"Nalia Mawar Merah. Itu nama panjangku."
Riro terkejut mendengarnya. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan salah satu anggota Keluarga Mawar Merah di sini.
"Mawar Merah? Keluarga penyihir yang itu?"
Nalia mengangguk.
"Wah ... hebat. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan salah satu penyihir Mawar Merah di sini. Ngomong-ngomong, sihir apa saja yang kau miliki?"
"Hanya sihir api."
Nalia menjawab tanpa menoleh ke arah Riro sedikitpun. Ekspresinya masih terlihat dingin.
"Sihir api? Ah, benar, aku baru ingat. Keluarga Mawar Merah itu spesialis sihir api dan pedang. Aku jadi penasaran. Bisa kau tunjukkan sihir apimu padaku?"
Pertanyaan itu tidak dijawab. Setelah menghabiskan rotinya Nalia langsung berdiri. Dia hendak pulang ke rumahnya.
"Eh? Sudah mau pulang? Tidak ingin mengobrol lebih lama?"
"Ya."
Setelah mengatakan itu Nalia pergi begitu saja. Sikap Nalia yang seperti ini membuat Riro kesal. Padahal dia sudah berusaha menciptakan hubungan yang baik, tapi tampaknya gadis itu tidak peduli sedikitpun.
"Argh ...! Menyebalkan sekali!" Riro menjambak rambutnya dan melempar plastik ke tong sampah yang ada di sebelah kirinya.
"Huh, padahal aku sudah bersikap baik. Tapi gadis itu malah bersikap dingin kepadaku. Menyebalkan."
Riro pun pulang ke rumahnya. Dia berusaha melupakan dua orang menyebalkan yang dia temui hari ini. Setelah sampai di rumah, dia berganti pakaian dan push rank sampai berjam-jam. Namun sayangnya, dia malah lose streak.
"Menyebalkan!"
....
Di wastu Keluarga Mawar Merah, jam sembilan malam.
Nalia duduk memeluk lutut di depan kolam renangnya. Dia hanya diam saja sambil menatap air. Ekspresinya datar, namun sorot matanya memperlihatkan kesedihan secara samar.
Saat Nalia menikmati kesendiriannya, dari belakang kakak perempuannya datang dan duduk di sampingnya. Wanita itu memiliki rambut merah sepanjang bahu dan iris mata berwarna ungu.
"Lagi-lagi kamu merenung. Apa ada yang bisa kakak lakukan untuk menghiburmu?"
"Tidak. Kak Navia tidak perlu susah payah menghiburku."
Navia tersenyum tipis dan ikut merasa sedih melihat adiknya itu. Dia merindukan Nalia yang sering berekspresi dan tertawa. Dia ingin sekali menghiburnya, tapi dia bukan orang yang ahli dalam hal itu.
Navia mengingat masa lalu, saat Nalia masih belum menjadi gadis dingin seperti sekarang.
"Andai saja kamu bukan seorang Yinhir, pasti kamu bisa jadi gadis yang ceria." Navia menatap wajah adiknya dan berkata, "Jika kamu ingin mencoba mengendalikan sihir lagi, kakak dan yang lain tidak keberatan kok."
Nalia balik menatap dengan tatapan yang tajam. "Tidak. Aku tidak mau. Kakak sendiri tahu 'kan? Terakhir kali aku latihan mengendalikan sihir, Kak Naufal sampai terluka parah. Dia bahkan hampir mati!"
"Memang benar. Tapi kakak tahu kamu ingin menjadi penyihir lagi. Benar bukan?"
Nalia menggertakkan giginya dan kembali menatap air, "Tapi ... orang-orang disekitarku akan ...."
"Kamu tidak perlu memikirkan itu. Kakak dan yang lain sudah sepakat menerima resikonya jika kamu ingin latihan mengendalikan sihir lagi."
"Sudahlah Kak! Aku tidak mau!" Nalia berdiri dan berjalan ke dalam ruangan. "Jangan membuatku merusak segel, Kak Navia." Gadis itupun pergi meninggalkan kakaknya.
"Sayang sekali ... sepertinya aku masih belum bisa menjadi kakak yang baik."
....
"Nona, anda ingin pergi ke mana?"
Nalia memakai sepatu dan hendak pergi keluar. Pakaiannya masih sama seperti tadi siang, namun bawahannya diganti rok hitam panjang.
"Aku ingin jalan-jalan. Bagaimanapun juga, kita baru empat hari tinggal di sini. Aku ingin mengenal daerah ini lebih banyak lagi."
"Kalau begitu, biarkan saya mengawal anda Nona," ucapnya sambil membungkuk dengan tangan kanan di dada kiri.
Nalia melirik ke arah kepala pelayannya itu. "Baiklah, Raka."
Mereka berdua pun pergi keluar wastu.
"Tunggu. Biarkan aku ikut."
Saat mereka belum pergi jauh, Navia menghampiri mereka berdua. Nalia melihat kakaknya, namun dia tidak mengatakan apapun.
Navia menganggap adiknya tidak mempermasalahkan, jadi dia ikut pergi jalan-jalan dengannya.
"Nanti beli martabak yuk. Kamu mau 'kan? Nalia."
Nalia mengangguk.
"Ide bagus Nona Navia. Jika boleh, nanti saya minta martabaknya ya. Saya suka martabak telur by the way."
Navia tertawa mendengar permintaan pelayannya itu. "Kamu nggak ada sungkan-sungkannya ya Raka."
"Saya bukan tipe pelayan yang seperti itu."
"Hahahahaha."
Raka memutar pandangannya ke Nalia. Gadis itu memasang ekspresi dingin daritadi. "Nona Nalia, apakah anda sudah mendapatkan teman di kota ini?"
"Teman ya ...."
"Ada apa?" tanya Raka lagi.
"Yah ... tadi siang aku berkenalan dengan seorang lelaki."
Mendengar itu Navia langsung menggandeng lengan Nalia. Dia terlihat antusias. Tingkah laku kakaknya ini membuat Nalia sedikit risih.
"Hee ... kamu kenalan sama cowok? Hihihi. Dasar, belum lama tinggal di sini sudah kenalan sama cowok aja. Gimana parasnya? Ganteng nggak? Orangnya kayak gimana?"
"Dia cuma laki-laki biasa. Tidak menarik sama sekali. Parasnya juga standar."
"Idih, jahat banget. Kalo orangnya dengar komentar kamu bisa-bisa dia sakit hati lo."
"Aku tidak peduli."
"Nona Nalia, apa laki-laki itu cabul dan menyakitimu?"
"Tidak Raka."
"Jika ada laki-laki yang mencurigakan atau cabul silahkan telfon saya Nona. Saya siap membasmi semua orang yang berusaha menyakiti cewek-cewek dari Keluarga Mawar Merah."
"Yang ingin kamu jaga cewek-ceweknya saja?" tanya Navia.
"Benar Nona. Perempuan harus disayangi dan dijaga. Terutama perempuan dari Keluarga Mawar Merah. Sebagai laki-laki, saya bersedia mengorbankan apa saja demi melihat senyuman Nona-Nona saya."
"Hahahahaha. Bisa aja."
Raka selalu berbicara dengan ekspresi datar. Bahkan ketika dia sedang bercanda. Meskipun begitu, dia terlihat elegan. Kepala pelayan ini seperti gabungan antara rakyat biasa dan bangsawan.
Raka dan Navia kembali melanjutkan obrolan mereka. Sedangkan Nalia diam saja dan berjalan ke tempat dia inginkan.
Setelah empat puluh menit jalan-jalan, mereka bertiga memutuskan pulang ke rumah. Tentu saja, mereka sudah membeli martabak.
"Jangan lupa, bagi saya juga martabaknya."
"Iya-iya, santai!" Navia tertawa kecil melihat pelayannya yang nggak sabaran.
Mereka bertiga akan sampai di wastu-rumah besar-sebentar lagi. Namun tiba-tiba saja Nalia menghentikan langkahnya karena melihat seorang pria mencurigakan di depannya.
"Ada apa Nalia?" tanya Navia.
Seorang pria berdiri tujuh meter di depan mereka. Dia diam dan memperhatikan rombongan Nalia.
"Dia terlihat mencurigakan," kata Raka.
"Kau benar." Navia mengangguk menyetujui.
Pria itu memakai kaos hitam dan celana jeans hitam. Rambutnya hitam dan sedikit gondrong. Dia terlihat seperti pemuda berusia 20 tahunan. Yang membuatnya mencurigakan adalah pisau pemotong daging di tangan kanannya.
Saat Nalia dan lainnya waspada, tiba-tiba saja pria itu terkekeh.
"Energi sihir raksasa ini ternyata berasal darimu ya ...!? Hahahaha! Tidak kusangka aku akan bertemu dengan seorang Yinhir di sini!"
"Nona Nalia, mundurlah. Pria itu mengincar anda."
Raka berjalan ke depan dan memunggungi majikannya. Nalia menurut dan mundur ke belakang beberapa langkah.
"Oh~~~ Gadis cantik. Izinkan aku melihat darahmu ...."