"Bisa melakukan dua pekerjaan itu sambil mengasuh balita?" tambahnya lagi.
Khadijah melebarkan matanya. "Sa-saya belum pernah melakukan itu," ucapnya sembari menunduk.
Namun, setelah Khadijah pikirkan dengan matang, ada baiknya dia menerima pekerjaan itu. Jadi, dia bisa secepatnya mengirimkan sejumlah uang untuk ibunya.
"Tapi insyaAllah saya akan berusaha sebisa mungkin, jika memang itu pekerjaan saya," lanjutnya.
Lelaki itu tersenyum. "Baik. Saya akan membayarnya dua kali lipat, jika kamu bisa melakukan semuanya dengan baik," ujarnya dengan hati yang lega, karena masalah hari ini terselesaikan dengan baik.
Setelah mengurus semua berkas-berkas kontrak pada ketua yayasan, lelaki itu segera mengajak Khadijah untuk menaiki mobilnya. Di dalam mobil, keduanya saling diam. Tidak tahu harus berkata apa, tetapi setelah dua jam perjalanan, akhirnya lelaki itu membelokkan mobilnya memasuki rest area.
"Kita makan siang dulu, sambil kujelaskan semua tata cara bekerja di rumah Tuan nanti," ujar lelaki itu, sembari melepas sabuk pengamannya.
Khadijah yang duduk di kursi belakang pun mengangguk, tetapi benaknya menyimpan banyak pertanyaan. Salah satunya, kalau lelaki tadi mengatakan tata cara bekerja di rumah Tuan, itu artinya bukan dia orang yang menjadi majikannya?
Di dalam restoran, lelaki itu segera memesan makanan untuk dirinya dan juga Khadijah. Kemudian mulai menjelaskan beberapa hal yang harus diketahui oleh gadis di depannya itu.
"Sebelumnya, perkenalkan nama saya Antoni, sopir sekaligus asisten pribadi Tuan Stephan William, orang yang akan menjadi majikanmu nanti," ucap lelaki itu, memulai pembicaraan.
Khadijah mengangguk, mendengarkan dan mencermati apa yang akan dikatakan oleh lelaki di depannya itu. Bagaimanapun juga, ini pertama kalinya dia akan bekerja, setelah sebelumnya selalu berada di rumah.
"Tuan William, orang-orang biasa memanggilnya demikian. Dia adalah orang yang bijaksana dalam segala hal, selalu memprioritaskan kebahagiaan keluarga, terutama putranya yang baru berusia tiga tahun."
"Sebulan yang lalu, dia baru saja kehilangan istrinya. Dia begitu terpukul, bahkan sempat depresi selama beberapa hari. Selama itu, saya beberapa kali menyewa seorang babysitter, tetapi tak pernah ada yang bertahan lebih dari tiga hari. Entah semuanya karena apa, saya juga tidak tahu."
Beberapa saat kemudian, seorang pelayan mengantarkan minuman. Lelaki itu menghela napas, seperti banyak menyimpan beban dalam pikirannya.
"Saya harap, kamu bisa bertahan lama di sana," lanjutnya.
Khadijah mengangguk. "InsyaAllah, saya akan berusaha melakukan yang terbaik," ucapnya.
Namun, ada satu hal yang masih mengganjal pikiran Khadijah. Mengenai nama orang yang akan menjadi majikannya itu, dia merasa ada sesuatu yang harus dia ketahui lebih jauh, sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah itu.
"Maaf, Tuan. Kalau saya boleh tahu, Tuan William itu seorang muslim atau bukan?" tanyanya sedikit ragu.
"Dia non-muslim, sama seperti saya. Apa ada masalah?" tanyanya dengan wajah datar.
"Ti-tidak, Tuan. Hanya saja ... apa nanti saya masih dibolehkan menjalankan ibadah sesuai keyakinan saya?"
Lelaki itu mengamati Khadijah lagi, lalu mengangguk pelan. "Asal tidak mengganggu pekerjaanmu, saya rasa tidak masalah."
Mendengar itu, Khadijah bernapas lega.
***EA***
Mobil berhenti di depan sebuah rumah yang terlihat begitu megah. Dari luar saja, Khadijah sudah bisa membayangkan bagaimana luasnya rumah itu.
Dia sempat berpikir, apakah dirinya mampu untuk melakukan semua pekerjaan itu secara bersamaan? Bukankah kalau dipikir-pikir, itu sama saja dengan seorang ibu rumahtangga? Ah, entahlah. Mungkin hari ini Khadijah sudah berpikir terlalu jauh.
"Keluarlah!" ucap lelaki itu.
Khadijah segera keluar dari mobil itu, tetapi tidak dengan Antoni. Lelaki itu segera memarkirkan mobilnya di garasi, mungkin tidak akan ke mana-mana lagi.
Setelah melihat Antoni berjalan menuju arahnya, Khadijah segera berbalik. Lalu mengekor lelaki itu menuju rumah yang berdiri dengan kokoh di depannya.
"Duduklah! Aku akan memanggil Tuan," titah Antoni, menunjuk sofa di depannya. Khadijah mengangguk, lalu duduk sesuai arahan lelaki itu.
Sembari menunggu lelaki itu memanggil tuannya, mata Khadijah berkeliling mengamati seisi rumah itu. Rumah dengan gaya klasik khas Belanda itu tampak mewah, dengan segala perabot yang terlihat mahal.
Bagi Khadijah yang baru pertama kali memijakkan kaki di rumah semewah itu, tentu ada rasa minder dalam hatinya. Bahkan berkali-kali dia mengusap gamisnya, barangkali ada kotoran yang menempel dan jatuh pada sofa yang didudukinya.
Saat matanya masih berkeliling, tiba-tiba sorotnya berhenti pada sebuah bingkai foto berukuran besar, bahkan mungkin tinggi bingkai itu sama dengan tinggi tubuhnya. Sebuah foto yang menampilkan sebuah keluarga yang berbahagia. Khadijah menebak, itu adalah foto Tuan William, istrinya dan juga putranya ketika masih bayi. Ya, itu terlihat sangat cocok sekali.
Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki dari arah tangga. Khadijah kembali pada posisi semula, matanya menatap ujung gamisnya sembari menunduk. Takut kalau nanti majikannya begitu galak atau semacamnya.
Jantungnya berdegup kencang, saat terdengar langkah itu terhenti tak jauh darinya. Dia sempat melirik sekilas, demi melihat seperti apa wajah majikannya itu. Ternyata, seorang lelaki separuh baya dengan brewok yang tumbuh menutupi sebagian pipinya.
Hatinya berdebar hebat, ketika lelaki itu duduk persis di depannya, hanya terpisah oleh sebuah meja kaca. Tak lama kemudian, Antoni datang sembari menggendong seorang anak kecil yang kira-kira usianya tiga tahun. Mungkin dia adalah anak yang dibicarakan sewaktu di restoran.
"Siapa namamu?" tanya lelaki itu tiba-tiba.
Deg!
Khadijah terlonjak, tetapi kemudian segera menguasai dirinya. "Kha-khadijah, T-tuan," lirihnya.
"Jangan takut! Aku takkan melahapmu," datar lelaki itu.
Mendengar kalimat itu, Khadijah menelan salivanya dengan susah payah. Demi apa, dipertemuan pertamanya dengan sang majikan, justru malah memberikan kesan menakutkan baginya. Kalau saja Khadijah boleh memilih ingin tetap tinggal di rumah itu atau tidak, tentu saja dia akan memilih pergi dari tempat itu.
"Tuan, Karel terbangun," ucap Antoni, ikut duduk sembari memangku anak laki-laki itu.
Tuan William menoleh, "Ajak dia makan! Dari tadi belum ada makanan yang masuk ke perutnya," ucapnya.
"Baik, Tuan!" Lalu Antoni segera membawa bocah laki-laki itu ke ruangan yang berbeda.
"Berapa usiamu?" tanya William.
"Du-dua puluh tahun, Tuan," jawab Khadijah.
Gadis itu masih betah memandangi ujung gamisnya, sembari sesekali melirik lelaki menyeramkan yang duduk di depannya. Entah sudah berapa bulan lelaki itu tak pernah mencukur jenggotnya, sehingga dia terlihat begitu tua. Padahal, usianya baru menginjak angka tiga puluh tujuh. Tidak heran jika Khadijah menyebutnya lelaki separuh baya.
Lelaki itu melebarkan matanya. "Kamu tidak kuliah?" tanyanya.
Sedikit terkejut karena hampir semua gadis seumuran Khadijah di tempat itu pasti sedang menikmati masa mudanya dengan kuliah, baru setelah itu menggapai cita-citanya membahagiakan keluarga. Namun, tidak dengan Khadijah, karena keterbatasan materi dan juga restu dari ibunya.
"Ti-tidak, Tuan."
Lelaki itu tampak mengamati Khadijah, dari ujung kepala hingga ujung gamisnya tanpa berkedip, membuat jantung Khadijah serasa melompat-lompat ingin keluar.
'Ya Allah ... lindungi hamba!' serunya dalam hati.
"Ikut aku!" titah lelaki itu.
Deg!
Khadijah melebarkan matanya. "Ke-ke mana, Tuan?" tanyanya dengan debaran yang semakin cepat.
"Ke surga," jawab lelaki itu sembari beranjak.
"Hah?!"
***EA***
Next