Chereads / What is My Position / Chapter 4 - Pindah Rumah

Chapter 4 - Pindah Rumah

Semalam aku sudah mengemasi barang-barangku. Aku sudah mengecek untuk kedua kalinya supaya tidak ada yang tertinggal. Aku akan sangat merindukan rumah ini. Sebelum aku pergi, aku melakukan kegiatan bersih-bersih. Aku ingin rumah ini terlihat bersih sebelum kutinggal. Kuhentikan aktivitas mengepelku karena mendengar klakson mobil dari depan rumah. Saat kuintip dari jendela ternyata mobil Pak Hasan sudah menunggu di luar pagar. Kuambil ponselku untuk mengetik pesan kepada Pak Hasan. Aku memberitahunya untuk menungguku setengah jam lagi. Dengan kekuatan secepat kilat aku menyelesaikan kegiatan mengepelku. Setelah itu aku mandi dan bersiap-siap. Tanganku memang melakukan segalanya dengan cepat, tetapi hatiku merasa sedih seakan tidak ingin pergi dari sini.

"Ibu, aku akan pergi sekarang," ucapku kemudian memeluk ibu.

"Lain kali Ibu akan menemuimu dan juga suamimu. Ibu akan menyiapkan diri kapan pun kalian siap," ucap Ibu.

Aku tidak bisa berjanji tentang hal ini pada ibu. Aku sendiri belum tahu apakah Argat bisa menerimaku atau tidak. Aku memang berharap Argat bisa memperlakukanku layaknya seorang teman. Bisa menjadi temannya itu lebih dari cukup. Suara klakson membuatku melepaskan pelukanku. Saat kulihat ke arah jam ternyata sudah lebih dari setengah jam. Kutarik kedua koperku keluar kamar. Pak Hasan langsung membantu memasukkan koperku ke dalam bagasi. Sebelum melangkah lebih jauh aku berbalik dan memeluk ibu.

"Ibu tidak menyangka kalau putri Ibu akan pergi dari rumah secepat ini. Tapi Ibu bahagia karena dia pergi bersama dengan suaminya," ucap Ibu berusaha menghiburku.

"Jaga diri Ibu baik-baik. Aku akan menemui Ibu sesering mungkin. Sampai jumpa, Bu." Aku melambaikan tangan ke arah ibu.

Pak Hasan membukakan pintu mobil untukku. Kini aku hanya bisa melihat ibu dari balik kaca mobil. Aku sadar jika aku tidak boleh menunjukkan kesedihanku di hadapannya, apalagi berterus terang tentang hubungan pernikahan yang entah bagaimana nasibnya. Ibu hanya boleh tahu kalau putrinya akan hidup dengan suaminya. Pak Hasan mulai menyalakan mobil. Aku terus berusaha melihat ke arah ibu sampai aku tidak bisa melihatnya lagi.

"Di samping anda ada hadiah dari Nyonya Amelia," ucap Pak Hasan.

"Terima kasih."

Aku baru menyadari kalau di sampingku ada sebuah kado berwarna merah. Di atasnya terdapat sebuah kertas yang bertuliskan untuk menantuku. Tanpa sadar aku tersenyum saat membacanya. Kubuka ikatan talinya untuk melihat isinya. Ternyata ada sebuah baju musim dingin berwarna merah hati. Bajunya sangat bagus dan aku menyukainya. Warnanya terlihat cocok dengan model bajunya. Kulipat kembali bajunya dan kumasukkan ke dalam kotak.

Setelah perjalanan selama beberapa menit, kami akhirnya sampai di sebuah rumah yang cukup besar. Lamunanku buyar saat mendengar pintu mobil dibuka. Pak Hasan mempersilakanku masuk dan dia akan membawakan koper-koperku. Aku berjalan ke arah pintu dengan sedikit ragu. Apa aku bisa diterima di rumah ini? Maksudku tidak perlu sebagai seorang menantu, tetapi sebagai temannya Argat. Baru saja aku hendak membukanya, pintunya sudah dibuka oleh seorang asisten rumah tangga.

"Bu Rima, antarkan menantu rumah ini ke kamarnya," perintah Pak Hasan.

"Mari, Bu Delisa." Bu Rima menyambutku dengan ramah.

"Bagaimana Bu Rima bisa tahu namaku?" tanyaku penasaran.

"Nyonya Amelia yang memberitahuku," jawab Bu Rima.

Jadi, Nyonya Amelia sudah tahu kalau bukan Maya yang menjadi menantunya? Jika mengingat hadiah yang diberikan padaku, aku merasa kalau Nyonya Amelia adalah orang baik. Semoga saja aku bisa memiliki hubungan yang baik dengannya. Bu Rima kemudian meninggalkanku sendirian di kamar. Mungkin aku bisa memulai untuk menata barang-barangku dahulu. Aku langsung berbalik saat mendengar suara langkah seseorang. Seorang perempuan dengan lipstik merah berdiri di depan pintu.

"Selamat datang di rumahku," sapa orang itu dengan ramah.

Aku baru sadar kalau dia adalah Nyonya Amelia, Ibunya Argat. Kemudian aku mempersilakannya masuk. Aku merasa tidak enak karena tidak mengenalinya tadi.

"Kau menyukai hadiah dariku?" tanya Nyonya Amelia.

"Hadiahnya sangat bagus, Nyonya Amelia," jawabku yang membuat Nyonya Amelia memasang raut wajah tidak suka.

"Panggil saja aku Mama atau semacamnya karena kau adalah menantuku, istrinya Argat," ucap Nyonya Amelia yang membuatku sedikit canggung.

"Baik, Mama."

"Sekarang kita turun karena makanan sudah siap. Energimu pasti habis di perjalanan," ajak Mama.

Sebenarnya aku masih cukup kenyang. Namun aku merasa tidak enak jika menolak ajakannya. Mungkin aku akan mengambil nasi sedikit. Saat aku akan duduk, aku melihat Argat yang baru saja datang. Argat bergabung untuk makan siang dengan kami.

"Mama senang karena kau mengambil keputusan yang baik, Argat," puji Mama.

Argat hanya fokus ke makanannya seperti tidak mendengarkan ucapan mama. Aku merasa bersalah saat mama membicarakan tentang alasan pernikahan Argat dan Maya dibatalkan. Bahkan mama menganggap keputusan Argat sebagai kebahagiaan untuknya. Mengapa mama beranggapan seperti itu?

"Aku sangat prihatin dengan keadaan Maya, tetapi keluarga ini membutuhkan pewaris," ucap Mama yang membuatku hampir tersedak.

"Bisakah Mama berhenti membicarakan soal ini? Aku sudah katakan bahwa aku tidak menerima pernikahan ini. Pernikahan ini terjadi karena Maya, bukan atas kehendakku," ucap Argat merasa tidak terima.

"Hanya waktu yang bisa membuatmu menyadari betapa pentingnya hubungan ini. Lagipula kau akan pindah ke Jerman," ucap Mama.

"Aku sudah membatalkan keberangkatanku. Aku tidak akan ke Jerman atau ke mana pun. Aku akan tetap di sini untuk mengurus Maya," ucap Argat kemudian berdiri dari duduknya.

"Apa kau sudah tidak waras? Istrimu ada di sini dan kau malah membicarakan perempuan lain?" Mama iku berdiri dari duduknya.

Aku ingin mendamaikan perdebatan mereka, tetapi aku sadar dengan posisiku saat ini. Aku akan bersalah jika melakukan seusatu yang bisa disalahpahami oleh Argat. Karena sejujurnya aku ingin Argat tahu kalau aku menjalani pernikahan ini bukan untuk menggantikan posisi Maya di hatinya, tetapi hanya karena permintaan Maya saja. Aku tahu ini salah karena membiarkan suamiku mencintai perempuan lain, tetaapi aku akan lebih bersalah kalau tidak bisa menyatukan mereka kembali. Aku akan menyesal untuk seumur hidupku.

"Aku akan segera menceraikan Delisa dan menikah dengan Maya," ucap Argat dengan nada yang cukup tinggi.

"Argat!"

PLAK…

Satu tamparan berhasil mendarat di pipi Argat. Aku tidak menduga kalau masalah ini akan makin melebar dan membuat Mama sampai menampar Argat. Jujur saja aku juga sakit hati dengan ucapan Argat. Aku memang tidak ingin menjalani pernikahan seperti ini, tetapi bohong jika aku tidak merasa terluka. Dengan mudahnya Argat mengatakan kata cerai secepat ini. Ya, aku memang berjanji untuk mengembalikan Argat pada Maya, tetapi hatiku rasanya sakit. Aku ingin berpisah dengannya secara baik-baik.