Kacang panggang tanpa kulit dalam mangkuk di tangan kiri, tangan kanan asik memasukkannya ke dalam mulut. Televisi di depan menyiarkan acara debat politik antara dua kementerian yang sedang diterpa isu persinggungan kebijakan publik belakangan ini. Iqbaal menyilangkan kakinya diatas sofa, begitu terlarut dalam setiap kalimat yang diucapkan kedua kubu kementrian di televisi setebal lima milimeter berukuran lima puluh dua inchi.
'Sejak berapa puluh tahun negara Kita ini cuma berwacana mengganti bahan bakar fosil seperti batu bara dengan energi ramah lingkungan? Berapa banyak penelitian tentang potensi potensi potensi dan potensi sumber daya hidro, surya, dan angin yang dilakukan oleh universitas tapi tidak membuahkan hasil apapun!'
'Kata siapa tidak ...'
'Sebentar! Sebentar Pak Andar! ...'
Iqbaal menggelengkan kepalanya sembari terus asik memakan kacang, "Debatnya kurang etika banget," komentarnya. Bagaimana tidak? Dua politisi itu lebih mirip adu mulut ketimbang mencari solusi atas suatu masalah.
"Udah 2042, kenapa sih politisi begitu terus Bang? Apa Kita ini memang terjebak dalam sistem?" Manty tiba-tiba datang, langsung duduk di sofa sebelah Iqbaal dan mencomot kacang.
"Makanya itu Man, Gue bingung. Para aktivis yang dulu vokal pun berubah kalau udah mengenal politik yang lebih jauh dengan segala privilege yang dia dapet disana dan menaruh idealisme di belakang. Gak semua sih ... cuma ya Lo lihat aja," jawab Iqbaal dengan ekspresi dan nada bicara setengah kesal.
Manty mengangguk, "That's what I said. Sebenarnya bisa gak sih itu diubah? Kapan gitu negara ini lurus. Maksud Gue ... setidaknya ada yang benar-benar melakukan apa yang benar dan menghindari yang salah."
Iqbaal mengangguk, "Contohlah kebijakan publik ini ..."
"Wacana kesekian kali soal penggantian energi batu bara. Dari dulu kan wacananya? Lo buka Central of Indonesia Policy Studies, itu jurnal-jurnalnya pada lawas banget udah ngebahas namanya eksternalitas, potensi pencemaran lingkungan dan dampaknya baik jangkan panjang, pendek atau menengah ..."
"Kalau dilihat dari anggaran Kementrian ESDM misalkan, prioritasnya bukan itu, meskipun para analis bilang itu sangat bisa even di skala yang langsung besar, di pulau Jawa misalkan. Heran juga sih Gue," lanjutnya.
Manty kembali mengangguk, "Bener Bang. Jadi ... like you know ... racism in America for example, itu kan jatuhnya rasisme struktural, where people actually know racism is not good, but the government and business stakeholder is prioritizing the status quo."
"Sama aja menurut Gue dengan isi perpolitikan Indonesia. Memang setiap sekian tahun diregenerasi, tapi gak total kan? Pengaruh status quo tetap ada, misalkan dari yang lebih senior dan mindsetnya berbeda dari yang muda. Yang muda dengan idealisme jadi sulit bergerak, dan mau tak mau mengikuti arus untuk bisa survive," sambung Manty.
Iqbaal memetik jarinya ke udara, "Singkat kata, itu yang Kita sebut lingkaran setan, Man."
"Tepat."
"Tau gak Man? Selama ini Gue didoktrin sama orangtua Gue bahwa tahun dimana Gue masuk ke usia produktif like now, dunia itu akan sudah banyak berubah. Nyatanya? Enggak juga."
"Memang Bang. Mungkin lebih benar kalau redaksinya adalah Kita para bonus demograf harus memperbaiki, menciptakan perubahan. Ya Gusti, Gue sampe bosen dengernya. Retorika banget istilah Generasi Emas 2045 itu."
Iqbaal tergelak, "Parah Lo, itu kan slogannya Ayah sama Bunda yang selalu diucapkan; Generasi Emas 2045."
"Ya abis gimana Bang?" Manty dramatis.
"Kenapa emang?" Iqbaal siap mendengarkan sudut pandang lain dari Manty soal slogan superoptimis pemerintah itu. Oh, tidak hanya pemerintah saja sebenarnya yang superoptimis, Iqbaal sendiri sangat tergerak akan slogan tersebut.
Manty menghela nafasnya berat, "Gini Bang. Untuk menjadi emas, Kita perlu ditempa, diperlakukan istimewa. Karena emas itu judulnya adalah logam mulia. Sekarang Gue tanya, emang Kita ini udah dapat semua perlakuan, privilege agar Kita menjadi that so called emas?"
Iqbaal belum menanggapi, masih berpikir.
"Gue rasa belum. Mungkin ada yang punya, tapi lebih banyak yang gak punya. Diperparah lagi dengan kebijakan publik yang gak tepat guna, gak spesifik mengurus Kita para bonus demograf. Iya gak?"
"Itu juga struktural," finalnya.
Iqbaal lantas mengangguk-ngangguk, "Bener sih Man. Kita itu ... katakanlah mewarisi sesuatu yang buruk di awal, dan warisan itu digunakan untuk menghidupkan roda generasi selanjutnya. Jadi mengakar, like that was your ... core of mindset," ujarnya.
"Yeah, but I refuse to believe."
Iqbaal kembali tergelak, "Susah ya lari dari kenyataan. Tapi sebenarnya Man, gak cuma negara Kita aja yang kesannya masih sangat stuck di circle yang sama."
"I guess."
"Orang-orang di tahun 2020 mungkin membayangkan 2042 itu akan semegah science fiction. Tapi ternyata ... root systemnya masih perlu banyak disrupsi. Apa menurut Lo ... itu bisa dibilang mereka hanya bermimpi?" Iqbaal membuka subtopik selanjutnya.
Manty mengangguk yakin, "Gue rasa begitu Bang. They are too much assuming that futuristic stuff is about AI dan technology. Indeed, we need the philosophy to disrupt it first."
"Nah, ini, jagonya Lo nih Man. Filosofi."
"Gak juga sih. Gue cuma suka aja, gak sampai terlalu mendalami seluruhnya," kilah Manty. Pria berdarah Jawa tulen itu padahal memang sudah terlihat seperti filsafat.
"Tapi Gue selalu berpikir, kalau seorang filsafat, despite what kind of philosophy that they hold. Itu memang harus berperan dalam pendidikan, dan pembangunan pemikiran. Mereka itu di posisi puncak, sebagai seseorang yang dianggap paling bijaksana," pendapat Iqbaal.
"Bener Bang. Tapi gini, filsafat itu kayak ... apa ya? Seharusnya dia gak bisa gitu terpengaruh dengan kepentingan politik dan bisnis, atau appaun yang mengubah dirinya menjadi subjektif. Kalau Gue pribadi memandang filsafat itu logis, sekaligus heartful juga dalam berpikir."
"Balance gitu ya?"
"Yes, and that was really hard."
"But what if you work as filsafat di industri tertentu misalkan?"
"Of course pekerjaan Kita itu berpikir."
"Tapi pikiran Lo diarahkan ke hal-hal strategis, sometimes it's to trick people. Like marketing, sales, or business development? Which is artinya ... memang ada tujuan untuk memakmurkan perusahaan mostly kan?"
"Iya sih. Makanya, Gue gak melihat filsafat itu sebagai profesi yang diperjualbelikan jasanya. Itu kebutuhan manusia untuk paham Bang."
"Setuju kalau itu. Di era yang begini, etika itu perlu, bijaksana apalagi. Itu peran filosofi kan?"
"Bener. Nah balik lagi tadi ke dunia politik negeri ini Bang. Seharusnya kedepannya kalau Kita mau maju, Kita harus baik dulu dair pribadi Kita sendiri. Salah satunya dengan punya filosofi, dan menerapkannya."
Iqbaal mengangguk-ngangguk, "Iya. Dan sebenarnya ... orang Indonesia itu punya filosofi yang pada dasarnya cukup kuat dan mengikat Man. Filosofi agama."
"That's it! Tapi banyak manusia beragama jauh dari core principle beragama itu sendiri."
"Ya, kalau di Islam, itu udah kayak ... nature nya kayak begitu. Karena manusia punya hawa nafsu, dan di dunia ini, turut ada setan."
"Aduh panjang ini, ngobrolnya harus sama Saheera ini Bang."
Uqbaal tertawa kemudian, "Iya ya. Yaudah, apa mau manggil Saheera kesini sekarang?"