Lorong rumah sakit menjadi saksi bisu atas pecahnya gelombang tangis yang ke sekian kalinya. Derap-derap langkah pilu seolah menjelma menjadi alunan sendu yang bisa menghipnotis siapa pun itu. Sembari terseok, seorang gadis meraba-raba dinding dengan tatapan kosong. Wajahnya pucat pasi dengan beberapa bagian tubuhnya dibiarkan merembes darah.
"Zivanya, Zivanya."
"Lepas!" Gadis itu berontak saat tubuhnya direngkuh dan dibantu untuk berdiri dengan tegak serta berjalan dengan lancar.
"Dengarkan saya."
"Jangan ikut campur!"
Teriakannya semakin memekak, bahkan tidak memedulikan keberadaan mereka sekarang ini di mana.
"Sa—"
"Dokter apa? Nyatanya mereka tetap pergi, bukan? Pergi bersamaan dengan kejam dan bengis!"
Gerhana memejam beberapa detik sebelum akhirnya mencoba menenangkan diri dan mendekati Zivanya dengan perlahan-lahan.
"Jangan menyalahkan keadaan," bisiknya dengan sangat lirih.