"Apa yang kau cari Rukha? Barangkali Aku bisa membantu." Tanya Ranti.
"Syal, syal rajut abu-abu tua, apa kau melihat nya?"
Jawab Rukha sembari memfokuskan pandangannya kesetiap sudut jalan stasiun.
Ranti juga melihat kearah jalan stasiun yang sudah mereka lalui. Dan ia tidak melihat ada barang yang tercecer.
Stasiun Tugu Yogyakarta merupakan stasiun terbesar setelah stasiun Lempuyangan.
Saat awal pembangunan dan peresmian
2 mei 1887, jalur stasiun Tugu digunakan untuk mempelancar arus distribusi hasil perkebunan yang banyak terdapat diwilayah Vorstenlanden.
Pemerintah kolonial saat itu masih menguasai segala jenis hal yang berhubungan dengan kereta api.
Seiring berjalan waktu, stasiun Tugu kini menjadi satsiun terbesar yang dipenuhi oleh wisatawan karena dapat dengan mudah mengakses area wisata.
Tentu saja tidak mudah untuk mencari barang yang telah hilang ditempat umum seperti ini.
"Tidak Rukha, Aku tidak melihat nya."
Rukha menarik napas panjang, sembari melihat keadaan stasiun yang dipadati oleh orang orang-orang yang memiliki tujuannya masing-masing.
"Rukha?"
Tegur Ranti sambil memegang bahu teman barunya.
Rukha menundukan kepala dan membalikkan badan, melanjutkan langkah, berjalan menuju jalur yang bisa terhubung pada area parkir angkutan umum.
"Apa kita tidak kembali saja untuk mencarinya?"
Tanya Ranti sambil berlari kecil menyusul Rukha.
Rukha sangat segan merepotkan teman yang baru saja ia temui.
"Tidak usah Ranti, terimakasih." Tegas Rukha.
Rukha terus berjalan yang disusul oleh Ranti.
'Semoga ini bukan pertanda yang buruk. Maafkan Aku ibu, karena telah lalai menjaga pemberian darimu.'
Lirih Rukha dalam hati.
Ia terus berjalan bersama Ranti.
Mereka memutuskan untuk naik becak mesin, karena Rukha ingin melihat sekeliling kota Yogyakarta sembari perjalanan menuju desa tujuannya.
Terdengar bunyi nyaring dari gas yang ditarik oleh sipengemudi becak.
Becak jalan perlahan. Bersamaan dengan itu, Rukha kembali menoleh kebelakang, melihat dan memperhatikan keadaan sekitar stasiun.
Pandangannya teralih pada pemuda yang mengenakan ikatan kepala bercorak batik.
Pemuda itu baru saja berhenti berlari tepat di perepatan pintu keluar menuju angkutan umum, menoleh kanan dan kiri seperti mencari seseorang.
Rukha mengerutkan dahinya, memfokuskan pandangannya. Ia melihat pemuda itu menggenggam syal abu tua yang mirip dengan miliknya.
Namun, jarak pandang semakin menjauh karena becak terus melaju.
Hingga pandangan pemuda itu jatuh pada Rukha, mereka saling memandang dengan jarak yang semakin jauh dan menghilang tak temu pandang.
'Takdir sudah mengikat, bahkan dari pertama mereka bertemu, sebelum saling mengenal.'
*****
"Hanum, apakah Rukha sudah sampai di Yogyakarta?"
Tanya Nek Darsih pada Hanum yang sedang sibuk memeriksa sembako yang akan dibagikannya.
Hanum ibu rumah tangga yang sering mengikuti acara sosial. Tidak jarang ia membuat kegiatan sosialnya sendiri untuk membagikan sembako pada para pekerja dan warga desa.
"Sudah mbok. Rukha sudah dijemput oleh anak teman lama ku."
Jawab Hanum sambil memeriksa sembako yang akan dibagi.
"Huuuffh, dua hari aku tidak melihatnya membuatku sungguh sangat merindukannya."
Ucap Nek Darsih dengan nada rengekan.
"Kapan dia akan pulang?" tanya Nek Darsih.
"Rukha tidak memberi tahu ku kapan dia akan pulang. Tapi yang jelas dia akan pulang saat dia benar-benar sudah mencapai tujuannya." Jawab Hanum.
"Anak itu, sungguh mengingat apa yang dilihatnya delapan tahun yang lalu." Ucap Nek Darsih.
"Hanum. Apakah Darto tahu tentang keberangkatan Rukha?"
Tangan Hanum terhenti dari kegiatannya yang sedang memeriksa tumpukan sembako.
Pandangan Hanum lurus kedepan menjurus pada satu arah, seolah sedang mengingat sesuatu.
"Ayah, apa kau sudah pulang? Aku hanya ingin memberitahu mu, besok hari keberangkatan ku ke Yogyakarta. Ibu sudah menyiapkan segalanya, kau tidak perlu khawatir Ayah. A…aku…."
Ia terdiam menyadari akan tindakan nya yang bodoh. Ayahnya tidak akan mendengar. Ia hanya berbicara seolah Darto mendengarnya.
Rukha tidak memiliki keberanian penuh untuk berbicara langsung pada Darto.
Ia menundukkan kepalanya. Menarik napas panjang.
"Ayah, tidakkah ada yang ingin kau katakan padaku? Sungguh, ini adalah perjalanan pertamaku." Lirih Rukha.
Rukha meneteskan air mata dibalik pintu ruang kerja Darto yang sedang kosong.
Ia membalikkan badannya seraya berucap dalam hati.
'Aku sungguh tak memiliki keberanian untuk berbicara langsung padamu. Walau sangat menginginkannya.'
Ia berjalan dengan penuh rasa hampa.
Tanpa Sengaja Hanum melihat Pemandangan yang membuat hatinya terasa sakit.
Seperti seribu jarum sedang menusuk bagain hati terdalam.
Pipi Hanum dibasahi dengan bendungan air yang tak tertahankan sedari-awal.
Ia menyeka air matanya, menarik napas dalam-dalam dan berjalan menyusul Rukha sambil mengumpulkan kekuatan demi menutupi rasa sakitnya.
"Heii, ternyata kau disini Rukha."
Ucap Hanum dengan penuh ketegaran. Hanum berusaha bersikap seolah tidak melihat apa yang baru saja dilihatnya.
"Ibu." Sahut Rukha sambil membalikkan badan dari pandangannya terhadap bunga-bunga ditaman kecil miliknya.
"Apa kau ingin mengucapkan selamat tinggal pada bunga-bunga mu ini?" Ibu bertanya dengan nada menggoda.
"Bagaimana ibu bisah tahu." Balas Rukha yang juga menggoda ibunya.
Mereka tertawa kecil.
'Bibirmu memang sedang terlihat mengukir senyuman, namun matamu sedang menyimpan luka. Kau tidak bisa membohongi ibumu ini. Seberapa keras kau mencobanya, ibu akan tetap mampu memahaminya. Karna kau adalah anakku.' Ucap ibu dalam hati.
"Rukha," ucap ibu sambil memegang kedua bahu Rukha.
Rukha menatap ibu dengan senyum, walau hatinya tergetar menyimpan rasa sakitnya.
Mereka saling memandang sambil tersenyum dan sama-sama sedang menutupi perasaannya.
"Bunga dan matahari memiliki jarak yang begitu jauh, namun bunga mampu menyerap dan merasakan sinarnya.
Begitupun dengan rumput, kehadirannya adalah hal yang tidak diinginkan. Namun, rumput tumbuh dengan cepat setelah ada yang mencabutnya.
Walau terkadang kehadiran seseorang tidak diinginkan oleh orang yang lain, janganlah merasa terluka terlalu lama, ia harus sembuh dengan cepat, karena waktu akan terus berjalan." Ibu melanjutkan ucapannya.
Ibu memeluk Rukha dan mencium kening putri sematawayang nya dengan penuh kasih.
"Hanum, Hanum!" Panggil Nek Darsih sembari menggoyang bahu Hanum.
Hanum terhentak dari lamunnya, dengan mata yang berkaca-kaca.
"Sudahlah, tidak usah kau jawab. Dari ekspresimu aku sudah bisa membacanya."
Ucap Nek Darsih seolah tahu apa yang terjadi.
"Darto, sampai kapan sikap dinginmu menyelimuti kehangatan hati mu."
Ucap Nek Darsih sambil berbalik arah dan berjalan menuju gudang ulat sutra.
***
Suasana lenggang, hanya terdengar suara mesin dan tarikan gas becak.
Tidak ada pertanyaan sepatah katapun yang keluar dari mulut Rukha kepada Ranti.
Rukha hanya berdiam sambil melihat jalanan kota.
"Rukha,e emm…. boleh aku bertanya." Ucap Ranti dengan nada ragu. Memastikan bahwa dia tidak sedang mengganggu Rukha.
Rukha menoleh memandang Ranti, seolah memberi persetujuan pada Ranti.
"Syal itu, apakah sangat berkesan bagimu? Maaf jika per...
"Pemberian ibu ku," jawab Rukha memotong perkataan Ranti yang belum selesai.
"Ibu merajutnya sendiri, sabagai hadiah dihari kelahiranku yang ke 17 tahun."
Ranti terdiam sambil memandang Rukha, becak terus melaju, memotong kendaraan yang berada didepannya disaat ada kesempatan, kemudian menambah kecepatan agar sampai ditempat tujuan dengan cepat.
*****
Kampung Batik Giriloyo,
"Apa kau sedang kehilangan sesuatu nona?"