Chereads / What is My Position / Chapter 15 - Pergi Kondangan

Chapter 15 - Pergi Kondangan

Saat ini aku sedang bersiap-siap di depan cermin. Argat sedang mandi, jadi aku bisa menggunakan kesempatan ini untuk memakai make up. Memang agak ribet karena harus melakukan aktivitas dengan mengumpet-umpet. Nanti kalau mama sudah kembali ke Jerman aku baru bisa pindah kamar. Dengan cepat kukenakan kerudungku karena takut jika tiba-tiba Argat sudah keluar dari kamar mandi. Sentuhan terakhir adalah lipstik berwarna nude. Begitu mendengar suara kenop pintu ditekan, buru-buru aku keluar dari kamar. Di bawah mama sedang menyiapkan makanan. Kupercepat langkahku untuk membantu mama.

"Mama memasak?" tanyaku.

"Sebelum pergi kita harus makan dulu. Acaranya lumayan lama, jadi kita harus makan dulu," jawab Mama.

Di pesta pernikahanan memang sudah disediakan berbagai macam makanan, tetapi mama memintaku untuk makan dulu supaya tidak kelaparan di sana. Soalnya mama juga tidak enak kalau mengambil makanan dengan porsi banyak di pesta pernikahan. Mama hanya menganggap makanan yang disediakan di sana sebagai bonus. Tak lama kemudian Argat datang dan bergabung bersama kami. Aku berniat akan mengambilkan untuknya, tetapi Argat justru mengambil piring lain. Dengan sedikit kecewa kukembalikan piringnya ke tempat semula.

"Aku tidak bisa lama-lama karena ada urusan pekerjaan," ucap Argat pada mama.

"Karyawanmu saja sudah istirahat sekarang," ucap Mama.

"Aku ada urusan mendadak," ucap Argat.

Mama tidak berniat mendebat Argat karena tidak ingin anaknya itu batal ikut bersama kami. Selesai makan, aku membantu mama merapikan pakaiannya. Karena cukup ketat dibagian pinggul membuat bajunya sedikit robek. Dengan cekatan aku mengambil jarum dan benang untuk menjahit baju mama.

"Padahal Mama sudah mencobanya waktu itu. Kenapa sekarang jadi robek?" keluh Mama.

Beberapa kali aku melihat ke arah jarum jam untuk memastikan kami tidak terlambat. Sekarang baju mama sudah kujahit dengan rapi. Untuk sekilas tidak akan ada yang sadar dengan jahitan bajunya. Karena tidak ingin membuang-buang waktu, kami masuk ke dalam mobil. Mama memilih duduk di belakang dan membiarkanku duduk di depan dengan Argat.

"Kau duduk di belakang," suruh Argat tanpa melihatku.

"Delisa duduk di depan," ucap Mama.

"Lebih baik aku terlihat seperti sopir hari ini," ucap Argat.

Karena tidak ingin berlama-lama lagi, aku memilih duduk di belakang seperti kemauan Argat. Mama menatapku dan mengangguk pelan seakan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Kami akhirnya sampai di tempat resepsinya. Seperti biasa aku memilih berjalan di samping mama. Mama menyapa tamu yang hadir dengan ramah. Banyak juga orang yang mengenal mama.

"Amelia apa kabar?" sapa seorang wanita yang mengenakan baju biru.

"Larissa, hai. Aku baik-baik aja. Gimana kabarmu?"

"Semenjak kau menetap di Jerman aku jadi jarang keluar. Lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan," jawab Tante Larissa.

Aku memilih diam dan berdiri di belakang mama, sedangkan Argat memilih menjauh dari kami. Menyadari sikap diamku, mama menarik tanganku untuk berdiri di sampingnya.

"Ini menantuku, Delisa," ucap Mama memperkenalkanku.

"Cantik ya, Mel," puji Tante Larissa yang kubalas dengan senyuman.

Mama kemudian memperkenalkanku lebih dalam lagi. Aku senang karena mama memujiku, itu berarti mama menyukaiku. Jika memang aku harus bertahan di dalam hubungan ini, maka mama adalah salah satu alasan terbesarnya.

"Di mana Argat? Dia tidak ikut?" tanya Tante Larissa.

"Mungkin dia sedang menemui temannya," jawab Mama.

Mama kemudian mengajakku untuk mengambil makanannya. Berbincang-bincang ternyata cukup menguras energi. Apalagi kenalan mama begitu banyak di sini. Pilihanku jatuh pada sop matahari, sedangkan mama memilih mengambil bakso. Kami membawa makanannya sambil mencari kursi untuk duduk.

"Ke mana Argat? Mama sudah melihat ke mana-mana, tetapi dia tidak ada."

Aku tidak bisa menjawab pertanyaan mama karena aku memang tidak tahu ke mana perginya Argat. Sop matahari sangat enak, aku snagat menikmati makanannya.

"Kita harus berfoto dengan pengantinnya," ajak Mama setelah selesai makan.

"Coba cari Argat. Kita tidak mungkin berfoto tanpanya," ucap Mama.

Mama memilih menunggu sambil duduk dan aku akan bergerak untuk mencari Argat. Aku berjalan dengan pelan sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Di sebelah sana ada beberapa pria yang sedang mengobrol, mungkin saja Argat ada di sana. Namun hasilnya nihil, Argat tidak ada di sana. Terpaksa aku mencarinya di toilet. Dengan sedikit canggung, aku berdiri di antara toilet perempuan dan laki-laki. Tidak mungkin juga aku masuk ke dalam toilet laki-laki. Aku terus menengok ke arah laki-laki yang baru saja keluar dari toilet untuk memastikan bahwa itu Argat.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Argat yang mengejutkanku.

Kukira Argat ada di toilet, ternyata dia datang dari arah samping. Spontan aku memegang tangannya dan menariknya untuk mengikutiku. Aku baru sadar dengan apa yang kulakukan saat Argat melepas tanganku yang menggenggam tangannya.

"Mama menyuruhku memanggilmu," ucapku sedikit malu karena perbuatanku.

Dengan wajah kesalnya Argat berjalan mendahuluiku. Argat memang bukan tipe orang yang marah dengan meledak-ledak, tetapi cukup dengan ucapan yang sangat tajam hingga membuatku sakit hati. Jadi tidak heran kalau Argat tidak menunjukkan sikap seperti ingin menghabisiku, karena mulutnya saja sudah seperti menelanku hidup-hidup. Kemudian aku mempercepat langkahku di belakangnya untuk mengimbangi langkah lebarnya. Dari arah depan mama tampak senang karena Argat sudah ditemukan. Tanpa menunggu lama kami berbaris untuk berfoto dengan kedua pengantin.

"Kalian harus berjalan berdampingan. Tidak ada penolakan karena Mama tidak ingin rumah tangga anakku digosipkan oleh orang lain," ucap Mama.

Mama harus turun tangan untuk membuat Argat mau berdiri di sampingku. Bahkan, mama memilih berdiri di belakang kami untuk mengawasi jalan kami. Akhirnya kami mendapat kesempatan untuk berfoto dengan pengantinnya. Lagi-lagi mama menyuruh Argat untuk tetap berdiri di sampingku. Dengan senyum yang sedikit kupaksakan, aku melihat ke arah kamera. Setelah tiga kali berfoto, kami turun dari panggung. Aku menoleh ke belakang karena merasa mama tidak berjalan mengikuti kami. Ternyata mama sedang mengobrol dengan pengantin wanitanya. Sekarang aku jadi sedikit kikuk berada di sini. Tidak ada yang bisa kuajak bicara.

"Dia hanya menghalangi jalan orang lain," ucap Argat yang ditujukan pada mama.

Lihatlah Argat ini. Hanya dengan membuka mulut saja dia sudah mampu membuat musuh menjadi panas. Tak lama kemudian mama mengajak kami untuk turun dari panggung. Karena semuanya sudah merasa lelah, kami memilih untuk langsung pulang saja. Di parkiran ada begitu banyak mobil, jadi kami harus sabar mencari di mana mobilnya. Dari arah depan aku seperti mengenali sosok laki-laki yang sedang menyandarkan tubuhnya di depan mobil. Kalau dilihat dari rambut belakangnya, aku seperti tidak asing dengan sosoknya.

"Siapa dia?"

"Apa?" tanya Mama.

"Tidak, Ma," jawabku.

Pertanyaanku terjawab saat sosok laki-laki itu menengok ke belakang. Astaga, itu Gavin. Ya, aku tidak salah lagi, itu Gavin. Supaya tidak ketahuan oleh Gavin, aku sedikit menutup wajahku dengan dompet yang kubawa. Namun siapa perempuan yang berdiri di sampingnya?