"Aaaaaa…" Aku berteriak kaget lalu menarik kuat lengan pria itu dan membalik badannya hingga terangkat, kemudian menghempaskannya dengan keras ke lantai. Seketika itu juga musik berhenti dan semua perhatian terpusat padaku. Orang-orang yang menari tadi juga berhenti, mereka otomatis membentuk lingkaran mengelilingiku dan pria yang sudah tergeletak di lantai itu. Aku menguasai teknik bela diri judo sabuk hitam. Dulu ayah selalu memaksaku untuk ikut kelas judo agar bisa menjaga diri katanya. Tak aku sangka kepandaianku itu bisa kupakai sekarang.
Aku terengah-engah. Kemudian tersadar tempat yang disentuh pria tadi, sontak tanganku langsung terangkat menyilang di dada. "A-apa yang kau lakukan?" tunjukku pada pria yang berusaha untuk bangkit. Dia memegangi pinggang yang terhempas tadi. Lampu bar menyala lebih terang dari yang sebelumnya. Beberapa pria berbadan besar berlarian menghampiriku. Tetapi yang membuatku terkejut adalah mereka langsung menanyai kabar pria itu. Apakah dia baik-baik saja dan tidak terluka? Jelas-jelas korbannya di sini adalah aku.
"Belum bekerja saja sudah membuat masalah, keluar sana!" Pria berbadan besar yang aku temui di pintu masuk tadi menarik lenganku paksa. Dengan sekuat tenaga aku menahan agar badanku tak terseret keluar.
Pria yang kubanting tadi mengangkat tangan menyuruh empat orang pria berbadan besar itu berhenti. Pegangan tangan pria berbadan besar itu melonggar. Aku mengambil kesempatan untuk melepaskan cengramannya dengan cepat dan berdiri agak menjauh. Pria yang kubanting tadi menyuruh mereka pergi. Tak membantah. Mereka membungkukkan badan dan langsung meninggalkan kami sesuai perintah. Pria itu mendekatiku sambil tersenyum picik. Setidaknya itulah yang aku pikirkan saat itu. Karena orang-orang cenderung mempercayai hal-hal yang terlihat oleh mata mereka. Dan aku sama dengan orang-orang itu.
Aku memasang kuda-kuda bersiap membanting pria itu lagi jika dia macam-macam denganku. "Maaf, aku tak sengaja menyentuhmu di sana." Pria itu melirik dadaku lalu dengan cepat mengalihkan pandangannya kemanapun. Aku mengeratkan silangan tangan di dada. Memastikan dia tak bisa melihatnya. "Apa yang kau lihat?" tanpa sadar aku mengangkat tangan yang terkepal. Masih saja bersiap untuk menyerang.
"Kudengar kau ingin bekerja paruh waktu di sini?" tanya pria yang masih belum kuketahui namanya. Aku masih terdiam enggan untuk menjawab. Lagi pula apa urusannya dengan pria yang sedang memasukkan kedua tangannya ke saku itu.
"Aku bisa membantumu," pria itu mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Alisku terangkat, mencoba mencerna situasi apa yang tengah terjadi. "Kim Hwan," katanya memperkenalkan diri. Pria bernama Kim Hwan itu kembali menarik tangannya karena tak kunjung mendapat balasan dariku.
"Hmmm mungkin kau belum tahu, tapi aku yang akan memperkerjakanmu di sini," jelasnya lagi semakin membuatku terbelalak.
"Apa?"
Pria itu menyeringai. "Kalau kau mau bekerja sekarang juga bisa," lanjutnya lagi sedangkan aku masih mematung menatapnya lamat-lamat. Wajar saja keempat pria berbadan kekar itu patuh pada perintahnya. Tapi aku tak tahu harus bereaksi apa saat itu. Entah harus bahagia karena berhasil mendapatkan pekerjaan baru, atau merasa bersalah karena sudah membantingnya ke lantai atau marah karena perbuatannya padaku tadi, walaupun tak sengaja. Hanya senyum tipis yang bisa kutunjukkan. Meskipun agak dipaksakan, semoga dia bisa menangkap perasaan terima kasihku melalui senyuman palsu ini.
"Sa-saya bisa langsung bekerja sekarang pak," kataku gelagapan. Hwan memanggil salah satu pelayan wanita untuk mengantarku menuju ruang ganti di belakang.
"Oh ya, aku belum tahu namamu," Hwan menghentikan langkahku. "Jinnie, Park Jinnie. Bapak bisa panggil saya Jin atau Jinnie," aku langsung menjawab.
"Jangan panggil pak," Hwan tak suka dengan sebutanku padanya. Kalau mataku tak salah lihat, dia terlihat agak lebih tua dariku. Tapi jika dia lebih muda dariku, salahkan saja lampu ruangan yang redup ini. "Panggil Hwan saja, lagi pula kulihat usiamu tak terlalu jauh dariku," Hwan mengintruksikan.
Pelayan wanita yang dipanggil Hwan tadi bernama Haeri. Dia langsung membawaku menuju belakang dan menunjukkan loker untukku.
"Kau bisa pakai yang ini," kata Haeri ramah. Aku balik tersenyum padanya. "Terima kasih,"
"Kuharap kita bisa akrab ke depannya," Haeri kembali tersenyum sembringah. "Di sini pelayan wanita seperti kita sangat sedikit, hanya ada kau, aku dan Mina, tapi dia kebagian shift pagi," jelas Haeri. Dia tampak begitu senang karena tak lagi bekerja seorang diri pada jam shiftnya.
"Kuharap juga begitu." Aku juga tersenyum melihat senyum di wajah cerah Haeri. Sepertinya dia seumuran denganku. "Boleh aku tau kau kelahian tahun berapa?" tanyaku hati-hati jikalau dia merasa tersinggung.
Ternyata Haeri jauh lebih ramah dari yang kupikirkan. "Tahun ini umurku dua puluh dua, kau?" tanya Haeri balik bertanya. "Aku dua tiga, kau panggil aku Jin saja, cuma beda setahun," terangku cengengesan.
"Kutinggal ya, nanti kau langsung menuju meja bar panjang oke? Disana nanti ada Jisung." Haeri meninggalkanku diruang ganti agar segera berganti baju. Itu baju kemeja putih dengan celemek hitam setengah badan. Haeri bilang kalau sudah bekerja agak lama di sini, aku tak perlu lagi berpakaian formal seperti ini. Menurut Haeri juga, tujuan memakai baju formal ini agar pelanggan mengenali mereka, sehingga nanti mereka tak salah mengenali jika pelayan di bar tak lagi mengenakan baju kemeja putih itu.
Aku berganti baju dengan cepat. Lalu segera pergi menuju tempat yang di tunjuk oleh Haeri tadi. Bagaimanapun Haeri lebih senior dariku meskipun usianya setahun lebih muda. Karena dia bekerja lebih dulu di bar ini. Aku melihat seorang pria jangkung tengah meracik minuman dari balik meja bar panjang. Mungkin dia Jisung yang dibicarakan oleh Haeri tadi.
Aku menghampiri Jisung. "Halo, aku baru bekerja hari ini, semoga kita akur, dan aku bisa belajar banyak darimu," sapaku berbasa-basi.
"Tadi Hwan sudah bilang padaku," balasnya masih sibuk memotong es batu dari kotak menjadi bulat licin hingga muat di gelas bir.
Pria yang kupanggil Jisung itu menoleh padaku. Lalu tersenyum. Aku merasa tenang setelah bertemu rekan kerja yang menyenangkan seperti ini. "Kau bisa bantu keringkan gelas itu dulu." Jisung melirik gelas basah di bawah meja bar, lalu kembali tersenyum tipis dengan mata sipitnya.
"Oh, oke." Aku bergegas mengambil lap kering tak jauh dari tempatku berdiri. Lalu mengerjakan sesuai dengan instruksi Jisung.
"Kau sudah pernah bekerja di bar? Kulihat kau masih terlalu muda," katanya mengajakku mengobrol sambil bekerja.
"Ah itu, belum pernah, ini pertama kali," jawabku singkat. Jisung mengangguk-ngangguk. "Gelas yang kau keringkan itu dipakai untuk minum wiski, minuman yang paling sering di pesan di sini," jelas Jisung. Gelas yang aku keringkan ini berbentuk bulat di bawahnya menyerupai balon, sedangkan bibir gelas memiliki ukuran yang lebih kecil.
"Gelasnya sengaja dibuat seperti itu agar aroma wiski bisa terhirup sempurna saat mendekatkan mulut ke bibir gelas," lanjut Jisung menjelaskan. Aku merasa kagum karena ini dunia baru bagiku. Sebelumnya aku memang pernah meminum minuman beralkohol ketika usiaku baru saja menginjak dua puluh tahun. Tetapi hanya minuman beralkohol dari supermarket. Aku tak punya uang untuk membeli yang lebih mahal.
"Aku juga ingin mencobanya," gumamku pelan yang bisa di dengar oleh Jisung. "Sepulang kerja aku traktir," sahut Jisung tiba-tiba. Aku menoleh. "Benarkah?" Jisung mengangguk. "Kedepannya mungkin akan lebih sering," balas Jisung sambil menyerngitkan hidungnya manja. Dia sepertinya tipe pria yang banyak disukai oleh perempuan yang datang ke bar mereka. Buktinya saja sedari tadi sudah banyak wanita yang mengenakan baju setengah bahan mengedipkan mata padanya. Pria di sampingku ini juga membalas dengan kedipan mata. Menikmati. Bahkan beberapa ada yang memberikan secarik kertas berisikan nomor ponsel. Jisung memang menerimanya tetapi selalu mengabaikannya.
"Kenapa dibuang?" tanyaku heran melihat Jisung memasukkan sebuah kartu nama ke dalam kotak sampah.
"Terlalu merepotkan jika disimpan," balasnya singkat. Aku hanya mengiyakan apa yang dibicarakan Jisung. Tak bertanya lebih lanjut. Ditengah pembicaraan kami waktu itu. Seorang pria duduk di salah satu bangku meja bar tepat di hadapanku. Pria dengan potongan wajah tajam itu tak bersuara. Tetapi Jisung sudah memberikan secangkir minuman untuknya. Aku menyimpulkan kalau pria ini pelanggan tetap bar ini.
Aku tak lagi berbicara dengan Jisung. Tetapi masih sibuk mengeringkan beberapa gelas yang tersisa. Aku menatap pria yang duduk dihadapanku ini dalam diam. Sesekali mencuri pandang padanya. Potongan wajahnya terlihat jelas meskipun di bawah pencayaan yang kurang. Tahilalat kecil di sudut matanya tampak menambah keindahan matanya. Tiba-tiba pria itu mengangkat pandangannya ke arahku. Seketika aku terkesiap langsung memalingkan muka. Melihat apa saja asal bukan matanya.
Setelah agak lama, aku kembali mengarahkan pandangan padanya. Kudapati dia manatap kosong gelas di depannya. Lalu menenggaknya dalam sekali tegukan. Kemudian dia langsung pergi begitu saja setelah gelasnya kosong. Akupun segera membersihkan gelas yang sudah kosong. Tak sengaja, walaupun tak terlalu jelas, aku melihat sebuah dompet kulit berwarna hitam. Aku mengitari meja bar hendak mengambil dompet itu. Mungkin saja itu milik salah satu pengunjung barnya barusan.
Aku agak membungkukkan badan untuk mengambil dompet itu di lantai. Belum sampai tanganku untuk menyentuh, sebuah tangan sudah lebih dulu mengambilnya dengan cepat. Dengan posisi yang masih terbungkuk, aku mendongak siapa pemilik tangan itu. Ternyata dia adalah pria yang minum di hadapanku tadi. Dia memainkan dompetnya lalu berlalu meninggalkanku di sana. Aku membetulkan posisiku dan kembali berdiri tegak dengan tatapan yang tak lepas dari pria pemilik mata indah itu.
"Apa yang kau lakukan di sana?" Suara Jisung membuatku sadar.
"Oh? Tidak ada," kataku sembari kembali berjalan menuju meja bar.
****