Saat ini Aisyah masih menangis sesenggukan karena merasa sedih akan ditinggal oleh keluarganya. Di Bandara Aisyah merasa ingin sekali ikut naik bersama mereka di pesawat.
"Udah Aisyah, kalau kamu nangis terus nanti ummi malah sedih lho buat melepas kamu," ucap Rengganis dengan suara yang terdengar begitu lembut saat melihat Aisyah memeluk Umminya dengan sangat erat. Tentu saja Ummi Masitoh saat ini merasa sesak karena menahan tangis.
Lalu Aisyah mengurai pelukannya pada Ummi Masitoh. Matanya tampak begitu sembab karena kebanyakan menangis dari tadi. Sedangkan Gus Hanafi saat ini tengah berbincang dengan Abi Rozak sambil menunggu keberangkatan pesawat.
Sesekali Gus Hanafi melirik ke arah Aisyah yang terlihat begitu sedih karena akan ditinggal oleh keluarganya pulang. Dalam hatinya menahan tawa karena yang dia yakini Aisyah itu bukan lagi anak remaja ataupun anak sekolahan tetapi masih menangis seperti anak kecil.
"Gus, nanti kalau Aisyah menyebalkan jangan dimarah ya, beri dia nasehat saja agar dia betah tinggal di pesantren," ucap Abi Rozak pada Gus Hanafi.
Gus Hanafi langsung tersenyum mendengar ucapan Abi Rozak soal Aisyah.
"Iya paman, saya tidak akan memarahi Aisyah nanti," sahut Gus Hanafi dengan ramah.
"Oh jadi namanya beneran Aisyah," gumam Gus Hanafi dalam hati.
"Karena dia anaknya kurang penurut jika hatinya tidak senang." Lanjut Abi Rozak sambil menoleh ke arah Aisyah yang masih tampak menangis.
Tak berapa lama kemudian pesawat yang akan dinaiki keluarganya akan segera terbang. Aisyah mendadak merasa lemas karena dirinya benar-benar akan menjadi seorang santri saat ini. Kuliah yang dia inginkan sudah tidak bisa dia lanjutkan lagi.
"Aisyah, jaga diri kamu baik-baik. Abi sayang sama kamu, bukan Abi tidak sayang sama kamu hanya karena meninggalkan kamu di kota ini," ucap Abi Rozak yang kini sudah akan menuju ke pesawat keberangkatan.
"Nak, kalau ada apa-apa telpon Ummi ya?" pinta Ummi Masitoh yang kini sedang memeluk Aisyah.
Aisyah hanya mengangguk saja, di belakangnya sudah ada Mbak Rini yang menunggu Aisyah dan juga Gus Hanafi. Matanya tak lepas memandang wajah Aisyah yang terlihat sembab. Entah mengapa dalam diri Aisyah seperti ada magnet yang begitu kuat untuk memandangnya dari tadi.
"Kakak pulang dulu, kalau ada apa-apa telpon kakak juga ya," ucap Rengganis pada adiknya yang masih menangis.
Aisyah tidak menjawab, lalu tiba-tiba jam keberangkatan sudah tiba. Kini keluarganya benar-benar telah naik ke dalam pesawat. Hati Aisyah merasa sedih dan juga sesak saat dirinya akan tinggal di pesantren yang kamarnya tidak seluas kamarnya di rumah.
Kini keluarga Aisyah benar-benar telah menghilang dari pandangannya. Gus Hanafi yang melihat Aisyah masih berdiri di tempat itu kemudian mendekat. Mbak Rini dan kang Aziz hanya melihat dari belakang mereka.
"Mbak Aisyah, ikhlaskan saja keluarga mbak Aisyah pulang. Doakan saja agar mereka selamat sampai tujuan," ucap Gus Hanafi yang berjarak kira-kira 1 meter dengan Aisyah.
Aisyah menoleh mendengar ucapan Gus Hanafi barusan.
"Nama kamu siapa? Kamu nggak ngerti kan rasanya ditinggal keluarga kamu sendirian. Nggak tahu rasanya tinggal di kota lain sendiri tanpa keluarga," celetuk Aisyah dengan nada yang begitu tegas. Mbak Rini dan juga kang Aziz merasa kaget saat mendengar perkataan Aisyah yang menurutnya sangat berani. Karena selama ini tidak ada yang berani menjawab perkataan Gus Hanafi karena merasa segan.
Gus Hanafi tersenyum mendengar ucapan Aisyah barusan. Karena Aisyah sangatlah lucu menurutnya, beda dengan perempuan pada umumnya yang memandangnya malu-malu sambil tersenyum. Sedangkan Aisyah berkata dengan suara yang lantang tanpa menundukkan kepalanya. Di pesantren, jika anak dari pak Kyai pun harus dihormati.
Gus Hanafi tampak menghela napas panjang.
"Saya malah nuntut ilmu di negeri orang mbak Aisyah," ucap Gus Hanafi sambil tersenyum manis. Namun Aisyah masih saja kesal dan juga benci dengan keadaan semua ini.
"Udah jangan pamer, aku nggak nanya kamu nuntut ilmu di manapun. Aku nggak peduli," cetus Aisyah dengan wajah kesal. Lalu dirinya segera membalikkan tubuhnya untuk kembali ke mobil yang dia tumpangi tadi.
Sedangkan Mbak Rini dan kang Aziz hanya menggelengkan kepala tidak percaya dengan tingkah santri baru.
"Gus, dia santri baru?" tanya Kang Aziz dengan tubuh yang sedikit menunduk pertanda menghormati Gus Hanafi.
"Iya, dia santri yang paling unik. Dia itu udah besar tapi masih cengeng," sahut Gus Hanafi dengan wajah yang penuh dengan senyuman.
Sedangkan Kang Aziz hanya tersenyum dan mengangguk mendengar ucapan Gus Hanafi.
Aisyah sedang berjalan cepat, ingin sekali segera masuk ke dalam mobil. Mbak Rini tampak mengikuti langkah kaki Aisyah yang begitu cepat. Namun setelah tiba di dekat mobil, Aisyah langsung berhenti dan berbalik arah.
"Mbak, dimana tadi abang yang bawa kunci mobilnya?" tanya Aisyah pada Mbak Rini.
"Mbak Aisyah, kuncinya dibawa Gus Hanafi. Tolong jangan panggil Abang mbak karena tidak sopan. Dia adalah anaknya Kyai Umar," sahut Mbak Rini dengan nada yang begitu sopan. Menasehati santri baru seperti Aisyah dirinya harus bersabar.
"Abang nggak boleh? Bukannya itu panggilan yang paling sopan. Yang nggak sopan tuh kalau aku panggil dia nama," cetus Aisyah dengan nada yang begitu kesal.
"Harus panggil Gus mbak," jawab Mbak Rini memberitahu. Tak lama kemudian Gus Hanafi dan juga Kang Aziz sudah berada di dekat mereka berdua. Langsung saja Aisyah menyerang perkataan pada Gus Hanafi.
"Kenapa lama sekali sih jalannya?" celetuk Aisyah pada Gus Hanafi. Mbak Rini dan juga Kang Aziz tampak kaget lagi mendengar Aisyah yang begitu berani.
"Kalau jalan cepat bisa mengundang bahaya, makanya saya jalan pelan," sahut Gus Hanafi dengan sabar.
"Kelamaan, cepat buka mobilnya dong. Kelamaan nih dari tadi nunggu," celetuk Aisyah lagi.
Mbak Rini tampak takut pada Gus Hanafi saat Aisyah bersikap demikian. Ia takut jika dianggap tidak mau mengajari Aisyah sebagai santri baru.
Kini mereka berempat sudah berada di dalam mobil. Sekarang giliran Kang Aziz yang menyetir mobil karena permintaan dari Kang Aziz sendiri. Dirinya merasa kurang sopan jika disopiri oleh Gus Hanafi. Begitulah sikap para santri pada umumnya, masih mengagungkan dan menghormati anak dari pak Kyai.
Saat semuanya hening tidak ada yang berbicara. Aisyah bertanya pada Mbak Rini.
"Mbak, nanti beneran di kamar aku nggak ada kasurnya?" tanya Aisyah yang bisa didengar oleh Gus Hanafi dan juga yang lainnya.
"Eh iya Mbak Aisyah," sahut Mbak Rini malu karena didengar oleh Gus Hanafi.
Gus Hanafi yang mendengar pertanyaan Aisyah hanya tersenyum.
"Di pesantren itu tempat kita bisa hidup sederhana, bukan untuk bersenang- senang semata. Jadi tidak ada kasur atau apapun itu," sahut Gus Hanafi dengan nada yang pelan terdengar sabar.
"Diam, aku nggak nanya kamu," cetus Aisyah.