Afnan melempar karton jus ke tempat sampah lalu menutup tirai. Semua juga masih jauh di angan-angannya. Dalam waktu dekat belum akan menjadi nyata.
Afnan meninggalkan dapur dan masuk ke kamarnya. Flat dua kamar tidur ini jadi terasa besar sekali. Sepi, beda sekali dengan di rumah orangtuanya. Ada papa dan mamanya, ada Lily juga. Mereka biasa makan malam sambil mengobrol lama di meja makan.
Tetangga sebelah flatnya, Hansen, bilang bahwa dia tidak pernah memikirkan untuk menikah walaupun umurnya sudah tiga puluh lima tahun. Dia hanya berpikir bahwa menikah pasti untuk satu tujuan yaitu seks dan tidak ada yang lain lagi.
"Sex drive? Stock up on porn or pay for prostitutes." Hansen memberi alasan sambil tertawa.
Kepentingan Afnan menikah lebih dari itu. Tujuannya menikah adalah mempunyai sebuah keluarga, yang akan menjalani hidup bersama dengannya. Bukannya dibayar untuk satu malam, tapi untuk selamanya.
***
Afnan terbangun dan merasa kepalanya sakit sekali. Setelah membiarkannya beberapa saat, Afnan bangun dan berjalan ke dapur. Minum air sebanyak-banyaknya dan menelan aspirin. Suara hujan terdengar sangat sampai ke dalam flatnya. Angin kencang memukul-mukul jendela kaca. Afnan heran kapan tidak ada hujan di kota ini. Ah, manusia memang tidak pernah puas. Di Indonesia, dia mengeluh karena panas dan sedikit-sedikit berkeringat. Di sini mengeluh karena hujan terus sepanjang minggu.
Afnan kembali masuk ke dalam selimut berharap pagi segera datang dan dia segera punya kesibukan.
Afnan sudah hampir terlelap ketika HP-nya berbunyi. Afnan mengulurkan tangannya untuk menjangkau HP yang diletakkan di meja di sebelah tempat tidurnya.
"Hallo?" Afnan menempelkan HP-nya begitu saja di telinga, tidak membaca siapa yang menghubunginya.
Tidak ada sahutan di seberang sana.
"Hvem taler?" Afnan bertanya siapa yang meneleponnya.
Tetap tidak ada jawaban.
"Taler du Dansk?" Afnan mulai jengkel, tidurnya terganggu, bertanya apa orang itu bicara bahasa Denmark.
"English?" Afnan bertanya lagi.
Afnan sudah akan menutup teleponnya ketika akhirnya terdengar sebuah suara.
"Afnan..."
Hanya satu kata. Mata Afnan langsung terbuka lebar, otaknya mencari kesimpulan dari apa yang sebenarnya terjadi. Sesuatu yang ditunggu-tunggu Afnan selama ini dengan hati cemas. A change finally comes, and it certainly surprises him when it does.
Afnan tidak tahu harus melakukan apa. Satu kata sapaan itu sudah sangat cukup untuknya. Hugs and kisses should do. And smile. Smile like a person who found a treasure. Tapi Afnan sedang sendiri di sini. Tidak ada orang yang bisa dipeluk dan diciumnya. Tidak ada yang bisa melihat senyumnya.
***
"Afnan...."
"Hmmm?"
"Kamu ngapain kalau jam segini?"
"Segini di sana apa di sini?"
"Di tempat kamu."
"Ya ... di rumah aja. Makan. Kerja."
"Kok malam-malam kerja?"
"Ya masak aku pergi party?"
"Makanya kamu jomblo ya, kamu nggak gaul."
"Habis ini kan nggak jomblo. Aku nggak mungkin cari istri di lokasi party." Afnan tertawa.
"Kenapa?"
"Nggak ada kamu di lokasi party."
"Gombal banget."
"Jodoh yang baik adanya di tempat yang baik. Party bukan tempat yang baik. Isinya orang-orang yang menyia-nyiakan waktu. Bau lagi. Bau alcohol, muntahan."
Ini adalah salah satu percakapan Hessa dengan Afnan selama periode masa mengenal. Rentang waktu setelah menjawab lamaran dan sebelum hari pernikahan terasa seperti pacaran jarak jauh. No butterflies in her stomach, but there is definitely an attraction between them. Selama beberapa minggu ini Hessa merasa tidak terlalu ada masalah dengan komunikasi mereka. Afnan tidak membosankan. Nanti seiring berjalannya waktu, Hessa yakin akan menemukan banyak lagi hal-hal lain dari Afnan yang menyenangkan.
Hessa berbaring dalam diam di kamarnya. Beberapa hari ini Hessa jadi suka sekali menyendiri. Dia menghindari terlalu lama berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Ada banyak sekali yang harus dipikirkannya setelah menerima lamaran Afnan
Hessa mengambil HP-nya dan mulai membuka streetview di internet. Hessa mencoba mencari gambaran bagaimana suasana Aarhus.
Hessa memejamkan matanya. Marriage must be easy. Orang-orang di sekitarnya satu demi satu menikah, dengan orang yang dipacarinya sejak sekolah, dengan orang baru yang ditemui di online dating site, dengan siapa pun yang ingin dinikahi dan menikahinya. Kencan sebulan dua bulan, lalu mengumumkan undangan pernikahan, punya anak, dan memajang foto-foto dengan wajah bahagia. Foto anaknya dengan mulut belepotan susu, foto berlibur ke pantai beton di dekat sini. Mudah, kan? Menikah, punya anak, bersenang-senang. Sesederhana itu. You think to yourself, marriage must be easy. Tidak usah berpikir macam-macam, yang penting menikah dulu karena ada yang mau. Yang penting laku dulu. Tidak lagi dipandang masyarakat sebagai perawan tua, ada suami yang bisa dipamerkan saat bertemu dengan teman, dan lain-lain yang Hessa tidak tahu.
Is it really that easy? Bagi Hessa menikah adalah sebuah proses yang sangat sulit. Untuk memasuki jenjang ini, Hessa harus melewati berbagai pertimbangan dan pemikirang matang. Jika nanti dia tidak menyukainya, akan lebih sulit lagi untuk keluar dari sana.
Bukannya dia tidak tertarik sama sekali pada Afnan. Semua wanita waras pasti tertarik padanya. Tapi Hessa merasa saat ini dia masih berada pada infatuation phase. Hessa hanya memperhatikan sisi-sisi baik dari Afnan. Good looking, smart, confidence, and okay, she admits that he is hot. Kata orang-orang pintar di buku yang dibacanya, keputusan menikah tidak boleh dibuat pada masa ini.
Good looking and hot itu akan sangat bisa mengundang decak kagum saat pesta pernikahan. But once the honeymoon is over, Hessa sudah ditunggu oleh kenyataan hidup yang mungkin belum pernah terpikir olehnya. Afnan akan kembali bekerja, sedangkan Hessa akan tinggal di rumah. Apa nama jabatan untuk wanita yang hanya tinggal di rumah? Wife? Mother? Hidupnya akan berputar pada laundry, memasak, vacuuming the house, mengepel lantai, mengganti seprai, mengurus anak-anak, menghemat uang, memperbaiki kompor rusak saat dia harus memasak makan malam, mengisi empty toilet rolls, belanja bulanan, pertengkaran dan saling menyalahkan, seks, dan masih banyak lagi.
Di Aarhus tentu berbeda dengan di sini. Bisakah Hessa sembarangan membeli makanan dari luar rumah? Dia akan jadi istri dan mungkin juga ibu, tugasnya adalah memastikan makanan yang beredar di rumahnya halal dan baik. Di sini, ibunya, kadang memakai jasa orang lain untuk membersihkan rumah, sesuatu yang mungkin di Aarhus tidak ada. Semua harus dikerjakan sendiri.
Jangankan sampai ke negara yang berada dekat dengan puncak bola dunia itu, membayangkan ikut suaminya ke luar Pulau Jawa saja Hessa tidak pernah. Salah satu teman baiknya malah lebih memilih menjalani long distance marriage setelah menikah daripada ikut suaminya yang kerja di pengeboran minyak lepas pantai di daerah di dekat Kalimantan sana. Tapi pilihan long distance marriage itu jelas tidak akan ada untuk Hessa. Orang waras mana yang mau terpisah belasan ribu kilometer dengan istrinya?