"Jinnie, dia sudah datang kembali." Karina baru saja memberitahuku kalau Kakek Chu datang kembali setelah istirahat selama beberapa bulan karena operasi jantung. Dia datang untuk makan di restoran bergaya jepang di tempatku bekerja. Mataku berbinar dan langsung berlari menghampiri meja yang biasa didudukinya.
Ya. Disiang hari aku juga bekerja paruh waktu menjadi waiter di salah satu restoran jepang. Di tempat ini aku bekerja sudah agak lama. Jika tak salah ingat, sudah hampir satu tahun aku bekerja di sini. Bahkan beberapa pelanggan tetap restoran ini sampai menghafal dan mengingat namaku. Salah satunya adalah Kakek Chu.
Kakek Chu. Pria tua yang sudah menginjak kepala tujuh itu memang lebih suka dipanggil begitu. Lucu. Kepribadiannya juga ramah. Aku sudah mengenal beliau semenjak pertama kali bekerja di restoran ini. Berarti sudah hampir satu tahun pula. Awalnya hanya karena aku terlalu gugup ketika menuangkan minuman ke gelasnya hingga tumpah, semenjak itu beliau sering mengajarkan banyak hal. Bahkan dia meminta manager di tempatku bekerja untuk membiarkanku menemani beliau makan. Dia akan membayar biaya makanku juga.
"Kau mau mendengarkan ceritaku hari ini?" Kakek Chu mengajakku pertama kali makan bersama. Waktu itu ketika aku bertemu dengannya yang kedua kali.
"Ya?" Aku agak bingung bagaimana menjawabnya. Bagaimana mungkin aku duduk di sana menemaninya makan dan mendengarkannya bercerita sedangkan pekerjaanku sangat banyak.
"Aku sudah bicara dengan managermu, duduklah!" Perintahnya. Aku sontak melihat kesana-kemari, mencari keberadaan manager yang dibicarakan kakek Chu. "Dia tak akan marah," ujar Kakek Chu menyadari sikapku yang canggung dan menunjukkan raut muka ketakutan. Bagaimana jika nanti aku ketahuan bermalas-malasan ketika bekerja? Waktu itu aku sangat tidak ingin dikeluarkan, kerena aku butuh uang untuk makan.
"Kenapa masih berdiri? Duduklah!" Kakek Chu terkekeh sambil menyuap omelet rice ke mulut. Di antara banyak pilihan menu yang lain seperti unagi ataupun sashimi, dia selalu memesan menu yang sama setiap kali berkunjung. Tak setiap hari. Tetapi dua kali seminggu di hari yang sama. Rabu dan Sabtu.
Aku menarik kursi dan duduk. Tidak lama kemudian, Karina datang dengan membawakan menu yang sama. Dia tampak menggodaku dengan mengedipkan sebelah mata yang kubalas dengan menaikkan alis. Mencoba meminta penjelasan darinya. Aku tidak mau pengunjung lain ikut salah paham mengira aku simpanan Kakek Chu atau apalah itu.
"Kau suka makanannya, kan?" Nasi di piring Kakek Chu sudah tinggal setengah. Dia tampak santai menikmati makan siangnya itu.
"Ya. Terima kasih atas makanannya," kataku dengan nada suara yang datar dan kaku. Kakek Chu terkekeh. "Jangan kaku begitu dong, saya jadi gak enak," katanya lagi masih terkekeh melihat raut wajahku.
Selanjutnya dia bercerita tentang tanamannya yang mati. Ketika memelihara empat ekor anak kucing baru. Tentang giginya yang tanggal beberapa hari yang lalu. Kakek Chu bercerita tentang apa saja kegiatan sehari-harinya yang menurutku biasa saja. Kehidupannya yang juga biasa pula. Penampilannya juga biasa. Dan menurutku dia bukanlah orang yang berasal dari kalangan atas yang hanya bisa kulihat di TV. Akupun menikmati cerita Kakek Chu, hingga akhirnya dia mengetahui sedikit banyaknya apa yang telah terjadi padaku karena aku sudah menganggapnya sebagai orang dewasa pengganti keluargaku. Sosok yang akan mendengarkan keluh kesah yang sudah lama membelut hatiku. Terkadang aku menganggapnya sebagai ayah, kadang kakak laki-laki yang perhatian, hingga teman yang bisa diajak bercerita.
Ketika kunjungannya yang entah keberapa kali. Aku lupa karena saking seringnya. Tiba-tiba Kakek Chu datang menggunakan kursi roda, ditemani seorang laki-laki paruh baya yang ikut menemaninya. Kira-kira umurnya awalan lima puluhan. Kakek Chu memanggilnya Em. Panggilan yang aneh memang. Tapi aku ikut memanggilnya dengan sebutan Em. Itu pertama kalinya aku bertemu Em, tetapi tak terlalu menganggap serius keberadaannya karena terlalu fokus pada Kakek Chu.
Aku berlari-lari kecil ketika Karina memberitahu kedatangan Kakek Chu. Wajahku tampak begitu khawatir saat melihat Kakek Chu yang duduk lemah di kursi roda. Wajahnya agak pucat dengan balutan syal tebal di leher.
"Kakek sakit?" tanyaku khawatir. Pria tua itu hanya tertawa ringan yang terdengar dipaksakan. "Kenapa masih ke sini?" Aku memegang pundaknya sedikit berjongkok agar Kakek Chu tak perlu mendongak untuk melihat wajahku. Em meninggalkan kami di salah satu meja.
"Sebentar lagi aku mau operasi jantung. Sebaiknya kau berdoa supaya aku tetap hidup," canda Kakek Chu. Dia mengatakan seolah-olah penyakitnya itu bukanlah hal yang besar. Aku memang sudah tahu kalau dia sakit jantung. Pernah terselip ketika dia asik bercerita denganku.
"Kalau begitu, seharusnya kakek di rumah sakit, kenapa malah ke sini," ungkapku berusaha menahan tangis bercampur tawa.
"Astaga, kenapa kau menangis, aku bukannya mau mati besok." Aku terkekeh dengan bercucuran air mata. Aku sedih karena takut terjadi sesuatu pada Kakek Chu selama operasi, tetapi lawakan Kakek Chu masih bisa membuatku tertawa.
Aku mengusap pipi dengan cepat. Lalu bangkit dari posisiku yang sebelumnya, berjongkok di hadapannya. Aku mendorong kursi roda keluar dari restoran. Di sana sudah ada Em yang menunggu dengan sebuah mobil sedan hitam di belakang.
"Berjanjilah padaku untuk tetap hidup, oke?" Aku menautkan jari kelingkingku dengan kelingking Kakek Chu dengan paksa.
"Maukah kau juga berjanji padaku?"
Aku mengangguk antusias. "Maukah kau mengabulkan satu permintaanku apapun yang terjadi?" kata Kakek Chu terdengar serius.
"Baiklah. Aku berjanji." Aku tersenyum lagi. "Aku akan mengabulkan permintaanmu ketika Kakek sudah kembali sembuh," balasku.
Dia tersenyum melihat kelakuanku. Entah apa yang membuatku begitu nyaman ketika bersama Kakek Chu. Seolah aku merasakan kembali sosok seorang ayah yang terlalu cepat meninggalkanku kala itu.
*****
Dua bulan setelah beristirahat karena operasi jantung. Kakek Chu kembali datang menemuiku. Aku langsung memeluk Kakek Chu begitu tiba di dekatnya. Haru dan juga senang melihatnya bisa berjalan lagi, tak lagi duduk di kursi roda seperti terakhir kali. Kakek Chu menepuk pelan punggungku. "Bukankah sudah kubilang, aku tak akan mati." Aku melonggarkan pelukan.
"Kau benar-benar sudah sembuh, kan? Aku tak suka melihatmu duduk di kursi roda," kataku sambil mengajaknya duduk di meja yang biasa kami duduki. Kakek Chu datang bersama Em. Aku menyapanya ramah. Kali ini dia tak meninggalkan kami berdua saja, tetapi tetap berdiri di samping Kakek Chu. Dia memang berdiri agak jauh, tapi aku yakin dia masih bisa mendengar percakapan kami.
"Karna aku sudah menepati janjiku, kau tidak lupa dengan janjimu, kan?" Kakek Chu mengingatkanku tentang janji yang kami buat di pertemuan terakhir sebelum operasi.
"Baiklah. Aku tak akan pura-pura lupa," kataku semangat. "Kau sudah berjanji akan melakukan apapun kan? Jadi kau harus menurutinya ya," Kakek Chu memastikan agar aku tak menolak apapun permintaannya nanti.
"Baiklah, baiklah. Kenapa kakek jadi lebih banyak bicara? Sepertinya yang dioperasi bukan jantung melainkan mulut kakeh deh," kataku sambil bercanda. "Oh ya, aku lupa. Kakek kan memang banyak bicara seperti ini," lanjutku masih saja menggodanya sambil terkekeh. Hubungan kami memang sedekat itu. Suka bercanda satu sama lain. Hanya kakek Chu yang bisa membuatku bisa tertawa lepas selama satu tahun belakangan.
"Menikahlah dengan cucuku!"
"Oke," jawabku santai karena masih asik tertawa tanpa mendengarkan dengan jelas apa permintaan dari Kakek Chu. "Apa?" seketika tawaku hilang setelah sadar dengan ucapan Kakek Chu barusan.
"Menikahlah dengan cucuku!" ulang Kakek Chu masih tersenyum seperti para sales yang menawarkan dagangannya agar laku terjual.
"Aku? Cucumu?" Lidahku tiba-tiba menjadi kaku. Tak tahu apa yang harus kukatakan pada Kakek Chu saat itu.