Maya ingin supaya aku datang lebih awal sebelum acaranya dimulai. Untuk membuat Maya senang, aku menuruti segala permintaannya. Aku tidak tahu apakah setelah menikah Maya masih memiliki banyak waktu untuk bertemu denganku. Apalagi Argat memiliki rencana untuk pindah ke Jerman untuk mengurus bisnis sang ayah. Aku pasti akan sangat merindukan Maya nantinya.
"Maya tersenyumlah," perintahku dengan lembut.
Saat ini Maya sedang difoto oleh adiknya yang bernama Mikha. Mikha sangat senang dengan pernikahan Maya. Hal itu diwujudkan dalam bentuk memfoto Maya secara terusmenerus. Bahkan Maya sampai mengeluh karena Mikha terus menghidupkan flash kameranya.
"Kak Delisa tolong benarkan kalung dan anting-antingnya. Kamera kurang bisa menangkap kilauan perhiasannya," ucap Mikha.
Aku membenarkan letak anting-anting dan kalung Maya supaya bagus di kamera. Setiap Mikha merasa kurang puas, aku akan memperbaikinya lagi sampai dia mendapat hasil jepretan yang bagus.
"Apa kau bisa keluar sebentar? Aku ingin bicara dengan Delisa," ucap Maya yang mulai lelah dengan aktivitas yang dilakukan Mikha.
"Oke, satu jepretan lagi dan semuanya akan selesai," ucap Mikha.
Setelah Mikha pergi keadaannya menjadi serius. Aku duduk di depan Maya sambil menunggunya mengucapkan sesuatu. Awalnya aku tersenyum, tetapi sedikit memudar setelah melihat matanya yang mulai berair.
"Delisa kumohon tolong aku. Tolong jangan menolakku. Aku akan berhutang selamanya padamu," ucap Maya yang membuatku tidak mengerti.
"Ada apa? Apa yang bisa kubantu?" tanyaku.
"Aku sakit," jawab Maya.
"Kau tidak enak badan? Aku akan memanggil Argat ke sini," ucapku.
Maya menahan tanganku yang hendak pergi. Maya hanya menggeleng dan menyuruhku duduk kembali. Maya mengambil sebuah amplop dari dalam tasnya dan menyerahkannya padaku. Amplop itu berasal dari rumah sakit. Karena penasaran aku langsung membuka isinya. Di sana tertulis kalau Maya mengidap penyakit kanker ovarium. Saking terkejutnya aku sampai menjatuhkan amplopnya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Selama ini Maya tidak pernah mengatakan apa pun padaku, dia juga tidak pernah mengeluh tentang kesehatannya. Tetes demi tetes air mata mulai jatuh membasahi pipiku.
"Itulah yang coba kusampaikan padamu. Apa kau bisa membantuku?" Maya menyatukan tangannya dan memohon padaku.
"Apa Argat sudah tahu?" tanyaku.
Maya hanya menggeleng. Aku kembali terkejut karena Argat tidak mengetahui tentang kondisi Maya saat ini. Seandainya Argat tahu, dia akan mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhan Maya.
"Aku tidak ingin menjadi beban untuknya. Aku tidak mau Argat menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengurusku. Aku hanya ingin dia bahagia bersama dengan perempuan yang sehat dan bisa mengurusnya," ucap Maya.
"Maya, aku yakin Argat akan menerimamu apa adanya. Dia sangat mencintaimu dan aku yakin dia akan menerima semua yang ada pada dirimu. Aku juga yakin kalau Argat akan mengusahakan yang terbaik demi kesembuhanmu," ucapku menyemangati Maya.
Meskipun aku terus berusaha menghibur dan menyemangati Maya, Maya tetap memiliki ketakutan dengan hidupnya dan juga Argat. Maya takut kalau kehidupan rumah tangganya tidak akan berhasil dan bisa saja suatu saat nanti Argat meninggalkannya. Maya merasa dia punya banyak kekurangan yang membuatnya akan merasa bersalah jika tetap melanjutkan pernikahan ini.
"Delisa, tolong menikahlah dengan Argat." Maya memegang tanganku.
Aku mundur ke belakang seakan tidak percaya dengan permintaan konyol Maya. Bagaimana Maya bisa memintaku menikah dengan Argat? Argat hanya mencintai Maya dan aku tidak mencintai Argat sama sekali. Jika Maya berpikir hubungannya dengan Argat tidak akan berhasil, maka seharusnya dia berpikir kalau hubunganku dengan Argat nantinya jauh lebih mustahil. Aku benci karena Maya semudah itu menyerah dengan hubungan ini.
"Tolong jangan salah paham denganku. Aku hanya tidak ingin merepotkan Argat dan keluarganya," ucap Maya.
"Jika Argat akan menikah, maka itu hanya dengan kau, Maya. Jangan pernah berpikir kalau Argat akan menolakmu setelah mengetahui penyakit yang kau derita," ucapku.
"Apa menurutmu Argat akan bahagia hidup bersamaku?"
"Ya, aku sangat mempercayainya."
"Tanpa anak? Aku tidak bisa memberikan keturunan untuknya, tetapi kau bisa, Delisa," ucap Maya yang membuatku makin kecewa.
Ini tidak benar. Maya sangat mencintai Argat. Bagaimana bisa Maya memintaku untuk menikah dengan orang yang dicintainya? Tidak akan ada yang bahagia dengan ini.
"Kau masih bisa punya anak. Kau jangan menyerah. Aku yakin kalau kau akan segera sembuh," ucapku memeluk Maya.
"Aku tidak ingin mengecewakannya, Delisa. Argat membutuhkan seorang anak dan keluarganya membutuhkan pewaris. Aku tidak bisa memenuhinya sebagai seorang istri," ucap Maya yang membuat air mataku makin deras.
Suara ketukan pintu membuatku melepaskan pelukan Maya dan mengusap air mataku. Saat aku berbalik kudapati Argat sedang berdiri di depan pintu. Argat mendekati Maya dengan raut wajah kecewa melihat pipi Maya yang basah karena air mata.
"Anak? Pewaris? Kau tidak bisa memberikannya padaku?" tanya Argat dengan suara parau.
Maya menunduk dan kembali menangis karena merasa bersalah. Aku tidak tahan melihat mereka berdua bersedih. Seharusnya hari ini menjadi momen yang membahagiakan, tetapi mereka justru mendapatkan kesedihan.
"Aku menderita kanker ovarium. Aku harus menjalani perawatan di rumah sakit," ucap Maya.
"Kau baru memberitahuku sekarang?" Argat sangat syok.
"Aku baru mengetahuinya kemarin, Argat. Maafkan aku, aku tidak bisa menikah denganmu. Kau tidak mungkin menghabiskan seumur hidupmu untuk merawat orang sepertiku. Kau layak mendapatkan seseorang yang mampu membuatmu bahagia," ucap Maya yang membuat Argat mengalihkan pandangannya.
"Aku hanya akan menikah denganmu. Hanya denganmu," ucap Argat dengan tegas.
"Aku tidak bisa memberimu keturunan. Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu." Maya merasa sangat bersalah.
Maya menangis dengan membelakangi Argat. Aku mengelus-elus punggungnya untuk menyudahi tangisannya. Aku tahu benar bagaimana kisah cinta mereka, karena itu aku tidak snaggup melihat mereka menderita di saat tinggal satu langkah lagi kehidupan bahagia menanti mereka. Maya berdiri dari duduknya dan memegang tanganku. Maya kemudian mengambil tangan Argat dan ditaruh di atas tanganku.
"Argat, menikahlah dengan Delisa. Delisa bisa memberimu keturunan, dia bisa membuatmu bahagia," mohon Maya yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Argat.
"Pernikahan bukanlah permainan, Maya!" Argat merasa sangat frustrasi.
Aku tidak menyangka kalau Maya akan benar-benar memintaku untuk menikah dengan Argat. Pasti ada jalan keluar di balik masalah ini.
"Argat dengarkan aku. Aku tahu kau sangat mencintaiku, tetapi kau akan bosan nantinya. Hanya akan ada kebosanan di antara kita nantinya. Kehadiran buah hati membuat pernikahan itu semakin erat dan aku tidak bisa memberikannya. Aku mohon percayalah padaku," mohon Maya sekali lagi.
"Lebih baik aku tidak menikah jika tidak denganmu."
Argat berdiri membelakangi Maya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam kantong celana. Argat terlihat berpikir keras dan mencoba mencerna semua ucapan Maya. Diamnya Argat digunakan kesempatan oleh Maya untuk semakin meyakinkannya. Maya terus mencoba membuat Argat mengerti dengan keadaannya. Aku hanya bisa diam menanti jawaban dari Argat. Apakah aku akan benar-benar menikah dengan Argat? Apakah aku mampu hidup dengan orang yang sama sekali tidak kucintai?