Disaat semua orang hanyut dengan kesibukan masing masing, ketika mereka bergelut dengan semua kemewahan, mengenakan baju bermanik-manik berlian dan sepatu kaca layaknya cinderella di zaman ini. Seorang gadis bermahkota itu tersenyum sembringah seolah-olah tidak ada beban dalam hidupnya. Lain halnya dengan diriku yang berpakaian lusuh yang memandangi sebuah pesta dari kejauhan. Pelupuk mataku berlinang, mengenang memori kehidupanku dulu. Sebelum peristiwa itu menyapa secara tiba-tiba.
"Tidak bisakah aku memutar waktu?" ucapku lirih berbalik badan menyusuri sebuah gang kecil yang gelap. "Tidak bisakah aku kembali?" ucapku sekali lagi sambil mengusap air mata yang sudah membasahi pipi.
Kakiku melangkah masuk seraya menghidupkan saklar lampu yang letaknya tidak jauh dari pintu. Aku merebahkan badan diatas sofa usang. Kalau diingat-ingat lagi, sofa yang kutiduri itu sudah berumur lebih dari dua puluh tahun, tiga tahun lebih muda dariku. Tidak ada yang istimewa dari ruangan berukuran empat kali empat itu. Tidak ada barang barang mewah didalamnya. Jangankan maling, seekor kucing pun enggan untuk memasuki rumah karena tidak ada yang bisa dicuri dari ruangan itu.
Ini tahun ke-lima aku menempati sebuah flat sempit yang letaknya cukup jauh dari keramaian. Tempat ini cukup berbahaya apabila berkeliaran diluar rumah terutama seorang gadis sepertiku. Terkadang aku sering tertawa sendiri, apakah ruangan yang aku tempati ini masih bisa disebut rumah? Dilain sisi, aku juga tersenyum lega yang dipaksakan. Setidaknya aku bisa berlindung dari panas dan hujan.
Aku mengeluarkan jam tangan dari dalam tas kecil yang tak kalah usang. Bentuknya sudah lusuh, salah satu talinya terlihat sudah dijahit beberapa kali. Aku mendesah pelan, hari sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya untuk ke supermarket.
Aku meletakkan beberapa botol kaleng minuman ke rak. Menyamakan merek dan ukurannya. Satu tanganku memegang papan berisikan daftar nama barang yang akan disusun. Sebuah lonceng berbunyi, pintu supermarket didorong. Aku bergegas kembali ke meja kasir. Aku memperhatikan seorang anak kecil mendatangi sebuah rak yang dipenuhi cemilan ringan. Mengambil satu yang berukuran sedang bertuliskan "kentang original". Aku tersenyum kecil memperhatikan anak yang tampak lucu itu. Tidak lama, anak itu mendekati meja kasir. Dia tidak menyerahkan uang, melainkan sebuah kertas yang sudah dilipat empat.
Tanganku menerima kertas dengan sedikit terheran-heran.
Kak, berikan aku satu ini saja, nanti hal baik pasti akan terjadi padamu.
Aku tersenyum ringan. Kupandangi wajahnya yang terlihat memelas dengan korengan yang sudah mengering. Dia menatapku penuh harap. Kedua tangannya memangku sebungkus cemilan ringan yang diambilnya tadi. Tidak banyak. Dia hanya mengambil dua bungkus cemilan berukuran sedang.
Apa boleh buat, aku membiarkannya sekali ini saja. Membayar dua cemilan itu tidak akan membuatku mati kelaparan. Aku berpikir panjang. Apabila nanti aku berada diposisi itu, apakah ada yang akan membantuku seperti yang kulakukan pada anak itu?
"Pergilah, kau juga mau minuman?" Aku memberikan seotol air putih yang kebetulan berada di dekat kasir. "Ini," Anak itu menerima dengan cepat kemudian dia langsung berlari keluar supermarket.
Aku menghembuskan nafas. Tersenyum simpul menatap anak itu hingga menghilang dari pandangan. Tak lama, aku menggeleng-gelengkan kepala kembali fokus bekerja, masih banyak yang harus dilakukan. Ini sudah tahun kedua aku bekerja paruh waktu disebuah supermarket dua puluh empat jam. Aku mengambil shif malam. Gaji yang didapatkan memang tidak seberapa, tapi cukup untuk menutupi kehidupanku yang sudah susah ini. Aku tidak pemilih soal pekerjaan. Mendapatkan pekerjaanku ini saja sudah sangat sulit, apalagi untuk seorang gadis dua puluh tiga tahun yang hanya lulusan sekolah menengah.
"Lagi-lagi kau melakukannya!" Aku terlonjak kaget ketika pemilik supermarket tiba-tiba masuk. "Gaji kau kupotong!"
"Tapi pak, saya membayarnya dengan uang saya sendiri. Saya tidak pernah mencuri," aku membela diri. Enak saja dia memotong gajiku hanya karena membiarkan anak kecil tadi memasuki supermarket ini.
"Ini sudah yang keberapa kali, huh? Kau pikir aku tidak tahu? Bisa-bisa aku rugi kalau kau seperti ini terus," kata pemilik supermarket yang biasa kupanggil Pak Wang. Temperamennya memang buruk. Tak sekali ini aku menerima teriakannya. Aku akui memang aku sering memberikan cemilan pada anak-anak jalanan yang memasuki toko. Pada awalnya mereka memang berniat untuk mencuri, tetapi kebanyakan dari mereka ketahuan olehku sehingga aku membiarkan dan membayar makanan yang mereka ambil dengan uangku sendiri. Tapi Pak Wang selalu curiga, mengatakan jika aku komplotan mereka ikut mencuri di supermarketnya.
"Kalau kau gak mau dipotong gajinya, berhenti saja!" seru Pak Wang lagi.
Tanganku berhenti memindai barang. Ucapannya kali ini terdengar begitu menyinggung hati. Seolah itu kesalahan terbesar yang aku lakukan. Sejujurnya aku tak tahu apa salahku sehingga harus berhenti? Aku bukannya mencuri. "Apa?"
"Kau tak dengar? Kau kupecat. Jelas?" ulangnya lebih lantang. "Sana!" Pak Wang menarik dan mendorongku menjauh dari meja kasir. Aku masih tak terima dengan perlakuannya tapi aku juga sudah muak bekerja di sana. Dua tahun bukan waktu sebentar. Jika melihat ke belakang. Sering kali ucapan bosku ini yang menyakitkan, bahkan menghinaku. Tapi selalu aku tahan karena butuh pekerjaan ini. hanya untuk bertahan hidup.
Aku melepaskan rompi hijau yang biasa kukenakan selama bekerja kemudian meletakkannya dengan kasar di atas meja kasir. Kemudian berjalan ke belakang mengambil tas dan barang-barangku. Tak lama, aku kembali keluar dan melirik sinis pada Pak Wang sebelum keluar. Berharap supermarketnya benar-benar dimaling atau bangrut. "Dasar pria tua," rutukku dalam hati.
Kakiku melangkah tanpa arah. Masih terlalu cepat untuk pulang. Aku harus segera mencari pekerjaan pengganti jika tak ingin diusir dari flat yang aku tempati itu. Sudah tiga bulan aku tak membayar uang sewa.
Tak sengaja aku melewati salah satu kawasan yang paling ramai di kotaku, Seoul. Lebih tepatnya kota malam. Sepanjang jalan berjejer bar dan diskotik yang penuh dengan antrian yang mengular di luar. Aku mendekati salah satu bar yang agak sepi. Mataku langsung berbinar ketika melihat sebuah kertas tertempel di salah satu kacanya. Bar itu sedang mencari pekerja paruh waktu. Semoga aku bisa mendapatkan kesempatan itu. Aku melihat papan nama besar yang menggantung. Channel A. Itulah nama bar yang tertulis.
Aku agak menjauh dari kaca itu. memperhatikan siluet diriku dalam kaca yang tak terlalu jelas. Setidaknya masih bisa terlihat apakah penampilanku tampak berantakan. Aku merapikan rambut hitam lurusku yang melebihi bahu, tak terlalu panjang. Dan menyeka lengan kaos putih longgar yang kukenakan. Pakaianku memang agak lusuh tapi masih rapi dan bersih. Celana jins yang kupakai bahkan sudah agak robek dibagian lutunya, tapi kuanggap sebagai gaya. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Aku mendorong pintu. Dua orang berbadan besar langsung menghadang langkahku.
"Kau tidak bisa masuk sembarangan ke sini," kata salah satu pria itu dengan suara beratnya.
"Aku melihat kalau bar ini sedang mencari pekerja paruh waktu, aku datang untuk itu," terangku sambil bergantian menatap kedua pria itu. Mereka memindai penampilanku dari atas kepala hingga ujung kaki. "Sana masuk! Lain kali lewat pintu belakang, jangan lewat sini," kata salah satu pria itu terdengar tak ramah. Mana aku tahu peraturan seperti itu. Aku membungkukkan sedikit badan lalu berjalan cepat meninggalkan kedua pria itu di pintu masuk. Aku agak takut melihat wajahnya karena tampak sangar dan mengerikan.
Suara musik keras mulai terdengar memekakkan telinga. Tetapi kupaksakan untuk terus melangkah. Sungguh penampakan yang asing bagiku di bawah sana. Sebelumnya aku pernah mendengar tempat-tempat seperti ini, tetapi belum pernah datang. Teringat janji kakak laki-lakiku waktu itu. Namun kini dia tak sempat memenuhi janjinya untuk membawaku ke tempat-tempat seperti ini.
Aku menuruni anak tangga perlahan. Sudah pasti raut wajahku sangat norak dengan mulut ternganga melihat banyaknya orang-orang yang sedang menari dan berjoget asik di tengah kerumunan diiringi alunan musik disko. Di depannya ada seorang DJ yang memimpin musik. Di samping DJ itu ada tiga orang yang menari sambil berantung pada tiang. Aku memandangi penampilan dan melihat bajuku yang berbeda dengan orang-orang di sana.
Lampu bar yang redup dan lampu sorot yang menyilaukan membuat penglihatanku menjadi tak jelas. Aku bingung kepada siapa harus bertanya tentang pengumuman yang kulihat di depan. Aku mengedarkan pandangan. Celingak-celinguk kanan dan kiri. Mataku setengah terbuka karena lampu sorot yang tepat mengenai mataku. Remang-remang aku melihat seorang pelayan berbaju putih sedang membawa nampan di balik kerumunan orang-orang di depanku ini. Aku hanya perlu berjalan menyibak kerumunan orang yang sedang menari itu.
Selangkah. Dua langkah masih aman. Tetapi langkah ketigaku tak berjalan lancar karena kakiku tersandung sesuatu dibawah sana sehingga membuat diriku kehilangan keseimbangan. Tepat saat itu sepasang tangan manangkap dan menarik tanganku agar wajahku tak menyatu dengan lantai. Sepasang tangan itu menarikku cukup kuat hingga membuat badanku berbalik sepersekian detik. Aku mendarat dalam sebuah dekapan seseorang. Tetapi posisi tangan pria itu tepat mengenai dadaku dan berdiam di sana. Sontak aku langsung mengangkat pandangan dan mendapati orang yang menolongku itu seorang laki-laki.
"Aaaaaa…" teriakku.