Sudah lewat jam dua belas malam, namun Elvara dan Darren masih saja betah berdua diluar tenda. Haikal dan Nalesha disebelah tenda mereka bahkan sepertinya sudah berteleportasi ke alam mimpi. Elvara dan Darren itu sama-sama pecinta alam, hobi mereka sama, perilaku mirip. Mungkin karena itu mereka terkoneksi jauh hingga akhirnya menjadi sepasang suami-istri.
Elvara nyaman sekali, dihangatkan pelukan Darren dari belakang menatap kelap kelip lampu di kaki pegunungan seberang mereka berdiri. Sesekali suaminya itu menyanyikan melodi pembawa tidur. Memang seperti itu Darren, apalagi Ia baru saja kembali ke Indonesia setelah satu.
"Aku yang salah matanya nambah bias atau memang Kamu nambah cantik sih Ma?" bisiknya. Kembali pelipis Elvara diciumnya hangat.
Elvara mendonggak, tersenyum penuh seraya mengelus pipi Darren sayang. Tatapan itu bertemu, "Kalau Kamu ngeliat Aku tambah cantik, itu bukan fisiknya."
"Oh ya? Terus apa?"
Elvara tak langsung menjawab. Tangannya tergerak menyentuh dadanya dan Darren dengan kedua tangan masing-masing satu. "Hati Kita. Itu yang bertambah cantik, atau tampan. Refleksinya ke penglihatan Kita secara fisik," ujarnya penuh metafora.
Darren tersenyum, dikecupnya pipi kanan El kemudian, "Belajar teori dari mana? Kok pinter sekarang?" tanyanya.
"Aku harus pinter biar Kaylee jadi anak yang pinter juga," jawabnya. Ah, mereka jadi teringat anak semata wayang mereka yang sedang ditarik berlibur oleh Neneknya ke Bandung. Maklum, orangtua Darren itu sudah sangat lama menantikan cucu dari pernikahan mereka.
Darren menghela nafasnya panjang, menatap lurus ke depan, "Kamu tau gak Ma?"
"Hm? Apa?"
"Aku gak kebayang kalau dulu ... Aku gak ketemu Kamu. Aku kira-kira bakal jadi apa ya? Apa bisa Aku jadi suami dan seorang Ayah?" tanyanya. Pertanyaan random yang memang biasa muncul di benak seseorang di waktu tengah malam.
Namun Elvara tetap memikirkan jawaban atas pertanyaan random Darren tadi, "Mungkin ... Kita akan tetap ketemu, dengan ending yang sama. Namanya juga takdir, katanya mau dibelok-belokin gimana juga bakal sama, gak berubah," ujarnya kemudian.
Darren tertawa pelan, mengeratkan pelukannya pada El, "Bener. Karena itu Aku merasa sangat bersyukur dengan kehidupan Aku sekarang. Ada Kamu, Kaylee. Feels like more than enough."
"Kamu kenapa selalu romantis sih Pa kalau malem?" El balas mengeratkan pelukannya juga pada Darren.
"Hmm karena ... malem itu ... waktu yang pas buat berpikir, merasakan, dan mengekspresikan. Aku kadang gak merasa memiliki siangku, atau bahkan kadang ... pagiku. Pagi dan siang itu milik pekerjaanku. Jadi tersisa malam, sebagai satu satunya, yang bisa Aku explore, dan gunakan sebaik-baiknya," terangnya panjang lebar.
El tersenyum simpul, "Beruntung dong karena Aku juga aktif di malam hari," candanya setengah tertawa.
"Nokturnal. Kelalawar. Batman," ujar Darren tertawa diikuti El. "Eh bukan nokturnal aja sih. Kamu itu ..." ujarnya tertahan, menatap El misterius, membuat yang ditatap jadi penasaran, "Aku apa?"
"Kamu itu ..."
"Apa sih Pa?"
Darren malah menggeleng, "Enggak. Aku sayang Kamu," bisiknya, membuat Elvara terkekeh geli, "Cuma mau bilang itu aja muter-muter ah," ujarnya.
"Gak apa-apa, biar penasaran Kamu."
"Penasaran apa?"
"Apa?"
"Ya apa?"
"Ya apa? Kamu mikirin apa hayo tadi?"
"Ih apa?" kilah Elvara memerah. Darren paham, kalau istrinya itu suka berpikir macam-macam. "Gak mau ngaku dia. Malu ya?"
"Apasih Kamu tuh."
Darren kembali melihat ke arah seberang, "Apa lagi kedepannya Ma?"
"Hm? Apanya?"
"Ini pernikahan ke delapan tahun. Apa lagi yang mau Kamu capai di pernikahan Kita yang ke sepuluh, dua puluh, tiga puluh?" Darren memperjelas pertanyaannya.
Elvara tak banyak berpikir, Ia langsung bisa menjawab, "Apapun itu, yang penting ada Kamu. Kita selalu bareng apapun halangannya, Kaylee jadi anak yang baik, membanggakan."
Darren mengangguk-ngangguk mendengarkan dengan seksama.
"Tau gak Pa?"
"Enggak. Kasih tau dong," jawab Darren khas anak-anak remaja.
Elvara menghela nafasnya sejenak, menikmati kembali sensasi udara alam malam hari di paru-parunya, "Belakangan Aku berpikir, kalau yang harus Kita lakukan setelah menikah dan punya Kaylee itu ... gak jauh-jauh dari mengusahakan yang terbaik buat anak, baik itu materi, atau nonmateri."
"Cita-citaku pribadi rasanya udah cukup. Dulu memang Aku ambisius, tapi ... semakin kesini, ambisi itu gak semenyala dulu," lanjutnya. Sesi malam deep talk bersama Darren selalu jadi favoritnya. Benar kata Darren, Elvara juga tidak memiliki pagi dan siangnya. Pagi dan siangnya adalah milik Kaylee dan pekerjaannya.
"Aku paham. Itu bagian dari pendewasaan diri, Ma. Artinya semakin kesini Kamu semakin merasa bersyukur, dan paham kalau dunia itu cuma perhiasan, boleh Kamu pakai atau tidak, boleh Kamu beli atau tidak. Bukan lagi sebagai yang harus dibeli dan dipakai," komentar Darren yang diangguki pelan oleh Elvara.
"Dulu Aku membayangkan hidupku itu ... akan berakhir seperti fiksi. Serba ada, serba keinginannya tercapai. Nyatanya gak seperti itu, Aku hanya dituntut untuk mensyukuri apa yang Aku punya sekarang. Kamu, Kaylee."
Darren menghembuskan nafasnya panjang, wajahnya Ia taruh di ceruk hangat leher Elvara, "Kamu semakin dewasa. Jauh berbeda dari dulu pas pertama Kita ketemu. Makasih karena Kamu selalu belajar," ujarnya.
Elvara ganti membaringkan dirinya di paha Darren. Tanpa sebab mereka tertawa setelah bertatapan cukup lama. "Kamu selama di Amerika kangen gak sama Aku Pa?" tanya El.
"Ya menurut Kamu aja. Sehari gak sama Kamu aja Aku ngerasa ada yang ilang banget. Apalagi sebulan kemaren," jawab Darren. "Mana jauh, zona waktu beda," lanjutnya.
"Nah kan. Makanya Aku bilang juga apa dari dulu? Kamu itu kerjanya di Indonesia aja, di kantor pusat. Delegasikan lah start-up start-up lain di negara lain. Hire profesional, jangan Kamu semua," saran El. Benar, kesekian kalinya memang saran itu diberikannya cuma-cuma pada Darren. Namun Darren selalu beralasan sama, bahwa dirinya tak bisa mudah percaya dengan orang lain atau tidak mengontrol langsung.
"Hmm. Aku akan mulai pertimbangkan. Aku masih ... mau melihat apakah mereka udah bisa mandiri atau belum. Kalau sudah, baru Aku lepas dan stay di Indonesia. Aku juga udah gak mau sebenarnya terlalu sibuk, sampe ninggalin Kamu dan Kaylee."
"Iyaa. Mbak Hanny tuh Kakak Kamu ngomel mulu setiap Aku ke Bandung dan gak sama Kamu tau," adunya. Kakak iparnya itu memang paling peduli dibanding anggota keluarga Darren yang lain soal kehadiran Darren disisinya.
Darren terkekeh geli, "Iya deh. Aku usahakan. Apa lagi yang Kamu mau Aku lakukan? Selain urusan pekerjaan?"
Elvara tampak berpikir, "Apa ya?"
"Apa?"
"Apa dong?"
"Ya apaa?"
"Ah! I know!" Elvara berbinar matanya, membuat Darren menaikkan sebelah alisnya, "What's that?"
Elvara tak menjawab, Ia tersenyum, kemudian bangkit duduk. Elvara melingkarkan tangannya ke leher Darren, mencium suaminya itu penuh perasaan. Darren tersenyum, meraih tengkuk Elvara, membalas ciuman itu. Oh, jadi ini? Yang Elvara katakan kemarin; 'I want the Nature and I to kiss you'.