Seperti biasa malam itu Jin duduk di teras rumahnya lagi-lagi dengan sang bapak yang tengah menunggu kopinya datang. Membuatnya sedikit berbeda karena Jin seru sendiri memainkan gitar dan kadang bersenandung. Jujur suaranya lumayan juga mungkin kalau dia memilih untuk ikut ajang pencairan bakat apalagi di tambah wajah tampannya dia mungkin bisa menang. Benar saja tak lama, Bu Utari keluar dengan sebuah nampan dengan dua cangkir kopi di atasnya.
"Ini ya pak kopinya." Bu Utari meletakkan kopi sang suami di sampingnya.
"Iya buk makasih." Jawab Pak Joni santai.
"Ini nak kopinya. Gimana tes tadi lancar?" Tanya sang ibu sambil meletakkan kopi Jin di meja sampingnya.
"Lancar-lancar aja sih buk cuman psikotes. Tapi kalau hasil ya kita kan gak ngerti." Jawab Jin tenang.
"Ya ibu doain lancar semua ya tes nya." Doa Bu Utari lagi-lagi mengalun.
"Ya buk aamiin." Jawab Jin singkat.
"Aamiin buk. Tapi nanti jangan sedih kalo Jin gagal loh buk. Ini tes kan bukan sembarang tes." Pak Joni mengingatkan.
"Iya iya pak. Ibu juga ngerti kok." Bu Utari tersenyum mengusap puncak kepala Jin.
Sepertinya di antara orang tuanya, ibu Jin yang memang lebih bersemangat mengenai kemungkinan Jin menjadi CEO. Tentu saja apa yang mereka miliki sekarang sudah lebih dari cukup. Kakak Jin juga sudah bekerja dan menikah juga masih tetap dapat memberi cukup pada dirinya. Begitu pun Jin yang juga memiliki jabatan bagus di perusahaannya. Tapi tentu saja melihat anak menjadi sosok yang sukses akan menjadi kebanggan tersendiri bagi dirinya.
Sebuah pesan masuk muncul di ponsel Jin. Ternyata itu adalah pesan pengumuman mengenai jadwal wawancara esok hari.
"Lah cepet banget?" Jin memang kaget karena tidak menyangka akan dapat kabar secepat ini.
"Ada apaan sih? Jadi tegang begitu?" Mungkin memang intuisi sang ayah selalu menangkap momen ketika anaknya itu sedang tegang dan gelisah.
"Hm, egak ini loh pak. Ternyata besok wawancara ya buat jabatan itu." Jin tidak melanjutkan.
"Oalah ya sudah toh. Tinggal jawab pertanyaan aja kok repot." Ledek Pak Joni yang memang dulunya adalah karyawan swasta juga di sebuah perusahaan persis seperti dirinya walau hanya mentok sebagai staf biasa bahkan hingga masa pensiunnya.
"Hehe iya pak santai kok anakmu ini. Cuman gak nyangka aja secepet ini. Kayanya emang Pak Estu butuh cepet nih." Jin menjawab yang dibalas anggukan bapak ibu nya.
Keesokan harinya tes selanjutnya adalah wawancara dengan Pak Estu. Ketiga orang yang tes bersamanya semua dinyatakan lanjut ke tahap ini termasuk dirinya. Begitu Jin masuk ruangan kerja CEO karena hari ini kebetulan dia yang pertama harus menjalani sesi ini. Dia bingung karena banyak wajah yang belum pernah dilihat sebelumnya. Jumlah tepatnya ada lima orang. Satu orang perempuan dan tiga orang laki-laki selain Pak Estu.
"Selamat pagi Kanaka Jin Prawira, silahkan duduk." Pak Estu menyapa Jin yang sedang berjalan masuk menuju sebuah kursi yang memang disediakan untuk para peserta.
"Selamat pagi juga Pak Pangestu dan ibu juga bapak-bapak sekalian." Sapa Jin sopan dengan senyum ramahnya.
"Kamu pasti belum pernah bertemu mereka. Saya perkenalkan dulu orang-orang hebat yang akan membantu saya mewawancarai kamu hari ini." Pak Estu mengedarkan pandangan dari sisi kanannya.
"Paling ujung adalah Pak Mahendra beliau saat ini adalah pemegang saham kedua terbesar setelah saya di PT. Glomik. Lalu ini adalah istri saya yang selalu menjadi motivator saya, Bu Wulan. Lalu sebelah kiri saya ini sahabat saya yang juga merupakan CEO PT. Semen Ina yaitu Bapak Stefanus. Dan terakhir di ujung adalah perwakilan dari Kadin Jakarta Bapak Hendro." Terang Pak Estu yang membuat Jin sedikit tegang. Sama sekali tidak menyangka wawancara ini akan sebesar itu.
Wawancara berjalan cukup lancar dan lebih lama dari yang diharapkan. Tidak mengejutkan sebenarnya karena Jin selalu bisa mencairkan suasana dan dengan cepat menyesuaikan diri dengan jajaran orang penting itu. Bahkan Jin bisa meninggalkan ruangan itu dengan senyum mengembang di wajahnya setelah wawancara selama dua jam. Mungkin kalau itu orang lain, mulutnya sudah berbusa.
Berpapasan dengan Arjun yang memang ruangannya ada di lantai yang sama dengan Pak Estu. Sepertinya memang setelah ini adalah gilirannya.
"Gimana? Lancar?" Tanya Arjun.
"Santuy lah. Pertanyaan-pertanyaan standar aja kok. Gua kira bakal lebih kompleks dari ini." Respon Jin.
"Ditanyain apa aja lu?" Tanya Arjun penasaran.
"Ya lebih ke kegiatan sehari-hari aja sih. Terus ya pertanyaan lebih ke problem solving aja. Kalo ada masalah gini lu bakal gimana. Kalo ada kendala gitu lu bakal ngelakuin apa. Terus rencana ekspansi ke depan kaya apa. Ya gitu aja." Jawab Jin.
"Lah kok lama banget? Dua jam loh lu di dalam bro." Arjun mencoba mengingatkan.
"Iya gak tau tadi perasaan juga gak selama itu." Jawab Jin santai.
"Berarti lu ketemu sama anak Pak Estu?" Tanya Arjun.
"Hah? Ya gak lah. Emang dia di dalam? Gua cuman liat istri Pak Estu aja Bu Wulan." Tanya Jin.
"Hahaha. Ada dia bro di dalam. Mungkin emang sengaja mengamati dari kejauhan." Respon Arjun.
"Ya kalo ini mah bisa lu yang unggul. Secara lu udah ketemu duluan sama dia." Jawab Jin
"Walaupun gua ngerasa gak ada hubungannya tapi semoga aja gitu. Hahaha." Respon singkat Arjun.
"Ya udah gua balik dulu. Sukses ya bro." Jin pamit. Dia langsung mencari kamar mandi di lantai lima itu. Sudah tidak tahan ingin buang air kecil dari tadi sebenarnya.
Langsung masuk saja menunaikan hasratnya lalu mencuci tangan dan pergi. Begitu kagetnya karena dia bertabrakan dengan seorang gadis persis di depan pintu toilet yang memang bersebelahan.
Bruukk..
"Aduh,," Gadis itu mengaduh manja. Padahal tabrakan mereka tidak sekeras itu.
"Maaf-maaf mbak ya saya gak sengaja." Begitu melihat wajah mereka berdua sama-sama menunjukkan ekspresi tak percaya.
"Eh. Hm. Jangan panggil mbak dong om. Aku masih 17 tahun loh. Masih sekolah. Masa dipanggil mbak?" Itu Uri.
"Om? Emang muka aku setua itu ya? Perasaan kalo dilihat dari muka, umur kita gak jauh-jauh banget." Jin masih bingung karena wajah di depannya ini memang cantik tapi kalau dia bilang usianya masih 17 tahun tentu dia tidak bisa percaya.
"Ih gimana sih om. Udah dibilangin umur aku 17 tahun nama aku Uri. Om bisa tanya aja sama mamih papih aku kalo om gak percaya." Tantang gadis yang tidak sengaja ditabraknya itu.
Jin jadi memikirkan lagi kemungkinan di lantai lima ini apa yang gadis itu lakukan. Secara lantai ini hanya lantai ruang kerja CEO dan tidak mungkin juga ada karyawan yang berani membawa keluarganya hingga kesini kecuali,,
"Memang mamih papih kamu siapa namanya?" Tanya Jin penasaran.
"Bu Wulan sama Pak Pangestu." Jawab Uri santai tapi sukses membuat Jin bingung.
Baru saja Jin mau mengajukan pertanyaan, gadis yang bernama Uri itu sudah pergi.
"Loh bentar-bentar. Bukannya anak Pak Estu cuman satu ya? Kok dia bilang umurnya 17 tahun? Kan gak mungkin Pak Estu mau nikahin anaknya yang masih kecil. Tapi perasaan mukanya juga gak kaya umur 17 tahun deh. Gimana sih ini benernya jadi bingung. Apa bener kata Edo kalau anak Pak Estu punya kepribadian ganda? Dan cewek tadi itu bukan anak Pak Estu? Tapi perasaan mukanya juga gak asing. Kaya pernah ketemu di mana gitu." Begitu banyak pertanyaan muncul di benak Jin saat itu tapi dia memilih untuk memendamnya.