Chereads / Kami adalah Aku : Epiphany / Chapter 21 - Selamat Pagi Rea

Chapter 21 - Selamat Pagi Rea

"Selamat pagi Rea." Jin mengecup mesra pundak telanjang istrinya yang masih berbaring dalam pelukannya.

Rea menggeliat juga, tubuhnya jujur saja masih terasa sangat letih.

"Pagi mas. Jam berapa ini?" Rea berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya dari sinar matahari yang masuk melalui sela-sela tirai jendela.

"Hm, jam delapan. Kamu pasti masih capek ya?" Tanya Jin melihat tubuh istrinya yang justru semakin masuk ke dalam pelukannya.

"Iya mas. Capek, ngantuk. Gara-gara mas ini." Rengek Rea.

"Hehehe. Iya iya mas minta maaf ya. Mas mau ke kamar mandi sebentar. Kamu tidur aja lagi." Jin meninggalkan Rea di ranjang.

Tidak membutuhkan waktu lama istrinya itu sudah kembali terlelap. Jin membersihkan diri dari sisa keringat semalam. Mengganti pakaiannya menjadi celana tidur dan kaos biru polos. Menyeduh segelas kopi di dapur. Memandangi wajah istri yang sedang tidur di depannya sambil meminum kopi yang sudah disiapkannya. Tangannya bergerak membuka ponsel yang dari lama tidak disentuhnya. Walau memang belum bertanggungjawab sepenuhnya, Jin mencoba melihat apa yang sedang terjadi di perusahaan sekarang melalui grup Whatsapp para manager yang sedang bekerja. Aman terkendali dan tidak ada masalah berarti. Pak Estu juga masih aktif disana hingga Jin benar-benar kembali dari bulan madunya di Bali.

Jin memilih untuk kembali tidur di samping sang istri karena dia juga masih sangat letih. Pengalaman pertamanya yang berharga itu, memikirkannya saja membuat Jin berhasrat lagi. Apalagi istrinya masih tidak mengenakan apapun di balik selimut tebal itu. Jin memutuskan untuk mengeratkan selimut yang membungkus istrinya untuk memendam inginnya sendiri.

"Rileks Jin rilek. Kamu masih punya banyak waktu untuk itu." Jin mencoba tidur membelakangi sang istri.

Siang semakin terik dan dingin AC tak mampu lagi menjaga mereka untuk tetap tidur. Siang ini Rea akhirnya bangun, selimutnya entah sudah berada di mana. Panas ini rupanya membuat Rea tak sadar melepaskannya. Terkejut melihat tubuh dirinya sendiri telanjang sedangkan sang suami sudah berpakaian rapi dan tertidur di sampingnya. Rea langsung berlari kecil menuju kamar mandi dan ganti membersihkan diri. Keluar dengan sebuah dress di bawah lutut bewarna abu. Mengeringkan rambutnya sendiri dan memastikan jam berapa sekarang.

"Astaga. Lama banget aku tidurnya." Rea melihat jam sudah menunjukkan pukul 11 siang.

Memastikan suaminya belum sarapan karena tidak ada tanda-tanda sisa makanan di kamar. Hanya sebuah cangkir kopi yang isinya tinggal setengah. Rea melihat menu yang ada di kamar itu dan sempat bertanya dalam hati apa yang harus dia pesan untuk sang suami. "Hah bagaimana ini? Aku bahkan tidak tahu makanan apa yang dia suka." Akhirnya menelpon layanan kamar dan memesan jenis beberapa makanan. Dirinya pun sudah sangat lapar.

Sedikit berdandan, ya kali ini Rea mulai berdandan untuk suaminya sendiri. Ini juga karena saran dari Uri seperti yang dia baca di diari. Paling tidak dia harus mulai untuk merawat dirinya sendiri, walau di lain sisi Uri memang sudah merawat diri. Menyapukan bedak tipis juga lipstick warna nude yang cocok untuk kulitnya. Membuat alis sederhana juga menggunakan riasan mata ala kadarnya. Lalu bel kamar mereka berbunyi.

Tanpa ragu Rea berdiri untuk membukanya. Seorang cleaning service membawa sebuket bunga. Tentu saja membuat Rea sedikit berkerut mengenai untuk siapa bunga ini. Mawar merah yang sangat cantik dan Rea membaca kartu yang ada di sana.

'Seperti duri yang menjaga sang mawar, maka seperti itulah aku yang akan menjaga kamu, Rea.' Tertulis dari pengagum rahasia.

"Astaga, apaan sih." Hampir Rea menutup pintu, ternyata seorang pelayan membawa beberapa nampan makanan dengan kereta dorong tiba di depan pintu kamar mereka.

"Ada apa Re?" Tanya sebuah suara di dalam.

Rea yang tahu bahwa sang suami sudah bangun gelagapan, diambilnya kartu yang ada di sela-sela karangan bunga itu dan dibuangnya sembarangan. Rea membalikkan badan mempersilahkan sang pelayan untuk masuk. Meletakkan karangan bunga yang dia dapat disana. Jin jelas dapat menangkap perubahan sikap Rea yang tak biasa.

"Apa itu?" Tanya Jin.

"Ah ini, makanan?" Jawab Rea ragu.

"Bukan, maksud aku," Jin berdiri dan mengambil secarik kertas tak jauh dari sang istri yang ternyata adalah kartu yang terselip di bunga sebelumnya.

Jin membacanya dan dahinya berkerut. " Siapa yang ngirim ini sampe kesini?"

"A-aku juga gak tau." Jawab Rea singkat.

"Udah sering kamu dapet kaya gini?" Jin mulai bertanya.

"Hm, beberapa kali sih sejak dua bulan sebelum kita nikah. Dulu dikirim ke rumah. Sama mama selalu diterima karena dipikir ya memang ada laki-laki yang suka sama aku dan mama mengapreasiasi itu awalnya, tapi karena pengirim bunga ini gak pernah nunjukin dirinya akhirnya dibuang juga sama mama. Waktu kita nikah pun dia juga kirim karangan bunga yang lebih besar." Rea cerita.

"Terus kenapa kamu gak pernah cerita?" Tanya Jin.

"Iya kan kita emang belum punya banyak kesempatan untuk ngobrol satu sama lain. Dan aku pikir juga ini akan berhenti waktu aku nikah sama kamu tapi ternyata egak." Rea menjelaskan.

"Ini sudah keterlaluan loh Rea. Dia kirim bunga itu kesini. Dimana ini tempat bulan madu kita. Itu berarti dia selalu ngawasin kamu dimanapun dan kapanpun." Jin mulai khawatir.

"Y-ya aku juga gak nyangka sama sekali bunga ini sampe kesini. Aku juga kaget makanya refeks aku buang itu kartunya. Ma-maaf." Rea minta maaf.

Jin melangkah menyambar bunga yang ada di atas meja dan membuanganya bersamaan dengan kartu yang dia terima.

"Logikanya, dia tahu rumah kamu dan pernikahan juga bahkan bulan madu. Berarti dia orang yang dekat dengan kamu atau keluarga kamu. Secara kamu kan gak banyak aktifitas atau teman di luar rumah." Jin berasumsi.

Tentu saja hal seperti itu tidak pernah terpikirkan oleh Rea sebelumnya. Tapi seuruh pembicaraan ini membuatnya tidak nyaman.

"Boleh gak kalo kita makan dulu? Aku udah laper banget dan aku juga gak mau ngurusin begituan." Rea nampak sedikit resah.

Jin menyadari ini tanggungjawabnya dan memang sudah seharusnya dia yang mencari tahu siapa pengirim bunga yang sudah membuat istrinya tak tenang.

"Ya udah. Maafin aku. Ayo kita makan dulu. Habis itu kita jalan-jalan ya." Jin membelai rambut sang istri menenangkannya.

Walau matanya seolah sedang memandang hangat sang istri dan mulutnya sibuk mengunyah, tapi pikiran Jin berkelana memikirkan kemungkinan pengirim bunga itu. Dia harus memiliki seseorang yang bisa membantunya mencari tahu siapa dalang dibalik semuanya. Dia harus menghubungi Suga agar bisa mempertemukannya dengan Juki. Salah seorang sahabat mereka dulu yang memang mantan kepala preman di pinggiran Kota Jakarta tapi sekarang sudah tobat dan fokus pada usaha jual beli kain di pasar. Luar biasa memang bagaimana jalan takdir merubah manusia.