Sehabis meeting, Pak Mario ingin berbicara padaku. Kelihatannya cukup serius dan membuatku untuk mendengarkannya dengan saksama. Ternyata Pak Mario memiliki penawaran untukku. Bisa dibilang aku akan mendapatkan kenaikan gaji jika mengambil lembur.
"Akan kupikirkan dulu, Pak," ucapku.
"Kau bisa mendapatkan kenaikan gaji jika kau mengambilnya. Jangan anggap aku memaksamu, aku hanya menawarkan kesempatan yang bagus," ucap Pak Mario.
Aku tidak bisa mengambil lembur karena Argat sedang sakit. Aku tidak bisa membiarkan mama mengurus Argat sepanjang hari. Itulah alasannya mengapa aku tidak bisa mengambil lembur.
"Apa ada yang membebanimu?" tanya Pak Mario.
"Tidak, Pak. Aku sudah yakin dengan keputusanku," jawabku.
"Kau bisa temui aku lagi nanti, jika kau berubah pikiran. Jika kau memang menolaknya, Linda yang akan mengambilnya," ucap Pak Mario mencoba bernegosiasi denganku.
Aku keluar ruangan setelah Pak Mario. Di luar sudah ada Elsa yang sudah menungguku. Kami langsung pergi ke kantin karena memang sudah lapar. Aku memang sedang makan, tetapi pikiranku tertuju pada tawaran Pak Mario. Seharusnya aku tidak perlu ambil pusing.
"Banyak pikiran ya," ucap Elsa menebakku dengan benar.
"Pak Mario menawariku lembur dan aku menolaknya," ucapku.
"Ditolak? Lumayan lho gajinya. Kalau aku sudah pasti kuambil," ucap Elsa.
Kemudian aku menjelaskan pada Elsa dengan lebih detail mengenai tawaran ini. Elsa hampir tersedak karena mendengar nama Linda. Situasinya jadi semakin serius saat aku mengatakan bahwa Linda yang akan mengambil jatah lemburnya. Namun aku tidak bilang alasanku menolaknya. Entah sampai kapan aku menyembunyikan pernikahan ini pada Elsa.
"Ya terus, kenapa ditolak? Sumpah ya aku takut kalau Linda ngambil posisimu secara perlahan," ucap Elsa menakutiku.
Elsa mengaduk es tehnya dengan kencang karena kesal dengan keputusanku. Mungkin kalau bukan Linda, Elsa tidak akan sekesal ini.
"Kau tahu, kan? Linda itu tukang rebut," ucap Elsa.
"Aku percaya pada Pak Mario. Apa pun keputusannya itulah yang terbaik," ucapku.
"Tapi kenapa kau tolak?" tanya Elsa yang membuatku kebingungan menjawabnya.
"Capek," jawabku asal.
Elsa terus menatapku seakan mencari kebohongan di sana. Apa mungkin aktingku kurang meyakinkan? Elsa seperti kurang percaya padaku. Sudahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Tak lama kemudian datanglah Linda dan teman-temannya. Shandy terlihat menggoda Linda dengan kata-kata yang membuatku jadi bimbang.
"Calon sekretaris nih," ucap Shandy dengan pelan, tetapi masih bisa kudengar.
Aku mencoba tutup kuping dengan ucapan mereka. Sekarang fokusku hanya mengurus Argat. Bahkan aku ingin segera pulang karena tidak ingin membuat mama kerepotan. Namun sekarang masih siang.
"Tuh, kan. Linda pasti punya rencana licik. Waspada, Del," ucap Elsa memperingatkanku.
"Apa kau meragukan Pak Mario?" tanyaku.
"Ya enggak sih. Cuma aku masih sakit hati sama kelakuannya," ucap Elsa.
Aku tersenyum melihat Elsa yang memasang wajah jutek setelah melihat Linda. Setegar apa pun wajah yang ditunjukkan Elsa, nyatanya dia masih belum sepenuhnya move on dari Gavin. Apalagi kekesalannya pada Linda, dia masih susah memaafkannya.
Akhirnya aku sampai rumah juga. Bu Rima yang melihatku tampak lelah, langsung membawakanku segelas air putih. Kuhabiskan airnya karena aku memang haus.
"Terima kasih," ucapku.
Kunaiki tangga menuju kamar Argat. Aku ingin mengecek apa yang sedang Argat lakukan. Di kamar sudah ada mama yang sedang membantu Argat mengancingkan kemejanya. Mau ke mana Argat? Seharusnya dia istirahat saja di rumah.
"Kau mau ke mana?" tanyaku.
"Bukan urusanmu," jawab Argat dengan cuek.
Mama mengambil dasi dan memberikannya padaku. Tanpa mengatakan apa pun, mama meninggalkan kami berdua. Sekarang aku baru tahu maksud mama. Aku berdiri di hadapan Argat dan membantunya mengenakan dasi. Aku sedikit kesulitan karena harus berjinjit. Dengan santainya Argat tidak mau merendahkan tubuhnya. Jika Argat melebarkan kakinya sedikit saja, aku tidak akan kesusahan seperti ini. Namun aku baru menyadari satu hal, meski Argat sedang marah, dia tetap mau berbicara padaku. Meskipun dengan nada yang tidak mengenakkan, setidaknya Argat masih mau bicara padaku. Apa mungkin sebenarnya Argat bukan seorang pemarah? Argat bersikap begitu karena hatinya terluka dan kecewa padaku.
"Sudah," ucapku setelah selesai membantu mengenakan dasi untuknya.
Argat kemudian duduk di kursi dan menghadap laptopnya. Ternyata Argat akan melakukan meeting secara online.
"Apa kau akan berdiri di sana seperti patung? Pergilah," usir Argat.
Mulai sekarang aku tidak akan sakit hati menghadapi kemarahan Argat. Anggap saja sebagai ujian kesabaran untukku. Akan kubuatkan minuman untuknya. Saat orang berbicara, dia akan menjadi mudah haus. Namun apa minuman kesukaan Argat? Hampir saja aku akan membuka mulut, tetapi kuurungkan. Aku tidak ingin pertanyaannku menjadi sumber emosi baginya. Akan kutanyakan pada mama saja.
"Ma, kira-kira minuman apa yang Argat sukai?" tanyaku.
Mama melirik ke arah Bu Rima dan tersenyum. Aku jadi malu sendiri. Apa pertanyaanku terlalu blak-blakan? Mama kemudian mengambil es batu dan buah alpukat di kulkas. Selain itu mama juga mengambil bubuk cokelat. Minuman dingin akan membuat kemarahan Argat berkurang, begitulah pikirku.
"Es akan membuatnya tetap dingin," ucapku spontan.
Mama melihat ke arahku dengan raut wajah bingung. Lagi-lagi aku salah mengatakan sesuatu. Mama memilih mengerjakannya sendiri dan memintaku untuk diam saja. Mama memang tipe mertua yang sangat pengertian, meski terkadang jika sifat dominannya sudah keluar akan membuatku sedikit takut. Mama tidak ingin aku kelelahan karena habis bekerja. Akhirnya es alpukat kocok sudah siap. Kelihatannya segar sekali.
"Argat sangat menyukai alpukat. Dia pasti akan senang saat kau membuatkan es alpukat untuknya," ucap Mama.
"Tapi Mama yang membuatnya," ucapku.
"Sayang, berbohong sedikit itu tidak apa-apa. Mama tahu kalau akhir-akhir ini Argat mudah marah, karena itu Mama tidak ingin kau mendapat kemarahannya lagi," ucap Mama dengan penuh pengertian.
Kubawa segelas es alpukat ke kamarnya. Argat tampak serius menjelaskan presentasinya. Tanpa mengatakan apa pun, kutaruh segelas es alpukat di samping laptopnya. Aku sengaja memberikan jarak yang cukup longgar supaya embun esnya tidak membasahi laptop. Setelah memastikan Argat baik-baik saja, baru aku keluar. Ponselku berdering karena ada panggilan telepon dari Pak Mario.
"Hallo, Delisa. Apa kau yakin tidak akan mengambil lembur?"
"Tidak, Pak. Aku akan lembur lain waktu saja."
"Kau yakin? Baiklah. Kalau begitu aku akan memberikannya pada Linda."
"Iya, Pak. Aku yakin."
Pak Mario mematikan teleponnya. Aku melihat ke arah pintu sebentar sebelum akhirnya pergi ke dapur. Sebagai seorang istri akan menjadi kebahagiaan tersendiri jika aku bisa merawat suamiku. Sudah seharusnya suami istri saling mendukung di segala keadaan. Aku tidak akan menyesal jika melewatkan kesempatan ini. Bagiku, kesembuhan Argat adalah yang utama. Melihatnya sembuh akan membuatku merasa lega.