Senin pagi di kantor, bahkan jam kerja belum di mulai, Jin sudah berada di ruangan Pak Estu. Bu ifa sudah menghubunginya sejak jam enam pagi tadi memintanya untuk menghadap ke Pak Estu langsung begitu tiba di kantor. Tentu saja sedikit berangan apakah ini berarti dia yang lolos seluruh tes terebut. Apalagi tadi saat melewati ruang sekretaris, Arjun nampak sedikit murung sedangkan sebaliknya Bu Ifa membisikkan selamat padanya saat berpapasan.
Tok tok tok.
"Masuk." Sebuah suara menyahut dari dalam.
"Pagi pak." Jin menyapa.
"SIlahkan duduk Jin." Ajak Pak Estu ramah.
Jin duduk di sana menunggu Pak Estu yang masih sibuk mengetik sesuatu di laptopnya.
"Saya gak bisa berlama-lama Jin karena setengah jam lagi saya ada meeting dengan seluruh manajer dan supervisor perusahaan. Pertama, saya sampaikan kamu lolos dari semua tahap itu. Kamu akan menjadi CEO di perusahaan ini sekaligus suami dari putri saya. Tentu itu saja kalau kamu menerima." Terang Pak Estu.
Tentu saja Jin tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Bapak serius?" Jin spontan saja menggenggam tangan CEO nya itu.
"Saya gak punya waktu untuk bercanda Jin." Jawab Pak Estu tegas melepas tangannya dari Jin.
"Hm, maaf maaf pak." Tanya Jin mencoba menenangkan diri.
"Jadi gimana? Apa saya harus mengulangi pertanyaan saya lagi?" Tanya Pak Estu.
"Hm, iya pak iya. Saya mau menerima posisi CEO tersebut terutama menikah dengan putri bapak." Jin menujukkan keseriusannya.
"Baik kalau begitu. Saya hanya ingin berpesan saja. Kamu baru mengenal putri saya dan kamu tahu kan putri saya itu spesial? Jadi saya harap jangan kamu berani menyakiti putri saya sedikitpun. Dia gadis yang sangat baik juga satu-satunya harta keluarga kami yang paling berharga. Memang saya dan istri yang dari awal merencanakan semua tes ini tapi tentu kami juga berhak untuk mengambil lagi semuanya kalau kau sampai menyakiti Rea." Pak Estu memperingatkan.
"Baik pak. Saya akan mengingat kata-kata bapak." Jin bicara dari tempat duduknya.
"Lebih baik kamu segera hubungi kedua orang tua kamu dan tentukan kapan kau dan Rea bisa menikah. Terus terang saja saya tidak punya banyak waktu karena saya juga sudah harus mulai merencanakan pengobatan saya di Singapore. Jadi saya harap pernikahan ini bisa terlaksana dalam dua bulan saja." Ujar Pak Estu.
"Dua bulan pak? Ta-tapi pak maaf mohon maaf sebelumnya. Jujur saja kalau harus mengadakan pesta besar-besaran keluarga kami tidak akan mampu pak." Jawab Jin jujur.
"Tidak masalah. Saya pasti akan bantu. Lagi pula saya dan keluarga saya juga tidak menuntut pesta besar. Rea juga pasti tak akan suka dengan suasana yang terlalu ramai. Lebih baik kamu bicarakan juga dengan Rea pesta seperti apa yang dia inginkan." Pak Estu menjelaskan.
"Baik pak kalau begitu. Tapi itu pak. Saya belum punya kontak Rea." Jawab Jin jujur.
"Hah? Saya kira kalian sudah tukeran nomor. Ckckck. Ya udah ini kamu catat ya." Pak Estu mengeluarkan ponselnya, mencari nomor Rea, dan memberikannya pada Jin.
"Terima kasih banyak pak." Jin tulus mengucapkannya.
"Iya, saya berharap banyak sama kamu Jin." Kata terakhir Pak Estu sebelum karyawan yang akan segera menjadi calon menantunya itu meninggalkan ruangan.
Tidak menunggu lama Jin menelpon ibunya. Memberi kabar yang pasti membuat ibunya bahagia, tapi sebelum itu tentu memastikan sang ibu bisa menerima kondisi Rea.
"Bu, ini Jin." Membuka percakapan.
"Iya nak kenapa? Kok tumben telepon jam kerja gini?" Bu Utari tentu penasaran.
"Gini buk, ada yang mau Jin ceritain tentang Rea. Kalo bapak ada sekalian panggilin ya buk. Biar aku gak harus jelasin dua kali nanti." Ibunya bergerak mencari Pak Joni yang ada di halaman belakang sedang merapikan tanaman. Setelah dua orangtuanya tersambung dia pun bicara semua yang Rea alami panjang lebar dengan bahasa yang mudah di mengerti agar orang tuanya mengerti.
"Jadi gitu buk. Apa ibu bisa nerima Rea?" Tanya Jin.
Sang ibu memang tidak langsung menjawab. Mungkin mencoba mencerna semuanya di seberang sana saling tatap dengan sang suami.
Jin yang tak kunjung mendapat jawaban jadi gamang. "Bu,,?"
"Ah, hm, iya nak iya. Ibu sama bapak pasti dukung kok nak. Kita percaya Rea dan keluarganya semua baik. Sudah sewajarnya kalau kita bersimpati sama keluarga mereka yang mendapat ujian jauh lebih besar dari keluarga kita." Ujar sang ibu.
"Selama kamu siap, bapak ibu juga akan selau siap dukung nak." Sang bapak memastikan.
"Iya pak terima kasih." Komen Jin yang memang senang dengan respon terbuka dari kedua orangtuanya.
"Tapi kenapa kamu cerita ini sama bapak ibu?" Bu Utari penasaran.
"Aku lolos semua tes nya buk. Pak Estu sudah bilang dan minta aku segera nikahin Rea. Ibu jangan terlalu khawatir tentang uang nya. Biar aku yang pikirin nanti sama Rea ya." Jin sudah mengingatkan. Tentu saja tidak mungkin orangtuanya masih harus terbebani dengan biaya pernikahan.
"Hah? Ya ampun. Syukurlah nak. Kamu emang anak ibu yang luar biasa. Astaga gak nyangka anak bungsu ibu mau nikah." Kedua orang tua Jin tentuanya bersuka cita karena terutama anak mereka akhirnya akan menikah.
"Bapak seneng dengernya nak. Bapak juga bangga banget sama kamu. Semoga lancar semuanya." Kata sang bapak yang hampir meneteskan air mata haru karena bangga dan bahagia.
"Ya udah nanti kita ngobrol lagi di rumah ya." Jin menutup teleponnya.
Jin begitu bersyukur karena orangtuanya bisa menerima Rea. Tentu saja dia tahu mereka pasti akan merestui. Tapi tentu saja mereka harus tahu. Tidak mau mereka terkejut kalau tiba-tiba menantunya itu menunjukkan gelagat aneh. Menyebutkan kata menantu saja membuat Jin bahagia. Dirinya tidak menyangka akan segera menikahi putri sang CEO.
Pak Estu membawanya turut serta ke ruang rapat hari itu dan mengumumkan kepada semua karyawan yang hadir bahwa Jin lah yang akan menjabat sebagai CEO selanjutnya menggantikannya. Sebuah kehormatan yang sangat besar tentunya baginya. Tidak menyangka karyawan biasa yang datang dari keluarga sederhana ini bisa menempati posisi paling penting di perusahaan tempatnya bekerja. Semua yang hadir menunjukkan apresiasinya dengan tepuk tangan. Pekerjaan dan hubungannya dengan rekan kerja Jin memang selama ini cukup baik.
Jin memberanikan menelpon Rea siang itu. Sebenarnya dia hanya ingin mengucapkan terima kasih karena dia telah memilihnya dibanding Arjun yang dia tahu pasti lebih baik dari nya dari segala sisi.
"Siapa lu?" Tanya suara di seberang tiba-tiba.
"Rea, ini aku Jin." Sapa Jin sedikit ragu.
"Jin tomang lu? Apa Jin botol? Denger ya baik-baik. Sampai kapan pun gak akan gua biarin lu nikah sama Rea. Sialan lu!" Makinya dan telepon itu di tutup.
Jin menghela nafas. "Itu pasti Gia."