Noer turun dari kamarnya membawa kopi instan sachet dan sebungkus camilan porsi besar. Katanya itu snack khas Makassar buatan ibunya yang dikirim kemarin. Maka Ia berniat sedikit berbagi pada teman temannya yang tengah tenteram belajar malam pasca shalat Isya si lantai satu. Namun kerumunan di sofa sofa ruang tengah itu paling menarik perhatiannya.
Tampak Iqbaal, Saheera, Leon, Wibi, bahkan Lim ada disana.
"Lagi ngapain sih? Asik amat? Nih makanan," ujar Noer kemudian ke pantry untuk membuat kopi usai meletakkan makanannya.
"Enak banget kalo asrama pumya gudang pangan macem Noer. Thanks Noer!!" teriak Leon, cempreng suaranya itu memekakkan telinga siapapun yang mendengar.
"Menurut Gue tiga ekskul kebanyakan, apalagi yang satu tingkat Nasional," ujar Dhaiva berpendapat. Sebelumnya Saheera bercerita soal rekomendasi dirinya untuk menjadi Sekretaris Rohis Korwil Jabar.
"Kesibukan di LC sama Olimp gimana emang Ra? Masih sibuk banget? Biasanya pada re-or kalau kenaikan kelas gini. Terus undangan yang ke Nasional itu tuh biasanya ditujukan buat senior level gitu. Makanya wajar aja Kamu ditunjuk." Iqbaal memberikan komentar akhirnya, setelah lama ditunggu Saheera dan malah disahuti yang lain.
"Kalau di LC hampir udah selesai sih Bang, kalau Olim ... gak tau ya, biasanya tuh ada lomba lomba yang diadakan sama lembaga privat, bukan dari Nasional langsung."
"Hmm gitu ..." Iqbaal ikut ikutan berpikir sembari tangannya mencomot makanan.
"Tapi ini menarik juga, belum apa apa udah ditawai pejabat," ujar Wibi setengah tertawa.
"Makanya pusing Bi. Anehnya masa yang rekom gaada pilihan lain." Saheera akhirnya ikut makan seperti yang lain.
"Secara kompetensi Kamu merasa mampu gak?" tanya Iqbaal.
"Mampu Bang."
"Waktu ada gak?"
"Ada, tapi gak bisa mastikan selalu available."
"Izin? Udah ada?" lanjut Iqbaal, paham kalau Saheera ini sangat ketat soal yang satu itu. Hm, bukan Saheera sih, tepatnya sang Ayah.
"Weei Pak Pres dari mana nih?" Noer mengalihkan fokus satu ruangan pada Nalesha yang baru saja masuk lewat pintu depan, menenteng sepatu outdoor yang baru di laundry.
"Abis dari depan. Ada apa nih rame?" tanya Nalesha, mengambil tempat duduk disamping kanan Saheera dengan jarak, "Surat apa ini? Kenapa Kamu kayak disidang Bang Iqbaal gini?"
"Lagi nanya aja sama Bang Iqbaal tadi, terus pada dateng," jelasnya.
Nalesha mengangguk-ngangguk, seraya membaca surat rekomendasi itu, "Kamu lagi bingung? Mau ikut atau enggak?"
"Iya. Gitu, Bang Iqbaal kan pengalaman."
Nalesha melirik Iqbaal sekilas, temannya itu tengah asik makan malah, pun yang lain. Ia lantas bersandar pada sofa, "Ikut aja, saran Saya begitu."
"Kenapa? Kalo gak komitmen gimana?"
"Maka harus komitmen. Memang sesibuk apa sih Kamu? Saya perhatiin belajar aja kerjanya," ujar Nalesha.
"Bener juga sih, tapi tetep aja ..."
"Jangan takut Ra. Apa sih yang ditakutin? Kesempatan gak akan dateng dua kali loh," potong Nalesha yang turut diangguki para penyimak lain, termasuk Iqbaal yang akhirnya mendukung dorongan Nalesha.
"Takut gak diizinin Lesh, kan sering mobile kata Bang Iqbaal."
"Mobile nya kemana?"
"Nasional, seluruh Indonesia mungkin, meskipun Aku stay nya di Jabar."
Nalesha mengangguk paham, "Yaudah ikut aja, konfirmasi besok sama PIC nya. Masalah mobile nanti dulu, jalani aja. Kalau masalahnya di perizinan orang tua lagi ... biar aja Ayah Kamu lihat aktivitas Kamu berjalan, siapa tau lebih memaklumi dan diizinkan," sarannya panjang lebar.
"Izin gak bisa disepelekan sih Lesh," bantah Iqbaal sedikit.
Nalesha tersenyum simpul, melirik Saheera yang turut meliriknya, "Takut kayak waktu itu ya? Siapa tuh yang sama Saya di meja? Dhaiva?"
"Hah? Iya iya, Saheera nangis terus Lo kasih es krim seember," ujarnya setengah tertawa.
"Ish ..." sebal Saheera, Nalesha malah tertawa membully, "Yaudah, Saheera, dengerin Saya ya ... Kamu harus berani. Kadang gak selamanya Kita harus in-line sama keluarga ..."
"Lesh, provokatif Lo, Saheera gak rebel kayak Lo." Noer kali ini, membuat Saheera mengerutkan dahi, "Nalesha rebel? Kamu ada masalah sama keluarga Lesh?" tanyanya terdengar khawatir.
Nalesha menghela nafasnya berat, "Enggak kok. Ya intinya gitu deh, menurut Saya, turuti apa kata hati Kamu, kalau soal kemampuan Saya yakin Kamu pasti bisa."
"Hmmmmm ... ekhm ...." deham semua orang usai mendengar kalimat perhatian Nalesha untuk Saheera itu.
"Loh?" Nalesha mengangkat kedua bahunya, "Ada yang salah?"
"Enggak sih, cuma ya ..." ujar Iqbaal tertahan. Matanya misterius melirik Nalesha dan Saheera bergantian, "Gapapa kok, boleh juga diikutin sarannya Nalesha, Ra. Coba sesekali ini independen tanpa wajib lapor sama keluarga. Kita pasti belain Kamu kok kalau misalkan dipertanyakan. Ya gak?"
"Iya tuh. Kita kan mau maju se asrama ini, bareng bareng, gak boleh ada hambatan," ujar Leon bersemangat.
"Setuju setuju!"
"Kok Kita kayak komplotan rebel gitu ya? Ngeri Gue?" ujar Lim.
"Ajaran siapa coba ini?"
"Siapa?"
"Bunda sama Ayah."
"Lah kok?"
"Kan katanya 'do whatever you want, as long as it's not disturb others, and valuable for you' asek gak sih? Duh itu deh yang paling Gue pegang kalo lagi galau kayak Saheera gini," cerita Dhaiva penuh semangat, disahuti gelak tawa dan dukungan dari yang lain.
"Tuh, jangan takut. Go ahead, calon pejabat Rohisnas." Nalesha sekali lagi menyemangati Saheera.
"Saheera rangkap tiga jabatan dong? Wapres SP, Head of Religion and Ethical, sama Sekretaris Rohisnas! Gila sih, keren keren, teach me, Suhu!" Leon bergaya khas Shaolin China meminta ajaran biksu, membuat Saheera tertawa saja.
"Eh? Guys! Ada Nalesha gak disitu?" Jerry tiba tiba berteriak dari lantai tiga. Entah sedang apa anak itu disana malam malam.
"Ada! Kenapa?" sahut Iqbaal, Nalesha hanya asik makan.
"Bilangin yak, ada salam nih dari cewe cakep! Ihiyy!"
"Hah!" Sahut orang orang di lantai satu itu kompak kecuali si empunya nama.
"Siapa Jer?" Leon paling kepo.
Nalesha sudah mengerutkan dahinya, ikut sedikit penasaran.
"Ciye siapa tuh?" Saheera disampingnya ikut meledek.
"Namanya Dania Wendriasti, Gitapati SMANSA! Gila ya Lesh, selera Lo emang dah!" heboh Jerry, orang orang sudah bersorak meroasting.
Nalesha hanya bisa geleng geleng kepala, bersikap bodo amat, kembali pada ponselnya. Kurang kerjaan sekali titip titip salam, memang ini zaman batu? Batinnya kesal. Nalesha itu paling tidak suka diusik urusan pribadi, termasuk soal seperti ini.
"Kok Lo bisa kenal Gitapati sih Jer? Lo kan kerjanya di lab doang? Nerd?"
"Hahaha!"
"Sembarangan Lo Lim, gini gini Gue hitz Bogor!"
"Huuuuuuuu!"
"Lesh! Salam balik gak Lesh?"
"Gak usah!"
"Ooooowww tsundere tsundere ..."
"Cakep loh Lesh, masa gak mau? Ntar diembat Jerry enek juga Lo."
"Bukan Nalesha yang enek, tapi Dania ..."
"Hahaha!"
"Lim mulutnya emang gak punya rem!"
Terus seperti itu acara sangrai menyangrai Nalesha, membuat si target sangraian bad mood. Sayang sekali teman temannya tak sadar kalau Nalesha tak nyaman, dan malah menganggap diamnya sebagai cara menghandle salah tingkah.
Oh tapi tidak semua, masih ada Saheera yang memilih diam saja sembari curi-curi lirik padanya disela membaca materi belajar di iPad.
Gadis itu heran dan penasaran saja, bagaimana sebetulnya pandangan Nalesha terhadap ... hubungan dengan lawan jenis? Apakah Ia tidak tertarik meskipun sosok Dania itu katanya Gitapati Marching Band yang pastinya sangat populer dan menjadi incaran kaum adam sekolah?