Adrian merasa sangsi dengan yang dikatakan Kirana, "Kau jangan mengada-ada Kirana? Jika kau mengatakan itu agar aku menjauhimu, itu tidak mempan," ucap Adrian, seraya memaksa menyunggingkan salah satu sudut bibirnya.
Zayn melangkah mendekati Kirana, berdiri di sampingnya dan meraih tangan Kirana dengan lembut. "Yang dikatakan Kirana memang benar! Kamu pikir kau sehebat itu, sehingga Kirana tak bisa melupakanmu. Bukankah sudah aku katakan dulu?" Selesai mengatakan itu, Zayn langsung mencium tangan Kirana.
"Sekarang pergilah! Kami tidak ingin digangu," ucap Zayn kembali, dengan menoleh sedikit ke arah Adrian.
Adrian yang melihat sandiwara itu geram, ia lalu pergi meninggalkan Adrian dan Kirana. Entah dia mempercayai kebohongan yang Kirana buat atau tidak. Namun yang pasti rasa egoisnya berubah suatu kebencian yang mulai meretas dihatinuya. Adrian berpikir Kirana hanya miliknya baik dulu, dan sekarang wanita itu tetap miliknya.
"Maafkan aku sudah membawamu dalam masalah aku dengan Adrian,'" ucap Kirana, ia menarik tangan yang masih di gengam Zayn.
"Tidak apa-apa, aku bisa mengerti kau sedang dalam posisi terpaksa." Zayn berkata dengan sedikit kecewa.
"Dia tidak tahu kejadian yang sebenarnya, mereka sepertinya mengatakan kenyataan lain."
"Ini sudah aku duga." tandas Zayn.
"Justru itu akan bagus, agar Adrian tidak terus menggangguku lagi, dan dia tidak tahu anak ini selamat," lirih Kirana. Dia tahu Adrian pasti akan membencinya setelah ini.
"Tapi kamu tidak mungkin selamanya menyembunyikan itu dari Adrian. Perutmu akan terus membesar, dia akan tahu itu."
Kirana menyadari hal itu, satu-satunya cara dia harus meninggalkan kota Jakarta. Tapi dia masih bingung dengan keadaan ibunya, tidak mungkin dia meninggalkan ibunya juga.
Julia sedang melihat Ratih yang terkurung di salah satu ruangan, wanita itu terlihat sedang berbicara sendiri menghadap tembok yang sudah terlihat buram.
"Sayang sekali keadaanmu jadi seperti ini. Seharusnya kamu melihat aku yang sekarang, dan katu masih belum mengetahui tujuanku yang sebenarnya Ratih. Haah ... mengapa kamu menjadi gila secepat ini?" bisik Julia. Ingatannya kembali kepada masa-masa saat dia menjadi seorang siswa putih abu-abu berpuluh tahun lalu.
Adrian tiba di rumah ketika masih sore hari, dia tidak mendapati Sintia di rumah. "Ke mana Sintia?" Adrian bertanya kepada pembantu rumahnya.
"Tidak tahu Tuan, dia tadi pergi waktu tengah hari."
"Tolong bikinin kopi ya, antarkan ke ruang kerjaku!" titah Adrian. Sepulang dari rumah sakit dia tidak kembali ke kantor, dan memilih untuk pulang ke rumah. Di kantor pun percuma, dia tidak bisa bekerja dengan fokus.
Setelah mengganti baju di kamar, dia menuju ruang kerja. Bukan untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda tapi malah membuka-buka foto-foto dan video kenanganya bersama Kirana. Satu per satu dia melihat dengan perasaan sesak di hatinya. Terlihat beberapa video, ketika merayakan Anniversary pertama bersama Kirana.
Gadis itu tampak antusias dengan perayaan itu, berbeda dengan Adrian yang mencoba memaksakan diri agar terlihat bahagia. Di album lainnya dia masih bisa mengingat jika waktu itu dia belum mencintai Kirana, semua dia lakukan dengan terpaksa. Adrian hendak menghapus semua fito dan videonya bersama Kirana ketika perasaan bencinya muncul kepada Kirana, tetapi dia mengurungkan niatnya.
Sintia datang ketika hari mulai gelap, melihat mobil Adrian yang sudah terparkir di depan rumahnya, dia sedikit heran karena tidak biasanya Adrian pulang cepat. Akan tetapi ketika dia teringat dengan yang dikatakan Julia tadi siang, Sintia akhirnya mengerti.
"Tumben kamu pulang cepat?" tanya Sintia di ambang pintu, ia melihat Adrian sedang berada di depan laptop seolah sedang mengurus pekerjaannya.
Adrian menoleh sekilas ke arah Sintia dan hanya menjawab, "Ya."
Mendengar jawaban suaminya, Sintia mengerutkan bibir, tidak bisa menebak apa yang dipikirkan Adrian. Sintia merasa rencana mertuanya telah berhasil, dan Adrian tidak mengetahui kejadian kemarin di klinik.
"Kamu pasti belum makan, ayo kita makan!" ajak Sintia. Bersikap santai seolah tidak terjadi apa-apa, padahal dia cemas jika Adrian akan mengetahui apa yang dilakukannya kemarin.
Adrian menuruti ajakan istrinya, ketika makan dia tidak banyak bicara hanya sesekali menggumam menanggapi perkataan Sintia. Walaupun Sintia merasa kesal tapi setidaknya dia merasa lega Adrian tidak tahu perbuatannya. Andai saja suaminya tahu, pasti saat ini mereka sedang bertengkar hebat.
Setelah makan, Sintia memutuskan untuk mandi. Tidak lama Adrian menyusul ke kamar mandi. Sintia sedang menyabuni tubuhnya ketika suaminya datang, ia tampak terkejut dengan kehadiran Adrian yang sudah tidak memakai sehelai benang pun. Adrian mentapnya lalu menghampiri Sintia, "Aku bantu menggosok badanmu," ucap Adrian.
Sintia merasa bingung sekaligus senang dengan sikap Adrian. Dia hanya menganggukkan kepala seraya tersenyum. Perlahan Adrian menyabuni Sintia dengan lembut, jemari Adrian perlahan menyentuh bagian-bagian inti tubuh istrinya. Sampai tiba pada bagian sensitif di dada Sintia yang menantang, dia memainkan dengan lembut.
Mendapat sentuhan nikmat dari suaminya, Sintia pun melenguh dengan meremas kepala milik suaminya. Adrian mendaratkan ciuman di bibir Sintia, dengan memiringkan kepala agar lebih leluasa. Tangannya tidak henti menyentuh liar gundukan indah tubuh sang istri.
Setelah melepas pagutan bibir Sintia, Adrian turun menyusuri leher jenjangnya, semakin turun semakin sering Sintia mengeluarkan desahan. Sudah lama, dia tidak merasakannya sejak malam pengantin mereka.
Kini, giliran Adrian yang menuntun kepala Sintia untuk melakukan sesuatu pada kejantanan yang sudah menegang. Sintia mengerti apa yang diinginkan Adrian, dengan teratur dia memaju mundurkan kepalanya. Meraskan kehangatan mulut Sintia pada miliknya, Adrian mendesah.
Adrian sudah tak sabar ingin segera meloloskan miliknya menyatu dengan Sintia. Dia mendorong istrinya untuk berdiri di tepi closet dan mengangkat satu kakinya sebagai tumpuan.
"Akhhh ..." pekik Sintia, saat Adrian menghentakkan tubuhnya, menerobos masuk dengan kenikmatan penuh.
Semakin lama hentakkan itu semakin cepat, disertai desahan mereka yang menggema saling bersahutan memenuhi kamar mandi. Tangan Adrian tak henti meremas-remas gundukan di dada istrinya, dengan erangan yang tidak henti dari keduanya.
"Akkhh ... terus Sayang! Aku mau sampai," rengek Sintia, dengan napsu yang memburu. Tidak lama, tubuh Sintia menerima gelombang hebat, dia mengejang beberapa kali hingga lututnya bergetar lemas.
Merasa ada yang memijit miliknya di dalam, Adrian lebih cepat lagi memompa tubuh istrinya untuk segera mencapai puncak kenikmatan. "Ahhh ...." Adrian melenguh semburan hangat itu meleleh di dalam tubuh Sintia.
Setelah itu Adrian melepaskan tautan tubuhnya dari Sintia, menyiram pada bagian kakinya kemudian dia melangkah keluar.
"Kamu tidak mandi? Aku akan menggosok badanmu."
"Kamu saja dulu!" balas Adrian, dengan terus berjalan tanpa menoleh kepada istrinya.
Sintia tidak bisa memaksa, walaupun sebenarnya dia sangat kesal kepada Adrian yang seolah-olah hanya membutuhkan tubuhnya saja. Namun, dia mencoba meredam rasa kesal karena jika tidak, dirinya dan Adrian pasti terlibat cekcok lagi.
Adrian kembali ke ruang kerjanya yang di lantai bawah. Di laptop yang masih menyala, berjejer foto-foto dirinya dan Kirana dalam berbagai momen.
"Sial!" Adrian mengumpat. Sedang bercinta dengan istrinya pun, yang terbayang oleh Adrian adalah wajah Kirana.