"Hadeeh..." Hessa memindahkan nasinya ke piring Afnan.
"Wait. Kenapa kamu pindahkan nasi kamu?" Afnan protes saat nasi di piringnya semakin banyak.
"Aku nggak abis nanti. Makanku sedikit. Itu belum kumakan, masih bersih. Daripada dibuang. Kan, bayar ini." Hessa beralasan.
"Kamu tahu, tukang dagangnya sudah menghitung jumlah nasi dan lauknya dengan pas. Kalau nasiku jadi banyak, lauknya kurang."
"Terus?" Hessa tidak peduli dengan hitung-hitungan Afnan.
"Sini lauk kamu separuh." Afnan memegang garpunya, siap menyerang piring Hessa.
"Nooooo." Hessa menjauhkan piringnya dan menutupi dengan kedua tangannya.
"Sama makanan saja kamu posesif." Afnan geleng-geleng kepala, lalu memutuskan untuk memesan lauk tambahan. "Habis ini makan dimsum."
"Mau!" Hessa tersenyum lebar mendengar usul Afnan.
"Tadi katanya makannya sedikit." Afnan menyindir Hessa.
"Dimsum kan ngemil-ngemil aja, masih kuat." Hessa membela diri.
Hessa mengamati Afnan yang sedang makan dan sudah tidak peduli dengan kanan kirinya. Mata Afnan hanya fokus pada piringnya, persis seperti anak kecil yang dibelikan ibunya makanan favorit yang sangat lama dia inginkan tapi tidak diiizinkan.
Sejauh ini Hessa dan Afnan tidak canggung seperti orang-orang yang sedang melakukan kencan pertama. Afnan memang menyebalkan, tapi sikap Afnan malah membuat Hessa nyaman. Tidak ada pertanyaan standard-interviu-pasangan-yang-saling-mengenal seperti menanyakan penyanyi favorit atau hobi. That's really it for a first date.
Apa Hessa baru saja menyebut ini kencan? Oh, Tuhan!
Afnan, yang merasa diamati Hessa, menghentikan makannya sebentar.
"Kenapa? Aku memang makannya banyak." Afnan berpikir mungkin Hessa heran melihatnya makan seperti ini. Dengan rakus.
Afnan tersenyum sebelum kembali focus ke piringnya. His smile. She can't define it in words. Jantung Hessa kembali berdetak sangat kencang, seperti menggedor-gedor dinding tulang rusuknya. Hessa merasa bisa mendengar suaranya. Semoga Afnan tidak dengar. Hessa menggelengkan kepalanya, berusaha menyelesaikan makannya.
***
"Kamu tahu kan kenapa aku dan ibuku datang ke rumahmu hari Sabtu minggu lalu?"
Afnan mengantar Hessa pulang setelah mereka membeli barang-barang yang diperlukan Afnan. Termasuk membeli beberapa pasang sendal jepit. Jalanan tidak begitu penuh saat hari libur.
"Ya." Hessa menjawab, memainkan jarinya di pangkuannya dan mencoba menebak arah pembicaraan Afnan.
"Kamu tahu juga, kan, alasanku meminta Mama untuk megenalkan aku padamu?" Afnan bertanya lagi.
"Apa alasannya?" Hessa pura-pura bodoh.
"Aku mencari istri."
Hessa hampir tersedak ludahnya sendiri. Afnan terlalu straight to the point. Dan Hessa tidak mengantisipasi akan terseret ke dalam percakapan semacam ini di pertemuan pertama mereka. Yang minggu lalu tidak dihitung karena mereka tidak bicara satu sama lain.
"Oh, terus?" Hessa masih pura-pura tidak mengerti.
"Apa kamu mau mempertimbangkan?" Kali ini Afnan menoleh ke arah Hessa.
"Mempertimbangkan apa?" Hessa mengerutkan keningnya.
"Kamu menikah denganku." Afnan memperjelas maksudnya.
"Yang benar saja." Hessa tertawa hambar. "Kita baru ketemu satu kali. Apa menurutmu nggak terlalu cepat?" Hessa tidak setuju.
"Kamu mau kita ketemu berapa kali dulu, Hessa? Aku kan nggak tinggal di sini. Hanya pulang setahun sekali. Itu terlalu lama."
"Yah ... paling nggak kita saling mengenal dulu, lalu ... mungkin jatuh cinta, baru menikah...." Hessa tidak bisa menerima cara pandang Afnan terhadap jalan menuju pernikahan. Afnan minta instant. Kadang-kadang hal-hal yang instant tidak baik untuk manusia.
"Nggak ada bedanya. Kita hanya membalik prosesnya. Orang-orang saling mengenal lalu jatuh cinta dan menikah. Kita menikah, saling mengenal, jatuh cinta." Afnan memberi alasan.
Hessa menunduk, belum bisa memutuskan apa-apa.
"Kenapa kamu sampai minta dicarikan istri? Kamu nggak laku, ya?" Hessa menyandarkan kepalanya ke belakang, memperhatikan kaca mobil ya mulai basah oleh rintik hujan.
"Ya. Karena di sana nggak terlalu banyak kesempatan untuk menemukan … potential brides." Afnan tidak menyangkal.
"Apa ada yang kamu rahasiakan?" Hessa memicingkan matanya.
"Rahasia apa?"
"Mungkin sex orientation-mu dan orangtuamu nggak setuju dengan itu jadi...."
"Aku bisa 'berdiri' kalau melihat wanita telanjang sekarang." Jawaban Afnan membuat Hessa merasa pipinya panas. Kenapa membahas 'telanjang'?
"Atau ... mmm ... something ... below normal?" Hessa memberanikan dirinya bertanya.
"Maksudmu sperma? Kalau kamu ragu-ragu, besok kita ke rumah sakit dan bisa lihat...."
"STOP!" Astaga! Hessa tidak percaya Afnan menjelaskan apa adanya seperti itu. Tidak ada lembaga sensor di mulutnya. Seharusnya dipasang sistem rating di mulut laki-laki itu. Biar bisa tersaring kata-kata yang keluar darinya.
Afnan tertawa keras. "Kamu ... ada yang memintamu menikah dengannya, yang kamu pertimbangkan hanya itu? Seharusnya kamu khawatir tentang kesejahteraan kamu, atau apa laki-laki yang mengajakmu menikah itu psycho. Kamu memilirkan sperma?"
"Habis kamu kan eksternalnya oke banget. Masak iya kamu nggak punya pacar? Pasti ada yang nggak beres kan di dalamnya?" Hessa tidak terima ditertawakan Afnan.
"Jadi kalau aku oke luar dan dalam, apa aku pantas buat jadi suami kamu?" Afnan sudah kembali serius.
"Aku sudah bilang sebaiknya kita saling mengenal dulu."
"Aku setuju. Kita saling mengenal setelah menikah. Aku berangkat hari Selasa besok, Hessa. Setelah itu mungkin kita akan sulit untuk saling mengenal. Perbedaan waktu dan ... aku jarang pulang ke sini. Kalau kita menikah, kita setiap hari ketemu. Akan lebih mudah untuk saling mengenal."
"Kalau menikah denganmu ... apa harus tinggal di sana?" Hessa tidak terlalu suka dengan satu kenyataan ini.
"Aku kerja di sana. Nggak mungkin untuk pindah ke sini."
Tapi ... aku kerjandi sini, Hessa menyahut dalam hati.
"Dengar, Hessa, aku nggak bisa menjanjikan kehidupan sempurna seperti di film-film atau buku cerita. Aku bukan orang kaya, tapi aku akan membuat kamu bahagia. Rumahku mungkin nggak senyaman rumahmu, kehidupan yang kutawarkan padamu mungkin nggak sebaik yang diberikan orangtuamu. Tapi aku akan berusaha membuatnya hampir mendekati itu semua."
"Ini terlalu tiba-tiba, Afnan. Otakku sampai nggak bisa kupakai untuk berpikir." Hessa memukul kepalanya sendiri.
Mobil Afnan berhenti di depan rumah Hessa.
"Nggak apa-apa. Kamu pikirin dulu. Aku nggak memaksa dan kamu berhak menolak. Kamu berhak mempertimbangkan laki-laki lain juga."
"Berapa lama aku boleh berpikir?" Hessa tidak tahu dia harus berdiskusi dengan siapa. Mamanya pasti menyuruh Hessa menerima lamaran Afnan.
"Terserah kamu."
"Kalau sampai tahun depan?"
"Aku tunggu."
"Kalau setahun, seharusnya kamu nyari calon istri lain lah." Hessa heran dengan sikap Afnan.
"Berarti kamu nggak akan tega membiarkan aku menunggu selama itu, kan?"
"Kalau jawabanku nanti adalah tidak?" Hessa memikirkan kemungkinan ini. Menjawab tidak.
"Nggak apa-apa. Semoga kamu menemukan laki-laki yang lebih baik dariku dan membuatmu bahagia. Mungkin laki-laki yang kamu cintai sejak pertama bertemu dengannya."
"Oke." Hessa lega Afnan tidak memaksakan keinginannya.
"Aku hanya berpikir ... mungkin aku dan kamu bisa hidup bersama dan bahagia. Menjadi orangtua, mencintai anak-anak kita. Kehidupan pernikahan seperti itu yang kuinginkan."
Afnan tidak punya waktu untuk membuat mereka jatuh cinta dalam waktu dekat. Juga, Adfna tidak bisa membawa Hessa ke Denmark kalau tidak menikah dengannya. Sedangkan Afnan tidak mungkin hidup di sini. Satu-satunya jalan adalah menikah dan membawa Hessa bersamanya ke sana. Hidup bersama. Saling mengenal seperti yang diinginkan Hessa. Lalu jatuh cinta.