dirinya.
Rukha kembali menggerakkan tangannya mengikuti arah garis lengkung diatas kain mori.
Perlahan namun pasti tangannnya mengikuti pola-pola itu.
Pintu kembali berdenyit pelan. Namun, Rukha tak menghiaraukan karena focusnya terhadap kegiatannya.
Terlihat kaki yang memakai sepetau boot karet mulai melangkah masuk kedalam. Ia seorang pemuda berpakaian lengkap layaknya seorang petani.
Pemuda itu mulai melepaskan capingnya dan menyangkutnya didinding. Kemudian melepaskan sepatu boot karet yang diletakkannya dibawah meja yang berada disamping pintu.
Ia membalikan badannya sambil mengacak-ngacak rambutnya yang lembab.
Tangannya terhenti dari pergerakannya mengacak rambut ketika pandangannya langsung jatuh pada seorang wanita yang sedang duduk dikursi kayu disudut ruang.
Wanita itu tampak sedang menggerakan tangannya diatas meja yang dilapisi kain mori.
Ia memandangnya lekat, memperhatikan wajah yang terlihat dari samping dan sedikit ditutupi oleh helaian rambut coklat bergelombang yang terikat setengah.
Pita rambut bercorak bunga menghiasai rambut indah itu.
Tanpa sadar ia terus melangkah perlahan menuju wanita yang berada disudut ruang.
Tidak ada siapa pun yang pernah masuk ke ruang itu selain Larasati dan dirinya.
"Maaf… Siapa Anda?"
Rukha menoleh kearah sumber suara. Mereka saling bertemu pandang dengan rasa keterkejutan yang mendalam.
Seketika ia berdiri menghadap pria yang sedang bertanya padanya.
'Apa ini hanya sebuah ilusi atas kerinduan ku padanya, mengapa seolah dirinya benar-benar dihadapanku saat ini. Oh! Tidak, apakah ini memang nyata atau hanya sekedar fatamorgana' batin Ghandy.
Ghandy melihat lekat mata gadis yang dihadapannya saat ini, seakan ia tak percaya bisa melihat kembali gadis yang telah membuat hatinya merasa resah dalam kerinduan.
Pertemuan ini kembali membuat waktu seolah berhenti.
Jantung Rukha berdetak cepat begitu pun dengan Ghandy.
Pandangan tanpa kata yang mengartikan segala rasa.
Dan sekali lagi dibawah rintikan suara hujan, mereka bertemu bahkan ditempat special.
"Ru..Kha?" ucap Ghandy penuh dengan kelembutan.
"Ternyata ini bukanlah ilusi, Aku benar-benar bisa melihatmu kembali." Timpal Ghandy.
Rukha menatapnya tanpa ragu, ia menyadari bahwa pria yang berhadapan dengannya saat ini adalah pria yang sama-yang bertemu dengannya dimalam itu.
Ia sontak mengingat kembali kejadian malam itu dibazar yang membuat pipinya memerah dan salah tingkah.
Perasaan malu yang teramat sangat dirasakannya saat ini, karena mengingat Ghandy yang telah merangkul pinggulnya dan dirinya yang mendekap-memeluk tubuh Ghandy.
'Apa yang harus Aku lakukan, apa Aku harus lari dari sini? Tapi… tapi bagaimana bisa ia berada disini?' Gumam Rukha dalam hati.
Rukha menunduk malu, membenarkan rambutnya yang tidak berantakan.
Ghandy tersenyum tipis, seakan ia mengetahui apa yang sedang dirasakan Rukha.
"Rukha, untuk sekali lagi kita bertemu dibawah deraian suara hujan, hujan yang nantinya akan menghadirkan warna-warna indah yang mereka sebut pelangi. Dan Kurasa Kaulah pelangi itu." Ujar Ghandy dalam larutnya pandangannya terhadap Rukha.
Rukha mengangkat kepalanya dan memandang lekat mata pria dihadapannya.
Matanya berbinar dan tanpa sadar butiran-butiran seperti kaca tertahan dimata indah biru tua miliknya.
Pintu kembali berdenyit.