Terik matahari sudah menyengat hingga ke ubun-ubun. Langit pun nampak kebiruan, memperlihatkan keindahannya pada alam semesta. Menjadi saksi duka dalam rumah sederhana di bawah sana, mengiringi perginya sang pemilik raga berpindah alam menuju keabadian-Nya.
Gadis berhijab biru itu menggeliat, merasakan pegal-pegal di sekujur tubuhnya. Kepalanya masih terasa pening, tetapi rasanya ingin sekali bangun dari tempat tidur itu.
Matanya terbuka sempurna, saat mendengar suara kegaduhan di luar kamarnya. Banyak terdengar suara tangis pula, menjadikan rasa penasaran dalam diri Khadijah terasa semakin besar. Pelan-pelan dia mengangkat tubuhnya hingga duduk dengan tegak, mengumpulkan sisa-sisa tenaganya untuk berjalan menuju keramaian itu.
Khadijah membuka pintu kamarnya perlahan, lalu kepalanya menyembul keluar demi melihat apa yang terjadi. Dia merasa heran, saat melihat ruang tengah terlihat begitu ramai. Kemudian dia perlahan menghampiri seorang tetangga yang kebetulan tak jauh darinya.
"I-ini ada apa, Bi?" tanya Khadijah, sembari ibu jarinya sedikit menekan pelipisnya agar mengurangi rasa pening di kepalanya.
Wanita yang disapa bibi itu menoleh, lalu segera menarik Khadijah ke dalam pelukannya, saat melihat gadis itu dalam keadaan pucat dan memprihatinkan.
"Kamu yang tabah, ya, Nduk. Ikhlas dan juga sabar. Allah sudah punya rencana yang lebih baik untukmu ke depannya," ujar wanita separuh baya itu, mengusap punggung Khadijah dengan lembut.
Khadijah yang sebelumnya memang belum tahu apa-apa pun segera melepas pelukannya dengan paksa, lalu menatap manik mata wanita yang tadi memeluknya dengan penuh kasih sayang.
"A-apa maksud Bibi?" tanyanya, menuntut jawaban.
Wanita itu menghela napas perlahan, baru menyadari kalau sebenarnya gadis yang dia peluk barusan memang tidak tahu apa-apa. Semakin menatap wajahnya, semakin iba pula hatinya. Putri dari mendiang sahabatnya dulu, kini sudah tak memiliki siapa pun, kecuali ibu dan saudara tirinya.
Tangannya terulur perlahan, mengusap jilbab Khadijah dengan lembut. "Kamu yang sabar ya, Nduk. Ayahmu ... sekarang sudah tenang di alam sana," ucapnya dengan hati-hati.
Khadijah melebarkan matanya. "A-ayah ... ma-mana mungkin!" lirih Khadijah, sembari melirik kerumunan orang yang beberapa di antara mereka tengah membaca surat Yaa-siin.
Menyaksikan itu semua, mendadak pening di kepala dan nyeri pada tubuhnya hilang. Kini malah berganti dengan sesak dalam hatinya.
Khadijah melangkahkan kakinya perlahan, menerobos kerumunan orang-orang yang ada di sana. Terlihat, ibu tirinya tengah menangis sesenggukan di depan jenazah ayahnya. Khadijah menghampirinya, kemudian duduk di samping ibu tirinya itu.
"Yah ... ke-kenapa ninggalin Khadijah secepat ini?" lirihnya, sekuat tenaga menahan isak.
Tangannya menyentuh kain yang menutup jenazah ayahnya, lalu membuka sedikit kain yang menutup wajah, demi melihat wajah orang terkasihnya untuk yang terakhir kali.
Setelah puas memandangi wajah ayahnya, juga sudah melantunkan do'a dalam hati untuknya, kini Khadijah beralih menatap wajah ibunya.
"Bu, ma-maafkan Khadijah," lirihnya, menyentuh jemari sang ibu.
Tak butuh waktu lama, kini tangan Khadijah sudah terlempar ke samping, karena sentakan tangan ibunya yang terlalu kuat. Beberapa orang yang menyaksikan itu terkejut, karena baru kali ini melihat ibu Khadijah sekasar itu pada anak tirinya.
"Semua gara-gara kamu, Khadijah! Coba saja tadi kamu bisa lebih cepat pulangnya, pasti ayah masih hidup sampai sekarang!" seru ibunya, menatap dengan penuh kebencian.
Khadijah tertunduk, kini air matanya sudah tak bisa dibendung lagi. Dalam pikirannya, apa yang dikatakan oleh ibunya adalah benar. Dialah penyebab kematian ayahnya, karena terlambat dalam memberikan obat.
Takut terjadi keributan yang semakin besar, beberapa ibu-ibu mencoba untuk menenangkan ibu tirinya. Sedangkan beberapa orang lagi mengajak Khadijah menjauh dari tempat itu, agar tercipta kedamaian dalam suasana berduka seperti ini.
***EA***
Pemakaman ayah Khadijah telah usai. Satu persatu orang yang sudah mengucapkan bela sungkawa mulai pamit pulang. Ada juga yang tetap tinggal, ingin membantu menyiapkan acara tahlilan nanti malam.
Khadijah langsung masuk ke kamarnya, tak ingin terjadi keributan lagi seperti sebelumnya. Hatinya masih merasakan sakitnya kehilangan seorang ayah, lelaki yang selama ini selalu menyayanginya dengan sepenuh hati. Bahkan, dia pun sudah lupa bagaimana kasih sayang seorang ibu, karena tak pernah didapatnya dari sang ibu tiri.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara seseorang mengucap salam. Khadijah menjawabnya dalam hati, karena dia tahu ibunya sudah lebih dulu menyambut tamu tersebut.
Beberapa detik berlalu, Khadijah mendengar obrolan basa-basi setelah mengucap kata bela sungkawa. Tak berapa lama, mulai terdengar obrolan serius. Khadijah tak mendengar dengan jelas, tetapi dia mendengar namanya disebut-sebut.
Tak lama kemudian, ibunya masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. "Heh! Cepat keluar, Pak RT nyariin kamu!" serunya, kemudian segera berlalu setelah mengatakan itu.
Khadijah tertegun. 'Tumben Pak RT ke sini, apa dia baru tahu, ya, kalau ayah baru saja meninggal?' batinnya. Tak ingin ibunya marah-marah lagi, dia pun akhirnya keluar menemui Pak RT.
"Jadi begini Bu Farida, Khadijah. Saya datang kemari karena ingin menyampaikan surat wasiat yang Pak Wahyu --ayah Khadijah-- titipkan kepada saya, beberapa bulan yang lalu sebelum beliau jatuh sakit," ujar Pak RT, bergantian menatap Khadijah dan ibunya.
Khadijah menautkan kedua alisnya. "Su-surat wasiat?"
"Benar, Khadijah. Beliau berpesan, bahwa surat wasiat ini hanya boleh dibacakan di hadapan kalian berdua setelah beliau meninggal," jawab Pak RT.
"Apa isinya, Pak?" sambung Bu Farida, terlihat begitu penasaran.
Pak RT terlihat mulai membuka lipatan kertas yang berada di depannya. Sejenak dia terdiam, mungkin tengah membacanya terlebih dahulu. Lalu kembali menatap kedua wanita berbeda usia di depannya itu.
"Dalam surat wasiat ini tertulis, bahwa rumah yang tengah kalian tempati saat ini, sebenarnya adalah rumah hasil kerja keras antara Pak Wahyu dan istri pertamanya, Bu Salma. Jadi, rumah ini bukanlah sepenuhnya milik Pak Wahyu."
"Pembagian warisan pun dibagi menjadi tiga bagian. Dua pertiga bagian atas nama Khadijah, dan sepertiga bagian adalah milik kedua adik Khadijah. Dalam surat wasiat ini tertulis jelas, bahwa Bu Farida tidak mendapat bagian apa-apa. Kecuali sebuah motor yang saat ini masih berada di pegadaian."
"Itulah yang Pak Wahyu tuliskan sebelum akhirnya sakit parah, karena sebelumnya beliau memang sudah mengetahui penyakitnya yang difonis hidupnya sudah tidak lama lagi. Maka dari itu, beliau menitipkan surat wasiat kepada saya."
Bu Farida melebarkan matanya, seakan tak terima dengan surat wasiat yang almarhum suaminya tuliskan. Sedangkan Khadijah hanya bisa menunduk, menahan air matanya agar tak terjatuh lagi. Bagaimanapun juga, dia harus ikhlas atas kepergian ayahnya, agar beliau bisa tenang di sisi-Nya.
"Saya tidak terima! Kenapa suami saya tidak memberikan bagian rumah ini kepada saya? Saya istrinya, saya juga yang mengurus anak-anaknya sejak kecil. Bahkan anak pembawa sial ini pun saya yang mengurusnya!" seru Bu Farida, sembari menunjuk wajah Khadijah.
"Kalau masalah itu, saya tidak tahu dan tidak mau ikut campur, Bu. Saya hanya menyampaikan amanat dari beliau," ujar Pak RT.
Bu Farida berdecih, mengumpat dan mengucapkan sumpah serapah kepada mendiang suaminya yang baru saja dimakamkan. Padahal, sebelumnya dia begitu tulus mencintai sang suami. Hanya karena sebuah warisan, semua itu perlahan mulai memudar.
"Baik, kalau begitu, batalkan acara tahlilan malam nanti! Aku tak sudi memberi do'a pada suami yang tak pernah menganggap istrinya ada!" serunya, wajahnya terlihat merah padam.
Pak RT melebarkan matanya, tak menyangka wanita yang dulu selalu terlihat ramah kepada seluruh tetangganya, kini malah terlihat seperti wanita asing yang gila harta.
"Kenapa ibu mengatakan itu?" tanya Khadijah, matanya sudah berkaca-kaca sejak tadi.
"Diam kamu!" sentaknya.
Melihat reaksi Bu Farida yang semakin asing di mata Pak RT, membuatnya ingin segera pergi dari rumah itu. "Baik, nanti akan saya sampaikan pada bapak-bapak yang lain," ucapnya, kemudian segera pamit untuk pergi.
Beberapa tetangga yang sebelumnya ingin membantu mempersiapkan acara tahlilan nanti malam pun akhirnya ikut pergi, karena ucapan Bu Farida yang terdengar begitu keras sampai ke dapur.
Tak lama setelah itu, tiba-tiba datang seorang laki-laki berpakaian formal dan berkacamata hitam. Bu Farida segera keluar, menyambut tamu tak diundang yang terlihat seperti orang kaya.
"Permisi, saya sedang mencari seorang babysitter. Apa di sini ada yang bersedia untuk melakukan seleksi?" ucap lelaki itu, terlihat begitu tegas dan berwibawa.
Mendengar itu, Bu Farida tersenyum. Ini adalah satu kesempatan baginya untuk mengusir Khadijah secara tidak langsung, sekaligus bisa mendapatkan uang yang melimpah dari jerih payahnya.
"Ada. Ada, Pak. Kebetulan anak saya memang sedang mencari pekerjaan," jawabnya dengan cepat.
Lalu dia segera memanggil Khadijah yang masih duduk di ruang tamu. "Heh! Ada orang mencarimu di depan!" ucapnya dengan tegas.
"Si-siapa?" tanya Khadijah, tetapi ibunya tak menjawab, justru malah kembali ke depan. Khadijah mengekor, lalu berdiri di hadapan lelaki asing itu.
"Perkenalkan, ini Khadijah, putri saya. Dia yang sedang mencari pekerjaan. Bapak bisa membawanya untuk seleksi terlebih dahulu," ujar ibunya, memegang kedua bahu Khadijah dengan penuh penekanan.
Khadijah melebarkan matanya. "A-apa?!"
***EA***
Next