Kesibukan yang hampir satu bulan tak nampak di School of Persona sekitar jam tujuh pagi kini kembali terasa. Satu per satu penghuni keluar dari kamar masing-masing, turun ke meja makan untuk sarapan. Ransel dan eco bag berisi berbagai macam perlengkapan sekolah dan perintilan ekstrakurikuler lain turut dibawa, ditaruh sembarang di berbagai titik; samping meja makan, kursi, sofa ruang tengah, samping kulkas.
Hari ini, hari pertama masuk sekolah usai liburan panjang.
Baiklah, tidak semua dari mereka mulai masuk dan turun menggunakan seragam masing-masing hari ini, tapi korsa mengikat mereka untuk menyemangati satu sama lain. Dari Saheera yang paling rajin bangun pagi sampai Jerry yang selalu bangun terakhir, mereka berkumpul di ruang makan.
"Semangat euy yang mulai trial-trial ujian, semoga berhasil dan diberkahi selalu oleh Tuhan Yang Maha Esa!" seru Leon sembari mengambil sekeping roti bakar dari toaster.
"Yoo semangat semangat!" sahut Nalesha, sudah keren dan rapi dengan seragam khas sekolah negeri dibalut jaket jeans. Biasalah, tipikal remaja pria incaran para gadis, selaly stylish dimanapun kapanpun.
"Sudahi liburan ini, mari belajar SAT dan GMAT bersamaku," timpal Andaru yang paling terobsesi dengan Sekolah Bisnis usai lulus dari SMA.
"I'm a GRE people, Ru."
"Hadeh, TPA Bapennas people bisa apa. Susah banget target Lo pada," keluh Noer yang merendahkan hati atas pilihan kuliahnya yang tak seambisius yang lain, alias lebih memilih yang lokal dulu sebelum yang internasional.
"Eh denger-denger nih, Universitas dan Institut di Indonesia pun udah mau pakai GMAT atau GRE gak sih? Atau minimalnya lebih ke apptitude test sama simulasi teknis gitu?" ujar Lim, berbagi sekaligus bertanya akan informasi angin yang didengarnya dari media sosial.
"Bener tuh," sahut Nalesha menimbrung, mengalihkan banyak atensi padanya karena berita itu bisa jadi bagus, bisa jadi sebaliknya, "Ayah pernah cerita, dimana sekarang standar Kemenristek untuk SDM pendidikan tinggi semakin ditingkatkan, termasuk ke mahasiswanya. Ya wajar aja sih, gak mungkin kan gak ada perubahan ..."
"Iya sih Lesh, tapi ditingkatkan standarnya, ditingkatkan juga gak tuh kualitas pengajaran di level pendidikan dibawahnya? Kalau gak sinkron kesannya malah cuma naikin passing grade aja lah gitu istilahnya," tanggap Iqbaal memberikan sudut pandang lain.
"Bener juga sih, misal standar masuk universitas buat strata satu jurusan bisnis harus pakai GMAT, score sekian ratus, emang selama di SMA Kita diajarin at least basic penalarannya? Perasaan enggak deh, apalagi yang nonlinear misal dari jurusan sains. Kan agak beda ya?" Dhaiva ikut berkomentar, "Gue aja nih mau masuk sekolah musik, standarnya tinggi banget meskipun ... Gue sekolah di sekolah seni dan ambil jurusan musik klasik yang notabene kategori high gitu loh," sambungnya.
"Kamu jadi mau masuk sekolah musik Va? Keren dong," komentar Saheera.
"Hehe, doain aja deh Ra. Menuruti passion nih."
"Ngomongin soal standar penjurusan, kalian lebih setuju kalau kampus punya semacam tahap ... training gitu untuk seleksi alam atau pemerataan kompetensi atau langsung masuk?" tanya Jerry kemudian, topik yang mulai menarik menurutnya.
"Langsung masuk sih Jer, biasanya training itu gak cuma satu semester, tapi dua. Kayak boros waktu aja menurut Gue setahun belajar dasar, bahkan mungkin mengulang apa yang udah dipelajari di SMA." Manty mengeluarkan opininya.
"Tapi gimana Man dari yang daerah 3T misalkan? Terbelakang? Kan kasian kalau gak dapat kesempatan yang sama kayak Kita yang punya privilege karena tinggal di kota, mudah akses ke pelatihan dan peningkatan kompetensi? Saya rasa ada perlunya sih." Nalesha sedikit membantah.
Saheera yang sejak tadi menyimak akhirnya berpendapat juga di forum dadakan pagi hari itu, "Ada benernya juga sih, baik kata Nalesha atau Manty. Kalau menurut Aku ya, ini tuh lebih ke gimana pembuat sistem dan kebijakan perhatian dan inklusif sama yang tertinggal ..."
"Terus gak cuma yang tertinggal aja yang perlu diperhatikan dalam penyetaraan kompetensi, perlu ada semacam ... apa ya? Clustering gitu, biar dalam satu kelompok studi, misalkan ya, itu gak ada yang underrated dan overrated," lanjutnya yang diacungi jempol oleh Jerry, "Mantap, always the balanced opinion from you, Saheera-chan," ujarnya sok imut.
"Nah, wibunya keluar dah Lu."
"Hahaha!"
Semua orang kini menertawai Jerry yang dikatai wibu oleh Lim. Astaga, dasar anak-anak random.
"Eh, ngomongin wibu, Wibi sebagai Ketua Divisi Penghiburan mau bikin acara apa Wib? Saya yakin Kita udah pada stress weekend ini meski baru sekolah seminggu," sambung Nalesha yang juga mengundang tawa.
Benar sih, pasti sudah stress dan butuh hiburan di minggu awal sekolah. Jangan pikir bahwa minggu pertama sekolah hanya persetujuan kontrak kurikulum selama satu semester. Salah besar, mereka anak-anak milenium itu sudah dimintai essay dan presentasi ini itu, mulai dari sesederhana menceritakan value dan aktivitas produktif yang dilakukan selama liburan panjang, hingga plan mereka selama satu semester kedepan.
Ya, pembuat kurikulum sudah menginkorporasi aspek-aspek project management secara halus pada mereka yang masih SMA. Patut diapreasi.
"Ngapain ya guys enaknya? Gue lebih mau mendengar keinginan kalian aja sih, baru rencana yang udah Gue buat," tanya Wibi demokratis.
"Berenang tengah malam aja Bi," saran Lim mengada-ngada, Bi Kani di pantry bahkan tertawa.
"Owalah ngawur! Mlebu angin!"
"Oh, Gue ada ide, lomba cari harta karun di labirin aja yuk!"
"Astaga, dimana lagi dah Lo dapet labirin di Bogor? Kebun Raya?"
"Nah bagus tuh! Judulnya 'Lost in Kebun Raya Bogor' omg so cool!"
"Ada yang bisa bener gak sih ngasih sarannya?" Wibi frutasi.
"Saran Gue, menangkap ikan di empang jembatan Cisadane!"
"Setress Lo pada. Udahlah Bi, nonton aja nonton, yang lawak biar pada ketawa, sekalian ngetawain hidup ..."
Nalesha yang bertanya jadi menyesal, hanya bisa menggelengkan kepala atas kerandoman teman-temannya itu, "Ngewibu aja bareng Jerry gimana? Atau ngedrakor sama si Dhaiva, pasti stok filmnya banyak."
"Bosen Lesh."
"Hadeh, yaudah deh Saya serahkan pada Maria Wibisono saja ya," final Nalesha, biar saja pembuat programnya yang menangani, yakin juga Wibi tidak akan aneh-aneh.
Diskusi itu berlanjut, meski tidak sengawur tadi, hingga akhirnya mereka harus berangkat karena sudah waktunya. Perlahan asrama mulai sepi, hanya menyisakan Jerry, Lim, dan para pelajar sekolah internasional lain.
"Jaga rumah Prof, takut ada yang gotong," ujar Saheera iseng pada Jerry yang menungguinya memakai sepatu di depan pintu.
"Biarin aja ini ada yang gotong, paling Kamu yang ditanyain, kan top leader disini."
"Apa nih apa gotong gotong?" Nalesha muncul dari dalam, sepertinya ada yang ketinggalan tadi.
"Kagak. Sana Lo berangkat," usir Jerry.
"Emang mau berangkat Pak."
"Naik apa Lesh? Bus? LRT?" tanya Saheera.
"Jalan aja deket."
"Hah? Jauh perasaan SMA 1?"
"Deket kok, udah biasa. Udah sana berangkat, nanti ketinggalan bus. Atau mau bareng?"
"Yeuuu! Modus maneh Lesh ... Lesh!" seru Jerry.