"Jadi dapat uang riset?" Mikkel mengabaikan Lily yang mengadu lagi ke ibunya karena dijahili Mikkel.
"Jadilah. Banyak sekali."
"Swasta?"
"Dari kerajaan." Afnan menjawab.
"Kok bisa?"
Afnan mengangkat bahu. "Mungkin karena aku warga negara di sana?"
"Aku kangen riset lagi. Waktu masih di Swedia, dikasih duit sama perusahaan banyak, tidak ada pelitnya sama sekali untuk kemajuan teknologi."
"Terus hak patenmu tertinggal di sana?"
"Iya. Belum tahu gimana urusannya dengan perusahaan. Dulu perusahaan yang mendaftarkan."
"Sayang banget."
"Mau gimana, duitku nggak cukup buat daftar sendiri ini." Mikkel tertawa lepas
"Kau ngapain di perusahaan Papa?" Setahu Afnan Mikkel adalah seorang ECE. Electronic and Communication Engineer. Untuk apa menyusahkan dirinya bekerja di perusahaan pembuat software milik orangtua mereka?
"Ya, jadi programmer."
"Yang benar?" Afnan tidak percaya. Mikkel adalah pemberontak. Orang yang mati-matian menolak saat papanya mengusulkan agar dia kuliah Computer Science supaya nanti bisa memegang kendali atas perusahaan milih ayah mereka.
"Ya aku jadi bos. Gantikan Papa."
Afnan menertawakan nasib Mikkel. Hanya karena menikah, Mikkel melupakan mimpinya. Afnan masih ingat saat Mikkel pamer bahwa dia berhasil meninggalkan teknologi 4G yang jadi andalan selama ini. Sudah mematenkan salah satu alternatif transportasi data baru dan macam-macam lagi. Sekarang Mikkel hanya akan duduk di balik meja kerja dan tidak melakukan riset demi kemajuan umat manusia?
Afnan tidak bisa membayangkan kalau dia berada di posisi Mikkel. Karena itu Afnan mencari istri yang mau diajak tinggal di Eropa. Tidak melulu di Aarhus, mungkin suatu saat dia akan pindah ke negara lain yang bisa mendukung risetnya lebih baik lagi.
"Kau bakal ngerti nanti kalau sudah dihadapkan pada dua pilihan; pekerjaan atau cinta." Mikkel sok bijak menasihati kembarannya. "Menjadi orang yang sukses dalam pekerjaan itu biasa sekali. Sukses menjadi suami dan ayah yang hebat itu baru luar biasa. Coba tanya Papa," Mikkel menambahkan.
"Aku akan dapat ketiganya." Afnan menyombong. Kalau tidak bisa, tidak usah semuanya sekalian. Karena itu Afnan perlu istri yang bisa diajak bekerja sama dan mendukungnya.
***
Afnan berdiri di dapur kecil di apartemennya. Hari ini berangin sekali, udara juga lembap. Afnan bergerak mencari sisa-sisa jus di kulkasnya. Dia sempat membeli jus kemasan sebelum meninggalkan kota ini, tapi tidak sempat membersihkan kulkas. Ada sisa selada dan wortel yang sudah tergolek lemas di sana. Seperti biasanya, setelah pulang dari rumah sakit yang dilakukannya adalah mandi, membuat makan malam ala kadarnya, membaca apa saja yang berkaitan dengan pekerjaannya—mikrobiologi, dan mencoba tidur. Besok malam dia akan mengulangi hal yang sama. Tidak ada suara percakapan, kecuali saat Afnan sedang menelepon mamanya. Dia sudah hidup seperti ini terlalu lama.
Dulu Afnan berpikir hidup sendiri adalah pilihan terbaik baginya. Dia bisa memutuskan sesuatu dengan kepalanya sendiri tanpa campur tangan orang lain. Mau berbuat apa saja tidak ada yang mengomelinya. Rumah yang sepi dan tenang seperti ini bisa mendinginkan kepalanya yang mendidih karena berdiskusi dengan orang-orang di kantor. Rumah tidak pernah kotor karena dia hanya berada di sini saat malam hari. Biaya listrik, air dan sebagainya murah karena hidup sendiri. Tidak pernah ada keributan di sini karena tidak pernah ada yang menyulut emosinya. Tidak ada cerita berebut kamar mandi. Alone in his space, no friends, family, and partner. Whatever he can imagine, he can do it. Termasuk kalau dia mau meniru adegan film-film Hollywood, telanjang bulat menonton TV.
Tapi sekarang terasa sangat berbeda. Afnan tidak sanggup membayangkan betapa menakutkannya saat umurnya sudah lewat tiga puluh tahun dan dia masih hidup sendiri. Segala sesuatu harus dilakukan sendiri karena tidak punya istri. Kalau Afnan terjatuh di kamar mandi dan hampir mati, tidak akan ada yang langsung mengetahuinya. Tidak ada orang yang menyambutnya pulang dan mendengarkan keberhasilannya mengklasifikan bakteri baru hari ini. Saat Afnan mendapatkan penghargaan, naik jabatan, dan melakukan hal-hal membanggakan lainnya, tidak ada seseorang yang bisa diajak untuk merayakannya.
Memikirkan itu Afnan tidak jadi bahagia, Afnan merasa sengsara. Tidak ada orang yang bisa diajak bicara tentang sesuatu yang sedang dipikirkannya, seperti hal-hal remeh soal salju yang turun semakin lama semakin gelap dan tidak lagi putih bersih. He is completely alone except for work, visiting family and friends.
Sejak kesadaran untuk berkeluarga muncul, Afnan menjadi sensitif sekali. Rasanya pahit sekali melihat pasangan laki-laki dan perempuan tertawa bahagia bersama saat Afnan masuk ke kafe setelah pulang kerja. Afnan semakin merasa dirinya menyedikan ketika pagi-pagi dia bangun dan mendapati dapurnya kosong, belum ada makanan tersedia dan tidak ada yang bisa dilakukannya selain sarapan sendiri sambil menghitung jumlah ubin di lantai dapurnya.
People fall in love, get married, and have children. Mengapa Afnan tidak? Afnan bahkan bisa merasa iri pada pasangan yang bercerai. Paling tidak mereka mempunyai perjalanan hidup yang tidak begitu-begitu saja seperti perjalanan hidupnya. Afnan pernah melihat bayangan mengerikan dalam kepalanya; tahun-tahun akan berlalu begitu saja, rambutnya memutih, dan dia baru menyesali bahwa kesempatannya mengenal cinta sudah tidak ada. Tidak punya istri juga anak-anak yang meneruskan garis keturunannya. It was that feeling when he tends to doubt his existence in the world.
Apa yang dikatakan ibunya benar. Ibunya selalu benar. Sudah waktunya Afnan punya keluarga lagi. Keluarganya sendiri. Ada istri yang mengomeli kebiasaannya melepas sepatu tanpa menaruh di tempat seharusnya, melepas kaos kaki sambil berjalan masuk rumah dan melempar kaos kakinya sembarangan. Dan tentu saja dia tidak perlu repot-repot memasangkan kaos kakinya yang terlalu sering bercerai karena kebiasaan buruknya itu. Istrinya akan melakukannya. Sambil marah-marah. Seperti ibunya dulu. Bukankah itu terdengar lebih baik?
Afnan mengamati jalan di bawah sana melalui jendela di dapurnya. Kota ini selalu disukai Afnan. Jalanan tidak pernah ramai. Orang-orang di sini lebih ramah daripada orang-orang di Copenhagen. Afnan tahu siapa yang tinggal di kiri dan kanan unit flatnya.
Afnan bukan tidak suka hidup di Indonesia. Tetapi hidupnya memang tidak di sana. He desperately wants to share life with his family, but living in Indonesia isn't where his life is. Keluarganya berada di sana, orang-orang yang sangat dicintainya, yang memberinya sayap untuk bisa terbang sejauh ini. Tapi hanya sebatas itu. Tidak ada lagi yang bisa didapatnya di sana.
Awalnya hanya karena Afnan merasa berhak mendapatkan pendidikan seperti orang-orang Denmark. Afnan adalah warga negara Denmark. Negara tersebut termasuk salah satu negara yang paling bagus pendidikannya, one of the highest quality of education in the world. Orang boleh sekolah setinggi-tingginya dibayari negara. Mengapa harus melepaskan kesempatan bagus itu? Kesempatannya untuk bekerja di bidang yang dia minati juga ada di sini. Afnan dan Mikkel sama-sama menghabiskan masa kuliah mereka di sini, tapi mereka menjalani hidup dengan cara yang berbeda. Mikkel sudah memilih kewarganegaraan Indonesia. Mikkel tidak bisa memegang bendera Denmark, Afnan bisa. Afnan bisa ikut pemilu, dengan sedikitnya jumlah muslim di sini, itu sangat berarti. Kalau nanti dia punya anak dan mereka tinggal di sini, anak-anaknya akan mendapatkan hak yang sama dengan semua anak-anak di Denmark.
Mungkin akan agak susah kalau Afnan membawa istrinya yang sangat mungkin berasal dari tempat kelahirannya. Orang-orang di sini tidak terlalu suka dengan orang asing, pendatang, maupun imigran. The government treats foreigners differently, racism shown. Tetapi itu bukan masalah pokok. Masalah pokoknya adalah menemukan wanita yang mau dinikahi.