Chereads / Cinta Diujung Kabut / Chapter 3 - Stasiun Gubeng Surabaya

Chapter 3 - Stasiun Gubeng Surabaya

Tuuuuuuuuuth…. phoooooooongs…

Terdengar bunyi kereta api yang baru tiba di Stasiun Surabaya Gubeng. Disusul dengan suara tarikan mesin disertai pergesekan bunyi besi rel dan roda kereta api yang khas.

Perlahan kereta api eksekutif Argo Wilis dengan livery warna abu-abu dan dua garis biru khas Argo berhenti tepat dipintu jalur enam.

Gadis bermata biru gelap itu tampak bersiap-siap untuk turun. 12 jam perjalanan Bandung-Surabaya tidak membuat Rukha terlihat lelah.

Ia menikmati setiap detik perjalanannya karena ini adalah kali pertama ia keluar dari desa kelahiran nya.

Syal rajut abu-abu tua terikat rapi dileher Rukha dipadukan dengan setelan baju Tunik renda bewarna cream.

Rambut coklat gelombangnya dikepang lipan yang masih terlihat sangat rapi.

Rukha menjinjing tas yang tidak terlampau besar sambil berjalan menuju pintu keluar kereta.

Dari belakang seseorang dengan sembarang menerobos jalannya sehingga membuat Rukha terhempas dan nyaris jatuh.

Rukha merasa lengannya seperti sedang dipegang erat oleh seseorang. Segera ia mengoleh dan benar saja, seorang pria berjas hitam dengan badan atletis sedang menggenggam erat lengan nya agar ia tidak terhempas dan jatuh kelantai kereta.

Mereka saling menatap dengan posisi badan Rukha yang masih ditahan oleh pria itu karna tidak seimbang.

Dengan sigap Rukha langsung tersadar dari rasa terkejutnya dan ia segera menghempas lengannya agar terlepas dari genggaman pria itu.

"Maaf nona. Lebih lah hati-hati"

Ucap pria yang berada didepannya sekarang.

Rukha menundukan kepalanya perlahan dan mengangkatnya kembali sebagai isyarat ucapan terimakasih.

Ia langsung memutar badannya kembali dan segera berjalan menuju pintu keluar sambil menggenggam erat tas jinjing yang ia bawa.

"Nona Rukha?" Sapa seorang pria paruh baya yang mengenakan kemeja putih serta celana hitam seperti setelan pegawai hotel pada umumnya.

Rukha terlihat bingung dan rasa syok masih terlihat jelas diwajahnya. Ini merupakan perjalanan pertamanya yang tentu membuat Rukha harus lebih berhati-hati kepada siapa pun yang diteuminya. Apalagi ditempat umum yang banyak terdapat orang dari berbagai penjuru.

"Kau baik-baik saja non? Apa yang mengganggumu?"

Tanya pria paruh baya.

Rukha masi berdiam diri sambil memperhatikan pria paruh baya yang berdiri tepat didepannya.

Seakan ia mengetahui apa yang dipikirkan Rukha terhadap dirinya. Pria paruh baya itu memberikan telepon genggamnya pada Rukha yang sudah terhubung.

"Non. Ada yang ingin berbicara pada Anda."

Rukha dengan hati-hati menerima telepon genggam yang diberikan padanya.

Ia meletakkan telepon genggam tersebut ditelinga nya.

"Halo Nak, apa kau sudah tiba di Surabaya? Kau baik-baik saja? Apakah perjalanan nya melelahkan?"

Ibu bertanya dengan nada khawatir.

Rukha yang mengenali suara tersebut menghela napas lega. Sambil tersenyum ia menjawab

"Ibu, aku baik-baik saja. Perjalanan pertama yang menyenangkan bagiku."

"Syukurlah Rukha. Seseorang yang menjemputmu adalah Pak Mudin yang dulu pernah bekerja menjadi supir dipabrik Ayahmu. Sekarang ia telah bekerja menjadi supir sebuah Hotel didaerah yang dekat dengan stasiun Gubeng."

"Baiklah Ibu. Terimakasih karena selalu memikirkan ku."

"Bagaiaman Ibu bisa tenang ketika kau berada jauh dari Ibu. Ya sudah, pergilah menuju hotel sekarang Rukha. Kau harus merebahkan badan untuk melanjutkan perjalanan mu besok pagi."

"Baik bu."

"Jaga dirimu baik-baik Nak."

Rukha menatap pak Mudin sambil mengembalikan telepon gengggam miliknya.

"Terimakasih Pak."

Ucap Rukha dengan santun.

Pak mudin mengagangguk sambil tersenyum.

"Biar saya bawa Non."

Pak Mudin mengambil tas jinjing yang berisi perlengkapan dan pakain Rukha.

Mereka berjalan menuju pintu keluar. Rukha terpaku dengan bagian bangunan Stasiun yang masih menggunakan bangunan Belanda yang memiliki kesan heritage pada bagian perlengkapan dan pintu-pintu besarnya. Silih berganti orang-orang berjalan dengan kesibukannya masing-masing.

***

Rukha menyenderkan badannya untuk sedikit meregangkan badan didalam mobil.

Kemudian ia kembali duduk dengan tenang sambil memperhatikan keadaan sekitar dari balik kaca jendela mobil.

"Tidak terasa kau sudah tumbuh dengan cepat Non."

Seketika Rukha langsung melihat Pak Mudin dari kaca spion depan supir dan mereka saling melihat dari pantulan kaca.

"Aghh maaf Non."

Ucap Pak Mudin dengan rasa tidak enak karena sudah lancang mengajak tamunya berbincang tanpa izin.

"Tidak apa-apa Pak."

Ucap Rukha sambil sedikit memberi senyuman.

"Saya sudah bekerja pada Pak Darto selama kurang lebih sembilan tahun. Sampai pada suatu ketika saya memutuskan untuk pindah ke Surabaya karena Ibu saya sakit dan membutuhkan perawatan yang ekstra. Saat itu Non masih berusia kurang lebih sebelas tahunan. Dan Non masih terlihat sama dengan yang saya lihat hari ini. Nona Rukha yang cantik dan penuh santun.

Ucap Pak Mudin mengingat masa ia bekerja pada Pak Darto.

"Bagaimana kabar Beliau Non?"

Rukha kembali menatap Pak Mudin melalui kaca spion depan supir.

"E hm kabar Ayah baik-baik saja Pak."

"Syukurlah. Saya selalu berharap dan berdoa agar beliau selalu diberikan kesehatan dan kemudahan rejeki. Saya tidak akan pernah bisa melupakan segala kebaikannya. Ketika saya memutuskan untuk berhenti bekerja, saat itu beliau memberikan pesangon dengan jumlah yang sangat besar. Hingga pesangon itu bisa digunakan untuk membiayai pengobatan ibu dan kebutuhan keluarga saya, sampai kami bisa membuka usaha. Saat itu beliau juga berkata 'rawat ibumu dengan baik.' Hal ini yang tidak pernah bisa saya lupakan."

Rukha terpaku mendengar cerita Pak Mudin.

"Agh sekali lagi saya minta maaf Non. Karena terlalu banyak bicara. Saya terbawa suasana karena melihat Non mengingatkan saya pada sosok Pak Darto."

Rukha menghela napas panjangnya secara perlahan sembari menelan ludah.

Suasana didalam mobil hening dan lenggang.

Rukha kembali memprhatikan keadaan sekitar dengan hiasan-hiasan lampu jalan yang terlihat lebih indah dimalam hari.

"Apa kita masih lama untuk tiba di Hotel pak?"

"Kita akan tiba sekitar 15 menit lagi non. Karena dari stasiun Gubeng ke Hotel JW Marriot Surabaya berjarak 2139 meter dan membutuhkan waktu 30 menit perjalanan."

Pak Mudin melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 21.05 wib.

"Non, maaf. Apa Anda sudah makan malam? Apa ada tempat makan yang ingin Anda kunjungi?"

"Tidak pak, saya sudah makan saat dikereta tadi."

"Baik non."

Mobil hitam melesat menambah kecepatan menyusuri jalan kota Surabaya.

Hingga tiba tepat didepan loby Hotel JW Marriott. Rukha terkesima melihat bangunan Hotel yang begitu megah dan mewah bergaya Eropa.

'Mengapa ibu memesan hotel yang begitu mewah hanya untuk beristirahat satu malam'

Ucap Rukha dalam hati.

"Non."

Tegur Pak Mudin

"E iya Pak."

"Kita sudah tiba. Saya hanya bisa mengantar non sampai disini. Nanti akan ada pegawai hotel yang mengantar sampai ke kamar yang sudah dipesan untuk Non. Sekarang marilah kita turun."

Pak Mudin turun dari mobil dan segera berlari membuka pintu mobil untuk Rukha.

Rukha turun dari mobil masih dengan melihat sekitar hotel atas kekaguman nya terhadap bangunan hotel yang begitu megah.

Pak Mudin membawa tas jinjing Rukha dan menyerahkannya pada bellboy yang sudah menunggu didepan loby untuk membawa barang bawaan Rukha.

" Non, besok pagi saya akan kembali menjeput anda disini."

"Terimakasih pak."

Ucap Rukha dengan sedikit menganggukkan kepalanya.

Rukha berjalan masuk kedalam loby yang sudah diikuti dengan bellboy yang membawakan tasnya.

Bellboy mengantar Rukha sampai depan pintu pintu kamar yang sudah dipersiapkan untuk nya.

" Nona, jika ada keperluan lain kau bisa menghubungi kami melalui telpon."

Bellboy berkata pada Rukha sambil menunjuk telepon duduk yang terletak dinakas samping tempat tidur.

Rukha menggangguk perlahan sambil berkata

"Terimakasih."

Kamar yang luas dengan ceiling yang tinggi membuat sirkulasi udara dalam kamar menjadi bagus serta menawarkan suasana yang tenang dan nyaman.

Ukuran yang luas serta desain yang antik juga terlihat dibagaian kamar mandi.

Bersebalahan dengan kamar Rukha terlihat seorang pria berjas hitam dengan badan altletis sedang berdiri menghadap jendela dengan hordeng yang terbuka.

Ia sedang berbicara melalui telpon miliknya.

" Siap pak. Saya mengerti. Mungkin sekarang ia sedang beristirahat."

Pria itu menutup telponnya dan memandang pemandangan malam hari yang menawarkan gemerlap lampu dan gedung-gedung pencakar langit lainnya dikota Surabaya.