Chereads / School of Persona / Chapter 29 - Kuliah Filosofi Siang

Chapter 29 - Kuliah Filosofi Siang

Haikal tengah berada di SP siang ini, kebetulan saja mampir karena kebetulan sedang ada pekerjaan di Bogor. Tentu saja SP menjadi tujuan singgah keduanya setelah rumah mertua di Baranangsiang, Bogor Kota. Rasanya lumayan untuk sekedar mengisi perut dan memeriksa kondisi anak-anak dan yayasan binaan.

Makan siang kali ini cukup sepi, karena lebih dari setengah penghuni asrama masih di sekolah, kemungkinan pulang paling cepat jam empat sore nanti. Haikal memutuskan untuk bergabung dengan Manty, Leon, dan Iqbaal yang kebetulan belum masuk sekolah. Ketiganya asik dengan siaran berita di kanal televisi internasional ruang tengah. Isu-isu serius politik dan global seolah menyatu dengan gurihnya ayam bakar, lalapan, dan sambal tomat goreng buatan Bi Kani.

"The war without a clear end on the Korean peninsula is predicted to truly meet its end after North Korea completely cancels plans to build a nuclear station in Pyongyang ..."

"The two countries even agreed to establish various strategic cooperations in the economic, political, and cultural fields ..."

"The two countries have also signed a peace treaty even though there is no unification discourse ..."

Berita membahagiakan sekaligus cukup mengejutkan yang belakangan tengah hangat menjadi buah bibir media sosial itu kembali mereka dengar.

"Interesting. Kalian tau sejarah perang Korea?" tanya Haikal membuka diskusi random usai makanannya habis. Tiga anak binaannya itu mengangguk, "Tau Yah."

"Let me ask, gimana menurut kalian? Apakah perdamaian mereka diatas nota kesepakatan itu akan benar-benar 'damai' seperti yang diharapkan? What is your hypothesis?" lanjutnya mengajak kritis. Memang seperti itu gaya Haikal, mengasah rasa penasaran dan berpikir analitis lewat acara-acara santai

Iqbaal, Leon, dan Manty tampak berpikir, "Menurut Aku, perjanjian di atas kertas bisa broken up kapan aja Yah. Legalitas kedua negara kan sama-sama independen, pun setara. Mahkamah Internasional maybe ikut campur, tapi mungkin akan lebih mempengaruhi hubungan multilateral dengan negara lain yang justru gak berkonflik dengan mereka. Tetap, keputusan akhir ada di kedua negara yang bersangkutan," ujar Leon.

Haikal mengangguk-ngangguk, "Kalau menurutmu gimana Man?" lanjut Haikal pada Manty kini.

"Hmm ... both of ... terlaksana atau gak terlaksana tetap punya peluang masing-masing sih Yah. Kadang menurutku sebuah negara itu tanpa terencana terpolarisasi ke salah satu kubu kepentingan, Misalkan untuk perdagangan, kalau misalkan salah satu dari mereka bermitra kuat dengan rival dari salah satunya, bisa aja nanti ada clash lagi? Atau in positive ways, mereka justru akan membangun circle yang sangat kuat, bersinergi dengan baik," jelasnya panjang lebar.

"Kalau Kamu Bal?"

"Kurang lebih sama kayak Manty Yah, both of probability is still possible. Bagaimanapun juga negara itu pragmatis. Se-setia kawannya dua negara, tetap negara masing-masing yang jadi prioritas, kepentingannya yang lebih mendesak itu menentukan arah politik juga."

"Mungkin kasarnya ini gak bisa terprediksi, and the broken up of them is another black swan," sambung Leon.

Haikal meneguk air mineralnya sejenak, "Nice thought. Again, sebetulnya apa yang terjadi di lingkungan politik internasional ini sangat volatil, gak ketebak. Organisasi yang menaungi seluruh negara di dunia bahkan bisa pragmatis, mendukung kepentingan mayoritas negara-negara yang berperan signifikan membesarkan organisasi tersebut."

"Jadi sebenarnya politik ini ada gak sih Yah, yang purely altruistic untuk kemajuan umat sesungguhnya?" tanya Leon penasaran.

Haikal tampak berpikir, sebagai seseorang yang aktif di organisasi tingkat global, seharusnya Ia dapat dengan jelas dan mudah saja menjawab. Tapi tentu saja Haikal perlu hati-hati, memasang filter ketat atas seluruh argumennya agar tidak tertelan mentah-mentah oleh para anak muda yang selalu menggebu dan mudah terprovokasi.

"Well, I would like to say ... ada. Sangat ada, pun yang tidak, itu juga sangat ada," jawab Haikal kemudian.

Iqbaal tersenyum simpul, "Disappointed but not surprised," ujarnya kemudian menumpuk piring Haikal, Leon, dan Manty, lanjut membawanya ke wastafel.

"Tapi logikanya memang begitu kan Yah? Pasti ada pihak yang more and less diuntungkan dari setiap program yang diusung oleh sebuah organisasi, terlepas dia skalanya global, lokal, atau just small unit?"

"Betul, pasti. Karena gini ya, sebuah program, nyawanya ada dua, pertama dana, kedua sumber daya, baik sumber daya material atau sumber daya manusia ..." jelas Haikal, menegakkan duduknya dengan antusias, "Sebuah program atau project ini akan berjalan dengan baik jika keduanya optimal, tidak kekurangan apapun. Harapannya, output yang sempurna kan?"

Manty dan Leon mengangguk paham, pun Iqbaal yang baru kembali bergabung.

"Outputnya ini tentu saja sebagian kecil atau besar, atau sama besarnya ditujukan untuk para suksesor program. Oh iya dong, Kita kan udah kerja nih, masa gak dapat apa-apa? Logika kasarnya gitu ..."

"I see ..." ujar mereka kompak.

"That's it, bahkan ketika Kita para suksesor sepakat untuk tidak menerima imbalan atas apapun yang Kita berikan dalam project, tanda jasa itu tetap ada, tetap diberikan, yaitu pada organisasi secara umum. Karena yang terpenting itu satu; organisasi harus tetap hidup, untuk tetap menebar manfaat dari visi, misi, dan value mereka," final Haikal berpanjang lebar.

Hm, kuliah filosofi organisasi usai makan siang tengah dilaksanakan.

"Setuju Yah, but I don't understand ya kenapa hal hal logis seperti itu selalu dikaitkan dengan teori konspirasi, misal teori satanis, iluminati gitu-gitu? Padahal ya we can see that, it's logic," ujar Leon ekspresif.

"Tapi gak dipungkiri sih Yon, mereka itu memang ada."

"How do you know, Mbah Manty? We never explicitly seeing them, showed up in the middle of the world," bantah Leon.

"Konspirasi itu bisa dipercaya atau tidak dipercaya, tapi yang jelas, jangan dipercaya atau tidak dipercaya seratur persen," lerai Iqbaal dengan kerumitan susunan katanya, "Like everything in this world is uncertain guys, we only use probability, no exact science to prove them all," lanjutnya.

Haikal tersenyum simpul, "Nice answer, Iqbaal."

"Jadi mikir ya, sebetulnya apa sih yang Kita tau?"

"Cuma satu, end game Kita mati, kembali ke tanah," ujar Haikal, mengundang heran ketiga anak-anaknya itu.

"Are you that religious Yah? I can't believe it!" ujar Leon tak mau percaya.

Haikal hanya terkekeh geli, "Bukan religius, itu fakta, logis. Apa coba yang pasti? Karir? Jodoh? Rezeki? Atau apa? Gak ada Yon ..."

"Yang jelas itu suatu saat Kita pasti mati. Sisanya? Udah digariskan, ditakdirkan, tinggal dicari, diusahakan, dan diterima. Sesederhana itu sebenarnya hidup, cuma Kita emang suka apa ya ... agonizing everything, Kita kaget, gak nyaman dengan yang gak pasti," terang Haikal.

"Ngeri ih si Ayah bawa-bawa mati."

"Apa yang Kamu takutkan dari kematian?" lanjut Haikal membuka topik lain.

"It's dark, Yah. I can't see the light, I can't hold anybody's hand, I'm all alone in unknown dimension. It scares me," jawab Leon ekspresif lagi-lagi. Body language gadis itu mungkin akan lolos tes teatrikal jika Ia ingin.

Haikal menghela nafasnya dalam-dalam, "Kalian mungkin gak akan bisa menerima apa yang Ayah katakan tadi, tapi believe or not, seiring kalian dewasa, mengalami banyak hal, kalian tuh akan sendirinya mengikhlaskan apa yang terjadi sekarang, kemarin, dan yang akan datang."

"Kita akan berpasrah dengan sendirinya, bersandar dengan sepenuhnya pada Yang Maha Menciptakan."

"Yah, apa yang sangat menjadi highlight di hidup Ayah sehingga bisa totally mengikhlaskan tiga masa itu?" tanya Iqbaal.

"Me?" Haikal berpikir sejenak, "Just one thing ..."

"What's that?"

"Menikah dengan Adriana, Bunda Kalian. It's a very long journey, up and down, full of tears and learn, and gladly ... it was a happy ending."