Keesokan paginya, Rea terbangun. Sudah melupakan semua yang dia alami kemarin. Kepergiannya ke tempat tato dan membuat tiga buah tato untuk tiga pelanggan sebagai Gia. Atau aksinya menjatuhkan sepeda motor dan membiarkannya tergeletak di depan pagar rumah sebagai Uri. Segera membuka laptopnya untuk membaca diari kepribadian lainnya. Tersenyum sendiri melihat kesalnya Uri di sana. Tentu saja dia sudah tahu mengenai tato harimau itu dan sudah mengancam Gia agar tidak membuat tato lain lagi. Tidak terlalu terkejut toh itu bukan pertama kalinya karena Gia sudah membuat beberapa tato sebelumnya. Gambar gadis mengenakan topeng yang ada di dada kanannya. Juga nama orang tua Rea di lengan kirinya, Wulanestu. Rea hanya bisa geleng-geleng kepala saja. Mereka yang tidak tahu mungkin mengira dirinya adalah preman pasar.
"Ah. Hampir aja lupa sama yang satu itu. Aku belum cerita sama mereka tentang,," Rea mulai mengetik.
Rencana perjodohannya. Ya Gia dan Uri belum mengetahuinya dan pasti akan merespon berita ini dengan cara yang berbeda tapi ini harus dilakukan. Jujur dia sendiri merasa nyaman dengan kehadiran dua kepribadiannya. Apalagi Gia dan Uri sudah menemaninya hampir 10 tahun belakangan ini. Tapi semakin kesini Rea menyadari bahwa banyak hal yang terenggut karenanya, terutama kehidupan sosialnya. Apalagi dengan urusan percintaannya yang bahkan sama sekali tidak pernah dimulai. Bagaimanapun salah satu mimpinya sebagai wanita normal tentu saja memiliki keluarga kecil yang bahagia dan sempurna seperti orang tua nya.
"Rea?" Panggil sang mama sambil mengetuk pintu kamarnya.
"Ya ma." Jawab Rea singkat masih sibuk berkutat dengan laptop di depannya.
"Kok belum sarapan sih? Udah siang loh." Ingat sang mama.
Rea melirik ke arah jam di dindingnya. Sudah jam sembilan dan dia masih sibuk dengan novelnya.
"Hehehe. Iya ma habis ini aku mandi baru turun." Cengenges Rea.
"Kebiasaan kamu nih! Besok gak boleh begini ya. Pokoknya jam tujuh udah harus siap mama papa tunggu." Peringat Bu Wulan.
"Besok? Emang mau kemana besok?" Rea memang benar-benar lupa.
"Ih gimana sih Rea. Kamu lupa? Besok kan ada jadwal wawancara sama calon kamu." Ucap sang mama dengan santainya.
"Astaga iya." Rea menepuk jidatnya hampir lupa mengenai yang satu itu. Rupanya dia harus segera menambahkan poin itu di diarinya. Bertemu dengan calon suami.
Sedangkan di kantor, hari ini adalah hari dimana Jin bersama tiga orang rekan lainnya Edo, Arjun, dan Garin mengikuti tes pertama untuk mendapatkan posisi CEO. Bu Ifa sudah mengumpulkan semua karyawan tersebut yang bisa dibilang semua memiliki penampilan fisik di atas rata-rata. Edo pria yang memang tidak terlalu tinggi berkulit kuning langsat, memiliki struktur wajah tegas dan dingin. Image nya sebagai supervisor HRD memang terkesan garang padahal dia pria yang ramah dan ceria juga suka menolong. Sedangkan Arjun pria tinggi berkulit putih dengan proporsi tubuh yang tegap berotot. Penampilan modis sekaligus cerdas dengan tambahan kacamata menghiasi fitur wajahnya yang hangat namun macho. Sedangkan Garin sebagai pekerja lapangan wajahnya sangat manis dengan lesung pipit saat dia tersenyum. Kulit sawo matang menambah kesan kuat juga jantan dengan proporsi tubuh tinggi dan fit.
Mereka berkumpul di ruang pertemuan lantai lima yang memang hanya ada ruang CEO dan para sekeretarisnya di sana termasuk Arjun. Juga ruang dokumen-dokumen penting perusahaan. Jadwal hari ini mereka akan melakukan serangkaian tes psikologi baik intelegensi maupun kepribadian untuk melihat potensi diri mereka.
"Hai bros." Sapa Garin begitu memasuki ruangan disusul Edo dibelakangnya. Waktu masih kurang 10 menit dari yang ditentukan tapi mereka semua sudah berkumpul disana. Tidak ingin ada kesalahan terulang.
"Wah, nih lantai lima auranya mistis ya. Baru masuk udah merinding gua." Edo meraba tengkuknya sambil mencari tempat duduk yang pas.
"Itu mah kedinginan aja kena AC kali." Ujar Jin santai.
"Gua setiap hari hampir 10 jam ada di lantai ini gak ada tuh merinding-merinding." Bela Arjun.
"Hahaha. Alay nih emang bocah." Ledek Garin.
"Hari ini kita bakal psikotes kan?" Jin memastikan.
"Heem,kalo gua liat list tes nya dari wa kmaren sih ini bakalan fullday cuy. Moga pala gua gak pecah aja." Edo menimpali.
"Kalo psikotes sih Edo pasti bakalan habisin kita semua." Garin membuka percakapan.
"Ya bukan berarti karena gua HR ato lulusan psikologi terus gua auto lolos ngerjain soal psikotes. Gak ada jawaban salah ato bener di psikotes tuh." Elak Edo.
"Just be your self lah ya intinya." Bela Arjun.
"Kira-kira Pak Estu bakalan ngawasin kita langsung gak ya?" Tanya Garin penasaran.
"Ya egak sih ngapain juga. Paling mantau dari CCTV. Hahahaha." Jin tertawa sendiri.
"Iya juga sih mungkin itu. Behave gaes behave." Edo mengingatkan membenahi posisi duduknya agar lebih tegap sambil melirik ke arah CCTV.
"Astaga beneran alay nih bocah ternyata. Runtuh semua image gahar lu di mata karyawan. Haha." Arjun tertawa.
"Ya gua gak ada ya bikin image kaya gitu. Emang anak-anak aja yang takut sama gua. Padahal gua nya biasa aja." Bela Edo.
"Eh tapi btw, kalian pada cerita gak ke temen-temen kalian di departemen tentang tes ini?" Tanya Jin penasaran juga.
"Mereka sih taunya ya tes tahunan untuk kenaikan grade aja sih. Kan emang udah biasa di tempat kita." Edo menjawab lagi disertai anggukan lainnya.
"Apapun hasilnya dari hari ini. Jangan ada dusta di antara kita ya bro. Semoga Pak Estu emang dapet hasil sesuai yang dia harapkan. Buat siapa aja yang lolos ya itu yang terbaik." Kata Garin tiba-tiba.
"Kesambet apaan lu rin? Mendadak melow begitu?" Tanya Arjun penasaran.
"Hahaha. Ya gitu lah pokoknya. Gua cuman gak mau ada yang berubah diantara kita. Ssttt Bu Ifa!" Garin mendadak tegang bersama dengan tiga rekan lainnya.
Bu Ifa datang bersama dua orang wanita yang lalu memperkenalkan diri sebagai Psikolog dan asistennya. Rupanya hari ini mereka yang akan memberikan serangkaian tes. Mengenalkan diri sebagai Ibu Debi dan Ajeng. Asisten nya cukup manis sampai daritadi Edo senyum-senyum sendiri menatapnya. Apakah ini pertanda saingannya memperebutkan posisi CEO akan berkurang?
Tes dimulai sejak 8.15 pagi hingga jam 11:40 siang lalu mereka beristirahat dan memulai lagi sesi interview bergantian sejak pukul 13.05 siang dengan psikolog yang berusia sekitar 40 tahunan itu. Tidak ada yang istimewa, persis seperti psikotes pada umumnya saja. Tentu saja mereka berempat mengerjakan semuanya dengan tenang dan lancar hingga tes berakhir pada pukul 16:15 sore. Sudah lama tidak melakukan tes semacam ini rupanya lumayan membuat tangan pegal juga.
Sudah enggan kembali ke ruangan daripada menimbulkan pertanyaan rekan-rekannya nanti. Jin memilih tetap tinggal di lantai lima hingga bel pulang tentu saja dengan membalas banyak pesan yang sudah masuk di ponselnya sedari tadi. Tentu saja peserta lain sudah kembali ke area kerja mereka masing-masing.