Bab 116.
Lamunanku buyar ketika seorang anak kecil datang menawarkan diri untuk merumput makam Ibu. Aku tolak secara halus, tapi ia malah mengeluarkan sehelai kain kecil dari sakunya dan mulai melap batu nisan serta pinggiran makam yang terbuat dari keramik. Memang batu nisan dan keramiknya penuh ada tanah, sisa lumpur yang mengering. Hmm ... cukup cerdik anak kecil ini, pikirku.
"Om ... sudah bersih mengkilap, nih!" serunya.
"Wihh, iya, pintar sekali kamu, ya!" pujiku sambil mengacak rambutnya.
"Hee ... hee, iya dong, namanya nyari duit untuk jajan," sahutnya.
"Kamu sudah kelas berapa?" tanya Meysa.
"Sudah kelas empat, Tante!" sahutnya.
"Sekolah di mana?" tanyaku.
"Tuh, di sana! Di belakang pemakaman ini, ada sekolah SD Negeri," jawabnya.
"Wahh ... itu sekolah Om dulu, loo!" seruku.
"Om tinggal daerah sini juga?" tanyanya.
"Iya ... Om tinggal daerah sini! Tapi rumah Om sudah di jual, saat Nenek ini meninggal," jelasku sambil menunjuk makam Ibu.